Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Walkman Tua
"Ini..." Suri membolak-balik walkman tua di tangannya. Terheran-heran kenapa benda jadul itu bisa ada di gudangnya.
Walkman hitam lusuh itu terasa asing dalam genggamannya. Cat pada permukaannya sudah mengelupas di beberapa bagian, memperlihatkan logam kusam di bawahnya. Ada bekas-bekas goresan halus yang entah sudah berapa usianya. Tetapi yang aneh adalah, meski terlihat tua dan usang, walkman itu tidak berdebu sama sekali. Kontras dengan beberapa barang yang habis mereka bereskan—berdebu dan berbau khas barang-barang yang lama disimpan.
"Punyamu?" Dean menyambar tanpa permisi.
Suri menggeleng. "Aku tidak pernah menyimpan benda seperti ini," jawabnya yakin.
Dean mengamati walkman itu dengan saksama, alisnya berkerut. "Jika bukan milikmu, tidak mungkin bisa ada di sini."
Tatapan Suri berubah sinis. "Kelopak bunga mawar di lembar buku Biologi tadi juga bukan milikku, tapi bisa tiba-tiba muncul," cibirnya.
Seperti dipukul telak oleh fakta, Dean kicep seketika. Bibirnya terkatup rapat, tidak lagi memuntahkan argumen apa pun yang hanya akan membuatnya menjadi bulan-bulanan.
"Menurutmu masih berfungsi atau tidak?" tanya Suri kemudian, seraya menarik dua bilah earbuds dari headset kabel yang masih menancap di walkman.
Kabel earbuds itu terlihat dalam kondisi baik. Tidak ada bagian yang putus atau terkelupas. Bahkan bagian jack masih mengilap, tidak berkarat seperti yang seharusnya terjadi pada barang yang sudah lama terbengkalai.
"Entahlah, coba saja."
Suri mengangguk samar. Jemarinya meraba-raba tombol-tombol kecil di permukaan walkman. Ada tombol play, stop, rewind, dan fast forward. Di bagian samping, terdapat roda kecil untuk mengatur volume yang berputar mulus tanpa hambatan.
Dua bilah earbuds ia masukkan perlahan ke telinga. Sensasi dingin dari plastik earbuds membuatnya sedikit bergidik. Tombol play ditekan sekali, sampai perlahan terdengar rangkaian musik klasik mengalun dari sana.
Melodi lembut dan anggun dari Swan Lake karya Tchaikovsky menguasai indera pendengar Suri. Nada-nadanya menenangkan, bak mengajak Suri berlarian santai di padang luas penuh bunga beraneka warna. Untuk beberapa lama, Suri memejamkan mata. Mengikuti arus kenyamanan yang tercipta dari alunan musik yang didengar, sembari memunculkan visual apik dalam bayangan.
Dean memperhatikan ekspresi Suri yang berubah tenang. Gadis itu tampak terhanyut, wajahnya melembut dan bahunya yang tegang perlahan mengendur. Sesekali bibir Suri bergerak-gerak kecil, seolah mengikuti irama yang mengalir di telinganya.
Namun, setelah beberapa lama, ekspresi Suri berubah. Musik menenangkan perlahan terusik. Ada bunyi gemersik samar menginterupsi di tengah-tengah. Gemersik tidak nyaman mirip saluran radio yang tengah kehilangan sinyal.
Mata Suri praktis terbuka, menatap Dean seakan mengajaknya berbicara.
Dean menyadari ada sesuatu yang janggal, tetapi mulutnya seakan terkunci sehingga tak mampu melakukan interupsi. Ia hanya terus menatap Suri, menanti reaksi selanjutnya.
Sementara dalam pendengaran Suri, suara gemersik samar mulai berubah semakin jelas. Swan Lake tak lagi terdengar seperti sebuah rangkaian nada indah, perlahan tenggelam dalam kerusakan patah-patah.
Kemudian, muncul pula suara-suara mengganggu lainnya; langkah kaki terseret, derit pintu, dan yang paling mengganggu, suara pernapasan berat tak beraturan. Semuanya bercampur tumpang-tindih, menciptakan simfoni mengerikan yang membuat buku roma Suri meremang.
Sampai kemudian...
DUARRR!!!
Suri terlonjak dengan jantung nyaris turun ke perut. Suara hantaman keras, seperti dua benda berat saling bertubrukan, menggema memenuhi rongga telinga. Efek getarannya terasa sampai ke sekujur tubuh Suri. Terasa begitu nyata, hingga membuat gadis itu nyaris kehilangan pijakan.
"Kenapa?" Dean bertanya khawatir. Wajahnya pucat melihat ekspresi ketakutan Suri. Ia melangkah mendekat, tangannya terangkat hendak menyentuh bahu Suri, namun urung dikalahkan keraguan.
Suri tidak menjelaskan apa pun. Tangannya gemetar saat melepas earbuds. Setelahnya, ia serahkan kasar walkman tua itu kepada Dean.
Kemudian Suri bergegas, melangkah lebar meninggalkan gudang, masih dengan tubuh yang gemetar. Langkah kakinya tidak stabil, sesekali ia memegangi dinding untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas.
Sementara Dean malah terpaku di tempat. Bibirnya tidak mampu bersuara menahan kepergian Suri. Tubuhnya seakan terpatri di lantai gudang. Tatapannya beralih pelan, dari kepergian Suri, kepada walkman tua yang ditinggalkan bersamanya.
"Kenapa, Suri? Apa lagi yang terjadi padamu kali ini?"
...🍃🍃🍃🍃🍃...
Suri melirik jam di nakas. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka dua belas. Waktu di mana Claire biasanya tiba-tiba muncul di atas lemari pakaian, lalu mulai menangis.
Pandangan Suri beralih ke bagian atas lemari pakaiannya. Tempat itu sekarang kosong. Claire seakan menelan perkataan Suri kemarin malam, mematrinya di kepala sampai teguh tekadnya untuk tidak lagi menampakkan diri.
Seharusnya, Suri bersyukur. Sudah berapa lama ia berharap bisa menghabiskan malam tanpa gangguan? Sudah berapa lama dia berharap bisa tidur lebih cepat, tanpa harus lebih dulu menyisihkan waktu mencari tahu apa masalah Claire—yang ujung-ujungnya tidak mendapatkan jawaban juga?
"Tapi, Suri. Kau tidak pernah benar-benar berniat untuk tahu kenapa aku menangis."
Suri menghela napas kasar. Ia bangun dari ranjang, memeluk lututnya sambil terus menatap bagian atas lemari pakaian yang kini terasa... kosong.
Apa maksud Claire dengan ucapannya itu? Padahal jelas-jelas tidak hanya sekali dua kali Suri bertanya kenapa Claire selalu menangis. Malah Claire sendiri yang tidak pernah mau menjawab. Kalau tidak mengalihkan pembicaraan, hantu itu malah memilih untuk tiba-tiba menghilang.
"Claire," gumamnya, "mentang-mentang aku bisa melihat hantu, apa kau pikir aku juga bisa membaca isi pikiran kalian?"
Sial.
Bukan hanya Claire yang tidak lagi muncul dengan tangis menyedihkan. Mirah juga belum kelihatan sejak kemarin. Aroma sirihnya tidak terendus sama sekali. Kenneth sudah pasti akan sembunyi untuk sementara waktu. Dari sekian banyak momen, kemarahannya di gudang beberapa jam lalu pasti membuat bocah nakal itu cukup ketakutan.
Sekarang hanya sisa Dean.
Pintu diketuk pelan dari luar. Suri menoleh dengan satu alis terangkat.
Bukan. Bukan sedang menerka siapa gerangan pelakunya(karena itu pasti adalah Dean), melainkan terheran karena Dean selalu muncul setiap kali Suri habis memikirkannya. Hantu pria itu seperti punya tombol alarm di tubuhnya. Yang akan berbunyi setiap kali namanya berseliweran di kepala Suri.
"Masuk," kata Suri lantang.
Detik berikutnya, pintu kamar Suri terbuka pelan. Dean berdiri di sana, satu tangannya masuk ke saku celana, satunya lagi masih memegang walkman yang Suri tinggalkan.
Keberadaan walkman itu mengembalikan ingatan mengerikan ke kepala Suri. Praktis membuatnya menarik pandangan sambil menahan napas. Pikirnya, kenapa Dean harus membawa benda tua itu lagi ke sini? Meski tidak Suri katakan, bukankah Dean seharusnya mengerti bahwa walkman itu sudah membuat Suri tidak nyaman.
"Boleh aku masuk sebentar?"
Suri tidak menoleh, hanya mengangguk samar. Begitu Dean masuk dan berdiri di samping kamar, Suri bertanya datar. "Ada apa?"
Bersambung....