Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Setelah rapat selesai, Audy masih penasaran dengan wajah murung Dion yang tidak bisa dia sembunyikan. Mereka berjalan beriringan di koridor, sampai akhirnya Audy memberanikan diri membuka suara.
“Dion, ada apa sebenarnya? Dari tadi wajahmu kayak lagi mikirin sesuatu yang berat banget. Apa soal gosip di medsos?” tanyanya pelan.
Dion terdiam sejenak, lalu menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah Audy, menatap matanya lebih dalam seolah mencari kekuatan untuk mengatakannya.
“Pak Hutama menugaskan aku buat ke China.”
Audy tertegun. Seakan jantungnya baru saja diremas.
“China? Berapa lama?” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Dion mencoba tersenyum, meski matanya sendiri redup. “Mungkin untuk beberapa bulan, sampai gosip ini mereda.”
Beberapa detik hening. Audy hanya menatap lantai, menahan segala rasa yang berdesakan di dadanya. Sedih, kehilangan, juga… takut.
“Kenapa harus kamu yang pergi… Harusnya aku yang pergi. Ini semua gara-gara aku yang bikin kamu keseret masalah ini" gumamnya lirih.
Dion melangkah setengah mendekat, menunduk agar bisa menatap matanya. “Ini cuma sementara, lagian aku juga nggak bakal rela kalau kamu pergi karena gosip murahan ini.”
Audy menelan ludah, mencoba menegakkan dirinya. Ia tidak ingin terlihat lemah, tapi air matanya sudah menggenang. “Tapi kamu jadi kena imbasnya. Padahal ini semua bukan kesalahan kamu.”
Ucapan itu membuat dada Dion serasa diremas. Tanpa sadar ia mengangkat tangan, hendak menyentuh pipinya, tapi buru-buru menarik kembali.
“Audy… Ini juga bukan kesalahan kamu. Kamu nggak perlu mikir macem-macem, yang penting sekarang kamu fokus buat selesaikan masalah kamu sama suami kamu. Kamu harus buat dia berhenti ganggu hidup kamu lagi.”
Audy tersenyum getir sambil menghapus air matanya. “Aku tahu itu, dan aku pasti lakuin itu. Aku hanya ngerasa nggak adil, kalau kamu harus dikirim ke China, karena masalah ini.”
Dion akhirnya nekat, meraih tangan Audy dan menggenggamnya erat.
“Cuma beberapa bulan. Begitu aku selesai di sana, aku bakalan balik lagi. Dan saat waktu itu tiba… aku harap semua masalah kamu sudah berakhir dan kamu bisa bahagia lagi.”
Audy hanya bisa mengangguk, hatinya campur aduk. Genggaman tangan Dion hangat, menyalurkan keberanian yang ia butuhkan.
Mereka berdiri cukup lama di sana, di sudut koridor kantor yang sepi. Tak ada kata-kata lagi, hanya genggaman tangan yang terasa lebih jujur dari semua penjelasan.
Dan di dalam hati keduanya, ada rasa yang sama—tak terucap, tapi semakin jelas mereka rasakan.
...***...
Ruang Vip restoran bergaya modern-minimalis sore itu mendadak jadi saksi perdebatan panas. Audy duduk di meja pojok, menunggu. Tangannya tenang menggenggam cangkir kopi, tapi sorot matanya tajam—siap menusuk siapa saja yang datang.
Tak lama kemudian, Chandra datang dengan Jenny di sisinya. Jenny tampak sinis, sementara Chandra berjalan dengan gaya sok percaya diri, seolah dia sudah memenangkan pertarungan.
“Audy,” sapa Chandra datar, duduk tanpa diminta. Jenny menatap Audy sambil menyunggingkan senyum mengejek.
Audy meletakkan cangkirnya perlahan, lalu bersandar.
“Langsung aja. Aku nggak ada waktu buat basa-basi murahan sama kalian. Aku tahu gosip yang nyebar di media sosial soal aku sama Dion, itu ulah kalian, kan?”
Jenny terkekeh pelan. “Heh, memangnya kalau iya kenapa? Ini akibatnya kalau mbak main-main sama kita. Jangan mbak pikir kami diam aja dengan perlakuan mbak selama ini.”
Audy mencondongkan tubuh ke depan, suaranya dingin menusuk.
“Kalian ini bener-bener nggak punya malu ya, menuduh aku berselingkuh, padahal kenyataannya yang sebenarnya berselingkuh itu kalian berdua. Dan aku punya buktinya. Jadi jangan coba-coba lempar kesalahan kalian ke aku, hanya untuk nutupin kebusukan kalian sendiri.”
Wajah Chandra sedikit menegang, tapi dia mencoba balik menantang. “Oh ya? Kalau memang ada bukti, kenapa nggak kamu tunjukin sekarang? Atau jangan-jangan kamu cuma gertak sambel doang?”
"Kamu nggak mau kan ditangkap karena nyebar konten pornografi" bisik Chandra, merujuk ke videonya bersama Jenny di kamar yang direkam melalui kamera cctv.
Audy tersenyum tipis, senyum yang membuat Jenny sedikit gelisah.
“Aku nggak perlu melakukan hal rendahan seperti itu. Kalian tenang aja. Buktinya sudah kusimpan dengan baik, aman di tempat yang nggak akan bisa kalian jangkau. Dan bukti itu akan aku tunjukkan di persidangan. Jadi jangan senyum-senyum dulu, Jenny. Sebentar lagi semua orang akan tahu, kalau kamu berselingkuh dengan suami orang. Image kamu sebagai seorang selebgram yang polos akan hancur.”
Jenny menggeram, wajahnya memerah. "Kamu pikir semua orang bakal percaya sama omongan kamu?”
"Mau coba?" seringai Audy. "Kalau kamu bisa memanfaatkan media sosial untuk mencemarkan nama baik aku, kamu pikir aku nggak bisa lakuin hal yang sama?" tanya Audy lagi.
"Jangan coba-coba kamu mbak" teriak Jenny
BRAK! Audy membanting telapak tangannya ke meja, membuat beberapa orang menoleh. Suaranya tajam, penuh kekuatan yang tak bisa dibantah.
“Cukup, Jen! Dari dulu aku diem, aku sabar. Tapi sekarang, denger baik-baik: aku muak sama kalian. Kalian itu cuma parasit! Hidup dari uangku, numpang dari kerja kerasku, lalu tega nginjek-injek harga diriku. Sumpah, aku nyesel pernah buang waktuku mencintai pria pengecut macam kamu, Chandra.”
Chandra terdiam, wajahnya merah padam. Jenny mencoba menyela dengan nada tinggi, tapi Audy menatapnya tajam hingga kata-katanya tertelan kembali.
“Aku akan menuntut kalian atas pencemaran nama baik. Jangan harap aku akan mundur. Karena itu nggak bakalan terjadi.” Audy berdiri, meraih tasnya. Tatapannya bergantian menohok keduanya.
“Kalau kalian pikir aku bakal jatuh karena gosip murahan, kalian salah besar. Yang akan hancur adalah kalian sendiri.”
Tanpa menunggu jawaban, Audy melangkah pergi dengan kepala tegak. Di belakangnya, Chandra tampak murka tapi tak bisa berkutik, sementara Jenny hanya bisa menggertakkan gigi, menahan diri karena merasa dipermalukan.
...***...
Begitu Audy pergi meninggalkan meja, keheningan sesaat tercipta. Hanya terdengar beberapa bisikan pelayan diluar yang tak ada hubungannya dengan mereka. Jenny masih terpaku, wajahnya merah padam menahan amarah.
“Gila… aku nggak pernah dipermalukan sampai seperti ini Mas.” Suaranya bergetar, antara marah dan terhina. “Audy bener-bener memperlakukan kita kayak sampah”
Chandra menghembuskan napas kasar, memijat pelipisnya. “Udahlah Jenn, Bisa diem nggak.”
Jenny membalikkan badan menatap Chandra tajam. “Diem? Mas, kamu nggak liat apa tadi? Dia ngatain kita parasit! Kamu terima dikatain begitu?"
"Posisi kamu di perusahaan direbut Adam gara-gara dia, aku juga cuma bisa bergantung dari hasil endorse yang nggak seberapa. Gimana kalau dia bener-bener ngelakuin apa yang dia omongin ke kita tadi, nama aku bisa hancur Mas. Mustahil aku bakal bisa dapat tawaran main film kalau kayak gini caranya!”
Chandra menepuk meja dengan keras hingga Jenny terlonjak. “Diam, Jenn! Kamu jangan banyak omong kalau nggak bisa kasih solusi pasti. Aku masih punya cara buat ngerebut balik semuanya!”
Jenny terbahak miris, nadanya penuh sindiran. “Cara? Cara kayak gimana lagi mas? Mau nyuruh orang masuk rumahnya Audy lagi? Atau bikin gosip murahan lain yang malah bikin kita makin keliatan kayak pecundang? Mas liat sendiri, gosip yang viral sama sekali nggak ngefek sama dia.”
Wajah Chandra memerah, matanya berkilat. “Kamu nggak ngerti apa-apa Jenn! Aku masih nyusun rencana buat bikin dia bener-bener jatuh. Kamu cuma tinggal diem dan ikutin apa yang aku bilang.”
Jenny mendengus, melipat tangan di dada. “Aku udah capek Mas. Dari awal kamu cuma bisa kasih aku janji-janji manis. Kamu pikir aku mau selamanya jadi hidup kayak gini sama kamu?”
Tatapan Chandra mengeras, rahangnya mengatup. “Maksud kamu apa, Jenn?”
Jenny menggeser kursinya mundur, matanya berkaca-kaca. “Maksud aku, jangan sampai aku juga ikut ninggalin kamu Mas. Kalau kamu nggak bisa buktiin kamu masih punya kuasa, aku nggak janji bakal tetep bisa berada di pihak kamu mas.”
Chandra terdiam, sorot matanya menegang—marah, tapi juga takut kehilangan satu-satunya orang yang masih ada di sisinya.
Jenny berdiri, meraih tasnya dengan gerakan kasar. “Kamu pikirin baik-baik deh Mas.”
Dia melangkah pergi, meninggalkan Chandra sendirian di meja itu. Chandra mengepalkan tinjunya kuat-kuat, wajahnya memerah menahan amarah bercampur frustasi.
“Brengsek… Audy, dia bener-bener bikin semuanya berantakan.” gumamnya dengan suara serak, sebelum dia menendang kursi di sebelahnya hingga terjatuh.
...****************...