"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resah dan Gelisah
Deris sampai dirumahnya dengan terengah-engah. Ia membanting pintu nya dengan keras. Ruangan yang sudah kosong itu membuat dentuman pintu terdengar lebih nyaring.
"Sial! sial! sial! Bagaimana jika dia melaporkanku ke polisi"
Deris memegang kepalanya frustasi, wajahnya masih memerah karena pengar. Keringat membasahi wajahnya setelah berlarian kesana kemari.
"Semua ini gara-gara anak tak tau diuntung itu! Kenapa bisa aku memiliki anak sesial dia! Arghhh!!"
Prangg!!
Deris membanting asbak rokok yang ada di meja makan ke lantai. Tangannya mengepal kuat, kepalanya berputar memikirkan cara bagaimana mendapatkannya uang lagi.
Sedangkan Jefan sudah mengatakan tak lagi mau membantu dan memberikannya uang bulanan.
"Aku benar-benar bisa dipukuli lagi oleh rentenir bajingan itu jika tak memberi mereka uang minggu ini, akh!!"
Tokk.. Tokk.. Tokk..
Deris menoleh tajam ke arah pintu. Ia menengang. Tubuh nya tak mau digerakan karena takut menimbulkan suara.
Mungkin itu rentenir? Deris terlalu banyak berurusan dengan rentenir gila hingga tak tau kali ini dia didatangi dari rentenir mana.
"Pak Deris.. ini aku Erwin"
Suara samar yang terdengar dari balik pintu, membuat Deris langsung gelagapan membukanya.
"Oh Halo besanku~ ad-ada perlu apa tiba-tiba mengunjungiku kemari?"
Erwin tersenyum memandang Deris, entah apa arti dibalik senyuman itu. Deris mempersilahkan masuk Erwin yang kemudian menutup pintu setelah Erwin berada di dalam.
Erwin sedikit menahan tawa saat menyaksikan kondisi rumah besannya itu. Terlihat menyedihkan dan menjijikkan.
"Ah, itu tadi ada kucing liar masuk dan menyenggol nya hingga jatuh" ujar Deris pada Erwin yang tengah memperhatikan pecahan asbak di lantai.
"Apa kau selalu sekacau ini?"
"Ha..?"
"Aku menyaksikan kejadian yang kau lakukan pada anakku tadi"
Deris tersentak. Apa dia mau membalas perbuatannya pada anaknya.
"Tidak perlu gemetaran begitu, anakku kan hanya terluka bukan mati"
Deris menyeringai, ternyata lelaki ini sama gila nya dengan dirinya. Ia bahkan tak melihat sedikitpun kekhawatiran dari ayah menantunya itu.
"Jadi, ada perlu apa kau menemuiku?"
Erwin mendekat, tangannya melipat didada, ia menatap Deris dengan senyum kecil.
"Kau perlu uang?"
Deris membalas dengan anggukan kecil.
"Aku bisa berikan itu. Bahkan dua kali lipat lebih banyak dari yang kau butuhkan. Tapi..."
"Tapi... "
"Buatlah anakmu itu mau mengandung, aku butuh cucu segera secepatnya. Aku butuh penerus. Dan kau, ayah kandung, keluarga sedarahnya, pasti bisa merayu anakmu untuk melakukan itu kan?"
"Semudah itu syaratnya?" ujar Deris sembari tersenyum.
Erwin melangkah mundur, tangannya mengambil amplop coklat dari sakunya dan melemparnya ke meja makan.
"Coba saja lakukan dulu, kalau kau bisa aku akan berikan sisanya lebih banyak lagi bulan depan"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Nina menggigit telunjuknya gusar. Ini sudah malam Jefan masih belum juga pulang, dan belum bisa dihubungi.
Suaminya itu tak mengangkat telpon atau membalas pesannya. Begitu juga dengan Hera yang memberikan respon sama.
Memang tadi Jefan sudah mengatakan akan pulang malam tapi entah kenapa sejak tadi siang perasaannya terus merasa tak enak dan kalut.
Nina menghela napas panjang, tubuhnya dibawa mondar-mandir didalam kamar nya yang sunyi.
Tubuhnya tersentak seketika saat mendengar ponselnya berdering. Tanpa menunggu jeda Nina langsung mengangkat telpon begitu melihat nama yang tertera dilayar.
"Halo, Hera?"
"Halo, Nina maaf baru bisa menghubungimu, hari ini sangat sibuk sekali. Kami sedang menjamu investor dari luar negeri, jadi sepertinya hari ini Jefan pun akan pulang tengah malam"
Nina terenyuh. Perasaan tidak enaknya tak menghilang hanya karena sudah mengetahui kabar dari suaminya itu. Mungkin gadis itu baru merasa lega jika Jefan yang menghubungi nya langsung.
"Jefan, apa dia sudah makan malam?"
"Sudah, jangan khawatir. Saat ini kami sedang berada di restoran bersama investornya, karena itu dia tidak bisa menghubungimu"
"Begitu ya..."
"... itu.. Jefan memintamu untuk jangan menunggunya"
"Aku tau, katakan padanya untuk berhati-hati saat pulang"
"Baik, Nina. Selamat beristirahat"
"Kau juga, Hera. Jangan terlalu lelah bekerja"
Nina menghela napas panjang begitu mematikan ponsel. Ia menjatuhkan tubuhnya keatas kasur. Hatinya masih saja gundah seperti ada yang mengganjal.
Suara Hera terdengae tidak biasa malam ini. Biasanya suara nya terdengar ringan dan ceria, malam ini suaranya jadi agak berat dan parau.
Mungkin saja karena Hera kelelahan kan.
Nina menutup paksa matanya, mencoba membuat pikirannya kosong dan masuk ke alam mimpi.
Butuh waktu yang sangat lama, sampai akhirnya berhasil membuat gadis itu terlelap dan meninggalkan semua kekhawatirannya.
Didalam mimpinya pun, Nina masih bermimpi menunggu suaminya pulang, ia ingin memastikan suaminya kembali dalam kondisi baik-baik saja.
Nina melihat pintu kamarnya dibuka, terdapat Jefan dengan wajah yang sangat lelah dari ambang pintu, Lelaki itu diam sejenak sebelum akhirnya perlahan mendekati Nina.
Jefan menyapu rambut Nina pelan. Mengelus kepalanya dengan ibu jarinya. Kemudian mengecup kening Nina lembut.
Mimpi yang terasa sangat nyata. Bahkan sentuhan di keningnya terasa sangat hangat dan lembut.
Tanpa sadar, dalam tidurnya bibir gadis itu mengulas senyum tipis.
Jefan ikut tersenyum kecil melihat tubuh istrinya yang bereaksi mendapat ritual kecil nya tiap malam.
"Apa yang sedang kau mimpikan, sayangku?" ujarnya sembari mengecup singkat bibir Nina yang tertidur pulas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...