Salah masuk kamar, berujung ngamar ❌ Niat hati ingin kabur dari Juragan Agus—yang punya istri tiga. Malah ngumpet di kamar bule Russia.
Alizha Shafira—gadis yatim piatu yang mendadak dijual oleh bibinya sendiri. Alih-alih kabur dari Juragan istri tiga, Alizha malah bertemu dengan pria asing.
Arsen Mikhailovich Valensky—pria dingin yang tidak menyukai keributan, mendadak tertarik dengan kecerewetan Alizha—si gadis yang nyasar ke kamarnya.
Siapa Arsen sebenarnya? Apakah dia pria jahat yang mirip seperti mafia di dalam novel?
Dan, apakah Alizha mampu menaklukkan hati pria blasteran—yang membuatnya pusing tujuh keliling?
Welcome to cerita baper + gokil, Om Bule dan bocil tengilnya. Ikutin kisah mereka yang penuh keributan di sini👇🏻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wardha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pura-pura jadi istri elegan
Begitu para saksi menyatakan sah, Bibi Ramlah langsung bertepuk tangan pelan. Wajahnya itu sampai berseri-seri seperti baru menang undian naik haji saja.
"Masya Allah, akhirnya! Alizha Shafira, sekarang kamu resmi jadi istri bule kaya! Astaga, hidupmu bakal penuh kemewahan, nak! Mobil, rumah megah, perhiasan emas—semua sudah di depan mata!"
Bibi semakin lebay, hampir saja mencubit pipi Alizha. "Lihatlah, nak! Suamimu itu gagah, tinggi, dan kaya raya! Berdoa tiap malam, semoga dapat anak bule-bule yang cakep. Hihihi, jadi artis FTV pun bisa!"
Arsen hanya melirik sekilas. Dia tidak berkata apa-apa, tapi jelas sekali dia menikmati drama kecil itu.
Anton sendiri sampai tepuk jidat. "Ya Tuhan, sekarang bukan cuma bos yang gila. Bibinya juga."
Bibi Ramlah masih saja mencondongkan badan ke arah Alizha, berbisik keras yang sama sekali tidak pantas disebut bisikan.
"Eh, Nak, jangan lupa malam pertama harus manis, ya. Biar bule itu makin lengket. Aduh, kamu pasti bakal jadi ratu di rumah mewah nanti!" bisiknya sambil cekikikan.
Alizha sudah mau meledak. Malunya luar biasa. "Astaghfirullah, Bibi! Bisa tidak sih jangan bahas begituan di depan umum?" desisnya sambil menutup wajah dengan pashmina.
Belum sempat Bibi menambah ocehan lebaynya, sebuah genggaman kuat menarik lengan Alizha. Refleks tubuhnya ikut terhentak.
"Enough," kata Arsen, tanpa meminta izin.
Alizha mendongak, matanya membelalak. "Mister, pelan-pelan! Sakit, tahu!"
Arsen tidak menggubris protesnya. Dengan langkah panjang dan tenang, dia menyeret Alizha untuk pergi dari sana. Sementara Anton, menyusul sambil membawa berkas mereka.
Bibi Ramlah sempat menjerit kecil. "Eh, dibawa ke mana itu pengantinnya?! Tunggu dulu, saya belum selesai kasih wejangan!"
"Bu, sudahlah!" Paman menghentikan istrinya. "Biarkan mereka pergi. Ini to yang kamu inginkan juga? Jadi jangan buat onar lagi."
Bibi mendengus. "Iya, iya!"
Sementara itu, Alizha benar-benar merasa seperti gadis malang yang sedang diculik om-om bule ngebet nikah. Matanya melirik kanan-kiri, berharap ada malaikat yang menolong. Tapi sayangnya, tidak ada yang peduli.
"Mister, please! Saya bisa jalan sendiri tahu! Tidak perlu ditarik-tarik begini, sakit tangan saya!" bisiknya panik.
Arsen tidak menoleh sedikit pun, wajahnya tetap dingin. "You are my wife now. Follow me."
Astaghfirullah, makin merinding saja Alizha mendengarnya. "Ya Allah, kenapa saya benar-benar menikah sama bule Rusia aneh ini. Dunia apa yang saya masuki sekarang?!" batinnya berteriak.
Mereka akhirnya keluar dari kantor KUA, menuju mobil hitam yang sudah menunggu. Anton buru-buru membuka pintu belakang. Arsen mendorong lembut lengan Alizha agar masuk.
"Sit."
Alizha mendengus, tapi terpaksa juga duduk dengan gaun syar’inya yang lebar. Tangannya langsung meremas tas kecilnya, seperti orang berniat kabur.
Di dalam mobil yang melaju santai, Alizha akhirnya memberanikan diri membuka suara. "Sesuai perjanjian, saya bebas melakukan apa pun, dan mendapatkan apa saja?"
Arsen menoleh sedikit, matanya itu tajam, lalu kembali fokus ke jalanan. "Yes. As long as you play your role."
Alizha mengernyit. "Maksudnya?"
"Be my wife. Di depan publik, kamu harus jadi Mrs. Valensky yang sempurna. Tidak ada bantahan."
Alizha mendengus pelan, merasa seperti masuk kontrak kerja, bukannya pernikahan. "Berarti saya boleh minta apa pun, ya? Apartemen, tas branded, mungkin ... jalan-jalan ke Paris?"
Anton yang duduk di depan hampir tersedak napasnya sendiri. Dia buru-buru menutup mulut dengan tangannya, menahan tawa. Kalau bosnya mendengar, bisa-bisa dia kena getah.
Arsen melirik tajam ke kaca spion. "You can ask. Tapi ingat, setiap kebebasan ada batasnya."
Alizha langsung bersandar sambil melipat tangan di dada. "Ih, galak sekali. Katanya perjanjian. Baru minta jalan-jalan saja sudah kena warning. Suami macam apa ini."
Arsen tidak menanggapi. Hanya rahangnya yang sedikit mengeras, seakan sedang menahan emosi.
Alizha menggertakkan giginya. "Baiklah, Mister. Saya akan main peran. Tapi jangan salah, kalau saya sudah bosan, saya bisa pergi kapan saja. But, you jangan menahan saya terus."
Arsen menoleh cepat, sorot matanya langsung menusuk. "Try me."
Alizha tercekat. Baru sadar, pria ini bukan tipe yang bisa digertak.
Alizha menegakkan tubuhnya, matanya menyipit menatap wajah samping Arsen yang terkesan dingin. "Saya tidak takut, tahu. Kalau kamu pikir bisa mengurung saya, salah besar. Saya ini bukan boneka."
Arsen hanya menaikkan alis tipis, masih fokus ke jalan. "Boneka? Hem lucu juga, Baby goat. Tapi saya lebih suka menyebutmu investasi."
Alizha melotot. "Astaghfirullah! Investasi?! Jadi saya saham apa, Pak Bule?"
Anton di depan hampir terbahak, tapi langsung buru-buru pura-pura batuk.
Arsen menoleh sekilas, bibirnya menyunggingkan senyum miring. "Saham paling mahal yang pernah saya beli. Jadi, jangan coba-coba untuk kabur. Nilai investasinya bisa jatuh."
Alizha mendengus keras. "Kalau begitu, saya bisa naikin harga diri saya setinggi-tingginya. Biar kamu tekor sekalian! Bangkrut ya bangkrut dah situ!"
Arsen tertawa kecik, tapi malah terkesan sarkastis. "Kamu pikir saya tidak sanggup? Saya bisa membuatmu tergantung pada saya, sampai kamu sendiri yang tidak mau pergi."
Alizha menegakkan dagu, wajahnya penuh perlawanan. "Kita lihat saja nanti, siapa yang akan menyerah duluan. Saya atau kamu!" katanya menantang.
Arsen akhirnya benar-benar menoleh, menatapnya dalam dengan tatapan yang entah kenapa membuat bulu kuduk Alizha berdiri. "Challenge accepted."
Alizha langsung membuang muka ke jendela, menelan ludah. Dalam hati bergumam, "Ya Allah, apa saya barusan menantang singa masuk kandang sendiri?"
Mobil berhenti di depan sebuah hotel berbintang. Alizha langsung menatap gedung tinggi itu dengan kening berkerut.
"Jangan bilang kita mau inap di sini?" tanyanya curiga.
Arsen turun lebih dulu, lalu membuka pintu di sisi Alizha. "Kalau tidak di sini, mau di jalanan?" sahutnya santai.
Alizha menahan diri untuk tidak meledak. "Tapi ... tapi, tapi kan rumahmu di Rusia. Kenapa tidak tunggu sampai di sana saja?"
Arsen menyelipkan tangan ke saku celana, menunduk sedikit agar sejajar dengan wajah Alizha. "Karena saya tidak ingin menunggu."
Jawaban itu sukses bikin Alizha tercekat.
Arsen melangkah tenang melewati lobby, sementara Anton membuntuti dengan membawa koper dan berkas. Sesekali dia mendesah panjang dalam hati. "Tadi ngebet nikah, sekarang ngebet itu lagi. Tuan benar-benar sulit ditebak maunya apa."
Alizha langsung bersedekap. "Kamu jangan macam-macam, ya. Nikah bukan berarti kamu bebas seenaknya!"
Arsen menoleh dengan senyum samar. "Saya tahu. But, malam ini kamu tetap harus menemani saya."
"Maksud kamu apa?" Alizha makin curiga.
Arsen mendekat sambil berbisik, "Semalam gara-gara you salah masuk kamar, saya sadar satu hal. Saya benci keributan. Tapi entah kenapa, suara cerewetmu justru menenangkan."
Alizha bengong, wajahnya merah padam. "Apa-apaan sih om-om bule ini! Apaan gombal model begitu!"
Arsen menoleh lagu. "Itu bukan gombal, Baby goat. Itu peringatan. So, jangan tinggalkan saya malam ini."
Di lobby hotel, Arsen sempat berhenti sejenak. Dia menoleh pada Anton dengan ekspresi serius.
"Anton, siapkan semua dokumen untuk Alizha. Mulai dari paspor baru, visa, dan keperluan pindah kewarganegaraan. Saya tidak ingin ada yang tertunda."
Anton menahan napas, jelas kaget. "Secepat itu, Tuan?"
Arsen hanya mengangguk sekali. "Ya. Dia akan ikut saya ke Rusia, bukan main-main."
Mata Anton sedikit membulat, lalu ia menunduk. "Baik, Tuan." Dalam hati, ia bergumam getir. "Astaga, bos benar-benar serius. Gadis ini bukan cuma koleksi dosa sementara, tapi akan dibawa masuk ke dunianya. Apa Alizha tahu betapa berat hidup yang menunggunya nanti?"
Alizha yang berdiri tak jauh, hanya bisa melongo. "Apa maksudnya pindah kewarganegaraan? Eh, saya belum bilang iya, tahu!"
Arsen meliriknya sebentar. Senyum tipisnya muncul, seperti menyimpan rahasia. "Kamu pikir pernikahan kita hanya berlaku di Indonesia? Tidak, Alizha Shafira. Kamu sekarang istri saya, jadi otomatis ikut ke dunia saya."
Di dalam lift, Alizha tidak berhenti ngomel. Tangannya berkali-kali menunjuk ke arah Arsen sambil menggerutu.
"Enak saja anda bilang pindah kewarganegaraan! Hello, itu bukan perkara gampang! Saya ini punya keluarga, punya kampung halaman, punya—"
Arsen tetap berdiri tegak dengan wajah datar, menatap angka-angka di panel lift seakan-akan suara Alizha hanyalah musik latar.
Alizha makin sewot. "Anda dengar tidak sih? Mister, jangan pasang muka tembok gitu! Saya ini ngomong serius, tahu! Masa saya harus meninggalkan semuanya demi anda? Please lah, anda pikir semua orang gampang diseret-seret begitu aja?"
Ting—lift berhenti di lantai tengah. Pintu terbuka, seorang tamu masuk. Arsen yang sedari tadi diam, tiba-tiba menoleh cepat, lalu menarik pinggang Alizha ke arahnya.
"Eh?! Mister, apa-apaan—"
Belum sempat ia melanjutkan, wajahnya sudah menempel tepat di dada Arsen. Aroma parfum maskulin menusuk hidungnya. Seketika semua omelannya buyar.
Alizha kaku, bibirnya otomatis terkunci rapat. Tangannya mengepal gugup, wajahnya pun jadi panas. "Astaghfirullah, kok bisa begini?"
Arsen masih dengan ekspresi santai, bahkan tidak menoleh. Dia berbisik sambil menunduk. "Akhirnya diam juga."
Alizha mendengus pelan. "Kurang ajar! Baru juga beberapa menit nikah, sudah bikin saya jantungan begini!"
Alizha masih menempel di dada bidang Arsen. Degup jantungnya terdengar jelas, membuat kepalanya makin pusing. Tapi sebelum bisa meronta, dia sadar ada orang lain yang masuk ke lift—seorang wanita bule dengan gaun formal yang rapi.
Alizha langsung panik dalam hati. "Ya Allah, kalau saya kelihatan kayak kampungan, habislah sudah! Jangan sampai dia tahu saya ini cuma gadis desa yang baru kemarin sore naik lift!"
Dengan sigap, Alizha pura-pura mengangkat dagu, memasang ekspresi sok tenang. Bibirnya tersenyum tipis—senyum palsu ala majalah yang tidak laku dijual. Padahal wajahnya merah padam.
Arsen yang sadar akan perubahan ekspresinya, menurunkan pandangan sebentar. "Hem." Senyum tipis menyungging di bibirnya, seolah tahu Alizha sedang akting.
Wanita bule itu melirik mereka sekilas, lalu memencet tombol lantai atas. Alizha buru-buru memperbaiki pashminanya, pura-pura merapikan kerudung dengan anggun, meski tangannya gemetar.
"Stay cool, Lizha. Stay cool. Jangan sampai kelihatan kampungan. Ingat, kamu sekarang istri bule kaya. Minimal harus tampak berkelas!"
Tapi sialnya, heels tinggi yang dia pakai sejak tadi malah bikin keseimbangannya goyah. Hampir saja dia jatuh kalau tidak ditahan Arsen dengan lengan kokohnya.
"Careful," gumam Arsen tenang.
"Y-yeah ... of course," sahut Alizha belepotan, mencoba campur bahasa Inggris padahal lidahnya hampir keseleo.
Wanita bule di sebelah mereka menahan tawa kecil, sementara Arsen hanya menatap lurus ke depan, masih dengan muka datarnya.
Lift akhirnya berdenting, pintu terbuka. Alizha buru-buru melangkah keluar duluan dengan gaya sok anggun, padahal dalam hati sudah menjerit-jerit tidak karuan, "Astaghfirullah, saya mau pingsan!"