Nolan seorang sarjana fisioterapi yg memiliki mimpi menjadi seperti ayahnya seorang dokter hebat yg berhasil menyelamatkan banyak nyawa.
Tetapi dalam prosesnya banyak masalah muncul hingga akhirnya Nolan kehilangan kedua orang tuanya dan harus berjuang bertahan hidup bersama adiknya.
Disaat situasi yg putus asa, orang yg tidak pernah terpikirkan olehnya datang dan memberi secercah harapan.
Sebuah jalan baru yg memungkinkan Nolan untuk mengubah kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenjagaMalam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Persiapan.
Setelah perjalanan panjang dan melelahkan di dunia lain, Nolan kembali membuka mata di kamar apartemen kecil mereka. Sinar matahari pagi menembus tirai tipis, menghangatkan kulitnya.
Hari ini adalah hari terakhir mereka di kota ini.
Seluruh persiapan untuk pindah ke Bali telah hampir rampung. Nolan menebus semua tunggakan mereka dari listrik, air, hingga cicilan sekolah Nadia yang sempat menumpuk beberapa bulan lalu. Tidak ada lagi yang tertinggal kecuali masa lalu yang terus membayangi langkah mereka.
"Bangun, Nad. Kita urus surat pindah sekolahmu dulu" kata Nolan sambil menepuk pelan bahu adiknya.
Nadia mengucek matanya, masih mengantuk. "Hari ini juga? Bukannya mau jalan-jalan terakhir?"
"Kita bisa jalan setelah urusan beres," jawab Nolan singkat, lalu beranjak ke kamar mandi.
Di Kantor Sekolah
Mereka mengurus administrasi dengan lancar. Kepala sekolah bahkan sempat menawarkan beasiswa bagi Nadia jika ingin tetap tinggal dan menyelesaikan tahun ajaran di sini. Tapi Nolan menolak dengan sopan.
“Terima kasih, Bu. Tapi kami berencana pindah dari kota ini” katanya sambil menatap lurus.
Senyum tipis yang tidak bisa dibaca.
Di Mall Kota
Nolan tidak membuang waktu. Begitu urusan sekolah selesai, ia membawa Nadia ke pusat perbelanjaan terbesar di kota. Namun, bukan untuk bersenang-senang seperti yang dibayangkan gadis itu.
"Bang, kok langsung ke toko outdoor? Aku kira kita nonton film dulu, makan es krim, atau... ya setidaknya... kenangan terakhir yang menyenangkan gitu," protes Nadia.
Nolan hanya menanggapi dengan satu kalimat, “Nanti juga kamu tahu.”
Ia membeli beberapa tenda lipat portabel, sleeping bag, pakaian tahan cuaca, obat-obatan darurat, tablet pemurni air, kompor mini gas, bahkan beberapa jenis alat pertahanan diri. Tak lupa persediaan makanan instan, perlengkapan menjahit, dan belasan pakaian praktis yang bisa bertahan di segala medan.
Nadia hanya bisa memelototi troli belanja mereka yang semakin lama semakin tak masuk akal.
Tapi yang lebih membuatnya bingung adalah saat Nolan mulai masuk ke toko alat elektronik dan membeli lusinan barang aneh charger tenaga surya, alat pemroses suara, lampu LED dengan baterai mandiri, serta perhiasan kecil dan gadget yang katanya "mewah tapi ringan dibawa."
“Ini buat apa?” tanya Nadia akhirnya.
"Berpetualang." jawab Nolan pendek.
"Dimana?"
"Di hati mu."
"Enyah."
Tak cukup di situ. Nolan bahkan menyewa jasa pengiriman dari mall agar barang-barangnya diantar langsung ke gudang apartemen mereka. Terlalu banyak untuk dibawa tangan kosong karena sebelum pulang Nolan harus memenuhi keinginan Nadia untuk bersenang senang.
Di perjalanan pulang, mobil mereka melewati ruas jalan besar. Lalu, entah dari mana, sebuah rasa tak nyaman menyelinap di benak Nolan. Getaran halus menyusup ke tulang belakangnya energi asing yang gelap, mengalir deras seperti arus sungai hitam yang tidak terlihat. Aura itu... bukan aura biasa.
"Spiritual Mindset aktif."
Sistem mengkonfirmasi firasat Nolan. Pikiran Nolan seketika jernih. Emosinya tenang, logikanya tajam. Ia membaca energi itu seperti membaca peta.
Ada seseorang... atau sesuatu... yang mengincarnya. Mencoba masuk ke dalam kehidupan mereka dari celah terkecil dan seperti sudah diatur.
Tak lama kemudian sebuah truk dari arah berlawanan tiba-tiba oleng dari jalurnya. Dalam hitungan detik, kendaraan besar itu melaju kencang, tak terkendali, mengarah langsung ke mobil Nolan dan Nadia.
"Astag—!" teriak Nadia.
Namun sebelum tabrakan terjadi, salah satu ban truk terlepas secara ajaib membuatnya tergelincir, menabrak trotoar, lalu menghantam toko kosong di pinggir jalan. Pecahan kaca dan debu mengepul ke udara tapi Nolan terus melaju.
Nadia menoleh ke belakang, matanya masih lebar. “Bang! Kita harus berhenti! Itu orang bisa aja sekarat! Setidaknya kita panggil bantuan!”
Nolan tidak menjawab. Pandangannya tetap lurus ke depan.
“Bang! Ayolah! Kamu nggak bisa—”
“Kalau peduli, TLP saja ambulan dan polisi,” potong Nolan dengan dingin. “Nggak ada gunanya kita di sana. Selain bikin macet, kita cuma jadi penonton yang ngerepotin tim medis. Kalau sopirnya masih hidup, warga sekitar pasti nolong dan kalau mati… ya, bukan kita juga yang bisa ubah itu.”
Nadia tercekat. Diam. Tapi lebih karena terkejut daripada setuju.
Lalu Nolan melanjutkan, suaranya datar tapi tajam, seperti pisau yang menusuk:
“Jangan sok jadi orang baik kalau ujung-ujungnya cuma nyusahin. Dunia ini udah penuh sama orang yang haus pengakuan, mereka hanya mengejar cover yg bagus tanpa memperbaiki isinya.”
"Kok jadi ceramah." Nadia jelas tidak senang walaupun apa yg di katakan kakaknya masuk akal.
"Lalu dimana semua orang saat kita terpuruk? Keluarga jauh? Teman teman dekat ayah dan ibu? Dimana mereka semua? Dulu banyak dari mereka berkunjung ke rumah, berbicara manis, bercerita tentang ibadah mereka pada Tuhan, pergi ke berbagai tempat untuk beribadah tetapi satu pun dari mereka tak ada yg membantu kita selain hanya dengan kata kata bela sungkawa. Apa menurut mu kata kata bisa dimakan?"
Nadia terdiam, wajahnya terlihat sedih mengingat masa lalu pahit yg sudah mereka alami selama ini.
Melihat ini Nolan menenangkan Nadia dengan membelai kepalanya. "Jadilah orang yg bisa berjalan dengan kaki mu sendiri, jangan pernah mengharapkan bantuan orang lain, dunia ini kejam. Tidak peduli apa yg orang lain katakan tentang kita selama kita tetap bisa bertahan hidup tanpa dengan cara yg halal tanpa harus mengambil milik orang lain apa lagi mencurinya maka itu tidak masalah."
Nadia mengangguk. "Mengerti.."
"Mengenai ayah dan ibu, itu murni kecelakaan. Aku sudah menyelidikinya jadi kamu harus merelakannya, biarkan mereka tenang di sana karena sudah ada aku yg menggantikan mereka."
[Efek Skill: Spiritual Mindset Aktif]
Sistem membuat Nolan melihat semuanya lebih jernih. Ia tak lagi terjebak pada "kewajiban moral" palsu yang dibentuk oleh konstruksi sosial. Dunia ini terlalu kompleks untuk disederhanakan dengan konsep hitam-putih seperti "baik" dan "jahat", "peduli" dan "acuh".
Sekarang Nolan tahu bagaimana menanggapi rasa empati yg muncul dan melakukan tindakan yg tetap serta efisien bukan untuk membuat orang lain tahu bahwa Nolan adalah pria baik tapi benar benar memberikan bantuan yg berarti tanpa harus mengorbankan diri sendiri apa lagi orang lain.
Nadia memandang kakaknya dalam diam. Berpikir kakaknya lebih mempesona dari biasanya, bahkan Kim Soohyun sudah tertutup bayangan kakaknya.
"Bang, aku ingin dengar ceramah mu lagi."
Nolan melirik sinis. "Mengejek ku lagi."
"Serius bang, kamu sangat tampan saat ceramah."
"Kamu hanya ingin melihat ku tampan atau memahami apa yg aku katakan?" Nolan kesal.
"Tentu saja.... wajah tampan." Nadia menjulurkan lidahnya, mengejek sebelum tertawa cekikikan. "He he he..."
"Sungguh, aku akan melemparkan mu di jalan."
"Aku akan teriak jika Abang ingin mencabuli ku."
"Memang ada yg akan percaya?"
"Wanita cantik dan imut seperti ku lebih di percaya, angkat rok sedikit mereka semua akan menggonggong mu seperti anjing liar."
"Siapa yg mengajari mu?"
"Siapa lagi jika bukan calon kakak ipar ku, kenapa? Mau protes dengannya? Aku bisa TLP sekarang."
"Tidak perlu." Nolan menyerah.
"Apa..." Nadia seakan tidak mendengar apa yg Nolan katakan.
"Tidak perlu." Nolan menaikan nadanya.
"Baiklah, biar ku TLP calon kakak ipar ku. Biar ku bilang jika Abang ku yg tampan tidak senang dengannya dan ingin mencari wanita yg lebih muda."
"Jangan bicara omong kosong." Nolan kembali kesal.
"Apa... Abang bilang ingin wanita yg seumuran dengan ku."
Nolan mengerang sesaat dan akhirnya menghela nafas tak berdaya.
"Ok ok, apa katakan apa yg kamu inginkan."
"He he he..." Nadia tertawa puas atas kemenangannya.