Salah masuk kamar, berujung ngamar ❌ Niat hati ingin kabur dari Juragan Agus—yang punya istri tiga. Malah ngumpet di kamar bule Russia.
Alizha Shafira—gadis yatim piatu yang mendadak dijual oleh bibinya sendiri. Alih-alih kabur dari Juragan istri tiga, Alizha malah bertemu dengan pria asing.
Arsen Mikhailovich Valensky—pria dingin yang tidak menyukai keributan, mendadak tertarik dengan kecerewetan Alizha—si gadis yang nyasar ke kamarnya.
Siapa Arsen sebenarnya? Apakah dia pria jahat yang mirip seperti mafia di dalam novel?
Dan, apakah Alizha mampu menaklukkan hati pria blasteran—yang membuatnya pusing tujuh keliling?
Welcome to cerita baper + gokil, Om Bule dan bocil tengilnya. Ikutin kisah mereka yang penuh keributan di sini👇🏻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wardha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya luluh
Ibu Arsen menarik tangan Alizha pelan, menjauh sedikit dari kerumunan. "Do you speak English?" tanyanya hati-hati.
Alizha menelan ludah. "A ... a little, Ma’am." (Sedikit, Bu.) walau gugup, tapi ia berusaha tersenyum sopan.
Wanita itu mengangguk pelan, lalu menatap wajah menantunya seolah ingin menilai apakah gadis di hadapannya benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. "Who are you, dear? What’s your name? Where’s your family?"
Alizha langsung menjawab, "My name is Alizha, I—"
Namun belum sempat dia menjelaskan lebih jauh, suara Arsen memotong cepat dari belakang. "She’s an orphan." (Dia anak yatim piatu.)
Sekejap suasana berubah. Ibu Arsen terdiam dengan wajah menegang. "What?" katanya pelan, matanya menatap Arsen dengan pandangan tak percaya.
Arsen tetap tenang, meski Alizha menoleh dengan ekspresi bingung—antara kaget, tersinggung, dan tidak tahu harus berkata apa. "She lost her parents when she was young." (Dia kehilangan orang tuanya saat masih kecil.)
Ibu Arsen memejamkan mata sejenak, menahan napas panjang. Wajahnya terlihat antara iba dan cemas. "Oh, God ...," gumamnya lirih. "So, she’s alone?"
Arsen mengangguk singkat.
Ekspresi wanita itu berubah makin berat. Ia menatap Alizha beberapa detik, lalu beralih ke putranya. "Arsen, kau sadar apa yang kau lakukan? Dia gadis polos, tidak punya keluarga, dan kau ...," suaranya tercekat, "kau tidak sedang berusaha memanfaatkannya, kan?"
Alizha sontak menatap Arsen dengan mata membesar. "Memanfaatkan?" batinnya
Arsen menatap ibunya. "Tentu tidak. Saya menikahinya karena saya mau, bukan karena iba."
Tapi justru kalimat itu membuat ibu Arsen semakin tak tenang. "Karena kamu mau? Arsen, pernikahan bukan mainan! Apalagi dengan gadis tanpa pelindung seperti dia. Kau sadar bagaimana kedengarannya di telinga orang luar?"
Alizha menunduk semakin dalam. Jari-jarinya meremas ujung jaket Arsen, mencoba menahan degup jantungnya yang kacau. Dalam hati ia bingung—antara ingin menyahut atau pasrah dengan kebingungan bahasa mereka.
Ibu Arsen kembali menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut. "My dear, did he force you? Tell me honestly, did he?"
Alizha menggeleng cepat, tentu dia panik. "No, Ma’am! He’s ... he’s good to me. Very good."
Tatapan wanita itu bergeser pelan ke arah Arsen. "Kau beruntung dia menjawab seperti itu," ujarnya dingin. "Tapi kalau kutemukan kau menyentuhnya dengan niat lain selain melindunginya. Demi Tuhan, kau akan berhadapan langsung dengan ibumu sendiri."
Arsen tersenyum tipis. "Tenang saja, Ibu. Saya sudah cukup dewasa untuk tahu bedanya cinta dan permainan."
Namun, di sisi lain, Alizha hanya bisa menunduk. Pikirannya berputar—antara ingin tertawa karena ibu mertuanya membelanya, dan ingin menangis karena seolah dia gadis naif yang perlu diselamatkan.
Ibu Arsen masih menatap putranya dengan sorot mata tegas. Di sisi lain, Alizha hanya bisa berdiri kikuk, tangannya berusaha menyembunyikan gemetar di balik mantel panjangnya.
Ibu Arsen menghela napas panjang, menatap wajah polos Alizha yang tampak gugup tapi berusaha untuk tegar. Tatapan itu bergeser ke arah Arsen. "Kau sadar apa artinya itu bagi keluarga ini, Arsen? Dunia luar bisa saja salah menilai. Mereka akan berpikir kau memanfaatkan anak baik-baik ini."
Arsen mendengus pelan. "Biarkan dunia berpikir apa pun yang mereka mau. Saya tidak butuh validasi siapa pun."
Suasana hening beberapa detik, sampai akhirnya dua adiknya—Alexei dan Mikhail—saling bertukar pandang. Mereka yang tadinya menatap sinis kini mulai gelisah sendiri, terutama melihat ibunya yang mulai panik dan hampir menangis.
Alexei, sang adik keduanya yang blak-blakan sejak tadi, akhirnya bersuara. "Bu, mungkin kita sebaiknya tenang dulu."
Mikhail mengangguk setuju, lalu menatap ke arah Alizha yang tampak seperti anak kucing basah di tengah badai salju. Ia melangkah maju dengan senyum canggung. "Hello... I’m Mikhail. Welcome."
Alizha sempat kaget, tapi buru-buru membalas dengan sopan. "Hello, nice to meet you."
"Nice to meet you too." jawabnya sambil tersenyum ramah.
Alexei menambahkan, "I’m Alexei. Sorry for the chaos ... we’re just surprised." (Saya Alexei. Maaf atas keributan ini,kami cuma kaget.)
Nada suaranya lembut, tak lagi sinis seperti sebelumnya. Ia bahkan menepuk bahu kakaknya pelan, lalu berbisik pelan, "Kau bikin Mama hampir pingsan, tahu?"
Arsen hanya menatap dingin, tapi pelukannya pada tangan Alizha tak kendur sedikit pun. "Kau bisa menyalahkan saya nanti. Sekarang, jangan ganggu dia."
Alexei mendengus, tapi ia menahan senyum kecil. "Ya ampun, baru kali ini kulihat kau segitu protektifnya."
Sementara itu, ayah mereka yang sedari tadi diam akhirnya bersuara lagi. "Cukup. Kita tidak akan berteriak di depan tamu, apalagi menantu baru," katanya tidak sesinis tadi.
Ibu Arsen menatap suaminya dengan wajah masih khawatir, tapi perlahan menurunkan nada suaranya. Ayah Arsen melangkah ke depan, menatap Alizha dari atas ke bawah, lalu tersenyum kecil—senyum tipis yang hangat tapi masih mengandung wibawa.
"Welcome to the family, Alizha," katanya pelan. "Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang. Mari masuk."
Alizha menatap pria itu dengan wajah gugup, lalu menunduk sedikit. "Thank you, Sir."
Arsen menarik tangan istrinya dengan lembut, membawanya masuk melewati ambang pintu rumah megah itu. Tatapan Alizha terpaku kelada setiap detail rumah itu.
Meskipun suasana terlihat hangat, ketegangan masih terasa seperti kabut tipis yang belum sepenuhnya hilang. Alizha bisa merasakan itu.
Ibu Arsen duduk di kursi panjang mewah. Ia menatap Alizha yang duduk di sisi Arsen, masih menggenggam tangan suaminya seolah itu satu-satunya jangkar di tempat asing ini.
Mikhail mencoba mencairkan suasana. "So, Alizha, pernah lihat salju sebelumnya?"
Alizha menggeleng cepat. "No, never. Only on television."
Alexei tersenyum. "Then you’ll see a lot of it here. Russia will freeze your eyelashes before you even realize it." (Kau akan melihat banyak di sini. Rusia bisa membekukan bulu matamu sebelum kau sadar.)
Arsen melirik adiknya tajam. "Jangan menakutinya."
Alexei tertawa kecil. ""Santai, Kak. Dia harus mulai terbiasa."
Namun, Arsen tetap menatapnya seperti singa menjaga wilayahnya. Genggamannya pada tangan Alizha malah semakin erat.
"Baby goat, kalau mereka bicara aneh-aneh, jangan hiraukan," bisiknya dalam bahasa Indonesia, cukup pelan agar hanya Alizha yang mendengar.
Alizha hampir tertawa kecil, tapi menahannya karena suasana belum sepenuhnya cair. Ia hanya berdehem pelan. "Iya, Mister Beruang. Tapi jangan kayak mau ngajak duel semua orang juga kali."
Arsen memiringkan kepala. "Mereka adik-adik saya, bukan malaikat penjaga. Saya tahu batas mereka."
"Ya tapi tatapanmu kayak mau mencakar mereka, tahu nggak?"
Ucapan itu nyaris membuat Mikhail tersedak teh karena mendengar nada lucu dari bahasa yang tidak ia pahami. Alexei ikut mengernyit penasaran. "Apa yang dia bilang?"
Arsen menjawab santai, "Dia bilang kalian menyebalkan."
"Mister! Kamu memelintir kata!" protes Alizha cepat, membuat dua adik Arsen tertawa keras. Padahal mereka masih mengerti sedikit bahasa Indonesia.
Suasana akhirnya mencair, bahkan ibu Arsen yang tadi tegang kini menatap mereka dengan senyum samar. Ada ketulusan di mata wanita itu, meski kekhawatiran belum sepenuhnya hilang.
Ia menghela napas pelan. "Arsen sayang. Ibu harap kau sungguh-sungguh dengannya."
Arsen menatap lurus ke arah ibunya, lalu menunduk sedikit sebagai bentuk hormat. "Saya tidak pernah main-main dalam hal ini."
Ayahnya ikut bicara, suaranya kini lebih lembut. "Kalau begitu, buktikan, Nak. Buat dia merasa aman di sini."
Arsen mengangguk cepat. Ia lalu menoleh ke arah Alizha. "Selama saya di sini, tidak akan ada yang menyentuhmu, bahkan dengan pandangan meremehkan."
Kalimat itu membuat ruang tamu seketika hening. Semua yang mendengarnya tahu, Arsen sedang tidak bercanda.
Alexei dan Mikhail saling pandang, lalu mengangkat bahu dengan ekspresi pasrah. "Okay, okay, we get it," kata Mikhail sambil tersenyum kecil.
"Welcome, Sister," tambah Alexei tulus kali ini. "Don’t worry. Kau sekarang bagian dari kami."
Alizha menatap mereka satu per satu—ayah, ibu, dua adik ipar, lalu kembali ke Arsen. Hatinya masih berdebar.
Untuk pertama kalinya sejak mendarat di Rusia, ia merasa sedikit lega. Meski rumah ini masih asing, dan keluarga besar ini masih misteri. Setidaknya ia tahu satu hal—Arsen benar-benar tidak akan melepas tangannya.
Ia menatap suaminya pelan, lalu tersenyum samar. "Terima kasih, Mister Beruang."
Arsen menunduk sedikit, membalas dengan bisikan lirih, "Anything for you, baby goat."
gemesnya liat mereka
lah ini dosa 🤦🤣🤣
haram Bu🤣🤣
tapi komitmen akan ada selamanya
mana bener lagi🤣🤣
money ia not everything
but everything need's money 🤣
didandanin dulu biar cakep🤣🤣
bule gabut
dryadi ngerti juga malah bikin sendiri repot
jangan nyesel ya sir
tidak menerima pengembalian barang Lo..inget itu
ganteng nya apa galak nya🤣🤣
ini di negara mana
mesti tau donk yg punya bahasanya🤣🤣
ngarep🤣🤣
konsonan semua huruf nya😊🤣🤦
itu apaan 🤦