Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.
Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.
Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.
Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.
Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?
Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.
Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ultimatum di Ambang Kematian
Langkah kaki Alaric Alverio bergema di koridor steril rumah sakit elit itu. Sepatu kulit hitam mahalnya beradu dengan lantai marmer putih, bersih dan dingin, sama seperti tatapan pria itu.
Dua bodyguard membukakan pintu ruang VVIP tanpa sepatah kata pun. Aroma antiseptik bercampur dengan wangi mawar putih memenuhi udara. Di tengah ruangan luas yang dipenuhi alat medis canggih, seorang pria tua terbaring lemah—kakeknya, Ravenshire Alverio—pendiri dan pemilik imperium bisnis Alverio Group sekaligus pria terkaya di dunia.
Alaric tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah mendekat, sikapnya tenang, tapi rahangnya mengeras saat melihat tubuh kurus sang kakek yang dulu tak tergoyahkan oleh siapa pun.
Di sisi ranjang—papa Alaric, Samudra Alverio— berdiri kaku. Wajahnya dingin, suaranya bahkan lebih dingin ketika berkata, “Kakekmu tidak punya banyak waktu. Dan dia tidak akan membiarkan semua ini jatuh ke tangan yang salah.”
Alaric menatap sang papa tajam. “Langsung ke intinya.”
Pria itu menyerahkan selembar dokumen, ditandatangani langsung oleh Ravenshire. Di atasnya, satu syarat tertulis tegas:
‘Jika Alaric Alverio tidak menikah dalam tujuh hari terhitung sejak hari ini, seluruh harta warisan, saham, dan kekuasaan perusahaan akan dialihkan kepada anak dari Samuel Alverio, Renzo Alverio.’
Ya, Samuel adalah saudara kembar Samudra. Usia masih 45 tahunan. Terbayang semudah apa Alaric saat ini.
Alaric tertawa tipis—sarkastik. “Menikah dalam seminggu? Dengan siapa? Asisten kantor? Model iklan minuman?”
“Siapa pun bisa. Asalkan resmi. Dan secepatnya,” jelas Samudra.
Alaric memutar bola matanya malas. Tapi sebelum ia bisa mengumpat, layar televisi 60 inci di sudut ruangan menyala otomatis—menayangkan berita yang sedang viral di seluruh negeri.
'Artis papan atas Aluna Valtieri kini menjadi tersangka utama dalam kematian mantan kekasihnya, Rafael Maresca. Sang model pria ditemukan tewas mengenaskan di apartemen mewahnya semalam…
Gambar Aluna muncul besar di layar—wajah cantiknya penuh air mata, dikerubungi wartawan. Gaun mewahnya tercabik, eyeliner-nya luntur, tapi aura glamor dan sensualnya tetap tak pudar.
Alaric mengernyit. Nama itu terdengar familiar.
'Perusahaan Alverio Beauty, milik keluarga Alverio, diketahui sebagai sponsor utama Aluna selama dua tahun terakhir. Beberapa kerja sama iklan telah ditunda, menunggu hasil penyelidikan polisi...'
Seketika, ide gila mulai terbentuk di kepala Alaric.
Ia mendekat ke layar, menyipitkan mata. Lalu menoleh pada papanya.
“Jika aku menikahi wanita yang sedang dibenci seluruh negeri... lalu menyelamatkan reputasinya... berarti aku juga menyelamatkan nama perusahaan, ‘kan?”
Samudra menatapnya tajam. “Kau tidak serius.”
Alaric menyeringai. “Dia butuh perlindungan. Aku butuh istri. Saling untung, bukan?”
Ia menyelipkan tangan ke saku celana, lalu menarik smartphonenya.
Virgo—Sekretaris
Cari tahu di mana Aluna Valtieri sekarang.
Aku ingin bertemu dengannya malam ini.
...***...
Langkah kaki Alaric bergema di sepanjang koridor lantai 32 apartemen mewah itu—bagian dari Alverio Nyx Residences, salah satu proyek real estate unggulan milik kakeknya. Angin AC menyapu rapi jas hitamnya yang mahal, kontras dengan kemeja putih terbuka dua kancing. Jam tangan Audemars di pergelangan kirinya memantulkan cahaya temaram lampu koridor.
Tangannya memasukkan kartu akses. Tapi sebelum pintu terbuka penuh, seorang pria paruh baya keluar tergesa dari dalam apartemen. Pria itu—dengan Manager ID yang menangani Aluna Valtieri—langsung terhenti saat melihat siapa yang berdiri di depannya.
Mata manajer itu membelalak. "P-Pak Alaric?"
Alaric hanya mengangkat alis, tangannya masih menyelipkan kartu ke sakunya. “Kenapa?”
"Maaf, saya tidak tahu Anda akan datang sendiri. Kalau ini soal kontrak, saya bisa siapkan pengacara kami—"
Alaric menyela dingin. Suaranya datar tapi tajam. “Saya di sini bukan untuk mendengarkan pembelaan. Saya hanya ingin berbicara langsung dengan artismu.”
Manager itu menelan ludah. “Kalau soal kontrak—”
“Jika semua tidak berjalan sesuai rencana saya,” lanjut Alaric, berjalan melewati pria itu tanpa menoleh, “kontrak itu akan dibatalkan dalam waktu 24 jam. Dan reputasinya… biar publik yang menghancurkan.”
Manager itu membisu. Tak sempat mengucap sepatah kata pun, pintu sudah tertutup kembali di belakang Alaric.
Ruangan apartemen Aluna tenang, hanya terdengar alunan instrumental klasik dari speaker tersembunyi. Aroma lavender samar tercium dari diffuser yang berhembus halus di sudut ruangan. Interiornya mewah, hangat, berkelas—kontras dengan berita kriminal yang baru saja meledak di luar sana.
Alaric melangkah masuk tanpa ragu, menyisir ruangan dengan pandangan tajam. Lalu dia berhenti.
Di depan cermin kamar, Aluna Valtieri berdiri membelakanginya—gaun hitamnya sudah separuh melorot dari bahu.
Tubuh jenjang dan lekuk tubuhnya terpampang sebagian, kulit pucatnya memantulkan cahaya malam yang masuk dari jendela. Aluna tak menyadari kehadirannya, sibuk menarik resleting dengan satu tangan.
“Kalau aku ingin melihat lebih banyak, harusnya aku datang lima menit lebih lambat,” ucap Alaric ringan, suaranya rendah dan terkontrol.
Aluna terlonjak, refleks menarik gaunnya kembali ke bahu. “Apa kau gila?! Masuk tanpa izin?!”
Alaric bersandar santai di ambang pintu. “Aku pemilik gedung ini. Dan kebetulan juga sponsor yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan kariermu, tergantung mood-ku malam ini.”
Aluna memutar tubuhnya perlahan, matanya menajam—campuran marah dan curiga. Nafasnya masih terengah, tapi bukan karena malu. Lebih karena penasaran.
“Kalau kau datang untuk membatalkan kontrak, kirim saja tim legalmu. Aku tak butuh intimidasi.”
Alaric melangkah mendekat, mengurangi jarak di antara mereka. “Aku tidak ke sini untuk membatalkan apa pun. Aku ke sini untuk menawarimu... kehidupan baru. Tapi dengan syarat.”
“Syarat?” Aluna mengangkat alis. “Kau datang tengah malam, masuk ke apartemenku, dan bicara seperti kau sedang memilih properti?”
“Kurang lebih.” Alaric menyeringai kecil. “Aku butuh istri dalam tujuh hari. Kau butuh penyelamat. Kita bisa saling menguntungkan.”
Aluna terdiam. Sebelum ia sempat menjawab, smartphonenya berdering keras. Layar menampilkan nama rumah sakit. Tangannya gemetar saat menyentuh layar.
“Halo?”
Beberapa detik kemudian, wajah Aluna berubah pucat. Matanya melebar, tubuhnya bergoyang seperti kehilangan keseimbangan.
“Apa…? Tidak mungkin… Mama… Papa… Rey?”
Tangannya lemas, smartphone jatuh ke lantai berkarpet. Napasnya tersengal—terlalu sunyi dan terlalu panik dalam waktu bersamaan.
Alaric mendekat, refleks menahan lengannya sebelum ia jatuh.
“Apa yang terjadi?” tanyanya pelan.
Aluna tak menjawab. Air matanya mengalir diam-diam, tapi tatapannya kosong. Tiga nama yang ia panggil barusan… adalah keluarganya. Dan kini, mereka hanya tinggal kenangan. Kecelakaan dalam perjalanan menemuinya setelah mendengar anak pertama mereka jadi tersangka pembunuhan.
...***...
Langkah kaki Aluna bergema pelan di sepanjang koridor marmer putih. Gaun putih panjang membuntuti tubuhnya setiap kali ia melangkah, kainnya lembut dan mewah, tetapi rasanya berat di punggungnya—seberat hidup yang kini menuntunnya menuju altar pernikahan yang bukan ia pilih sendiri.
Pintu besar kayu ek dibuka perlahan. Sinar dari ratusan chandelier menyambutnya—menerangi ruangan megah bertema putih-emas yang dipenuhi tamu berdasi, berlensa kamera, dan beraroma uang.
Di sisi kanan aula, duduk para bintang film, penyanyi, dan model yang diam-diam masih percaya pada Aluna. Tatapan mereka campuran antara simpati, kekaguman, dan harapan. Mereka mengenal Aluna sebelum dunia menjadikannya headline kriminal.
Di sisi kiri, tamu-tamu dari kalangan bisnis dan politik berdiri tegap mengenakan setelan terbaik mereka. Semua undangan itu adalah hasil kerja keras tim Alverio Grup dalam tujuh hari persiapan yang hampir mustahil. Tapi keluarga Alverio tak pernah gagal dalam menciptakan panggung yang sempurna—meskipun cinta tak termasuk di dalamnya.
Langkah Aluna tertahan sesaat saat sampai di ujung karpet merah. Pandangannya bertemu dengan sosok pria tinggi di ujung altar.
Alaric Alverio—dalam setelan jas hitam eksklusif, rambut disisir rapi ke belakang, dan tatapan tajam yang tak pernah memberinya ruang untuk bernapas lega.
Tangannya terulur. Diam, tapi kuat. Aluna ragu sejenak, lalu menyambut uluran itu.
“Tidak ada jalan kembali setelah ini,” bisik Alaric nyaris tanpa suara.
“Memangnya aku pernah punya pilihan?” Aluna balas lirih, bibirnya membentuk senyum sinis yang tak sampai ke mata.
Mereka berdiri di altar. Pendeta membaca naskah pernikahan dengan khidmat, sementara blitz kamera dan sorot lampu dari media yang diundang tak henti memotret setiap detik kebersamaan mereka.
“Dengan ini, aku menanyakan kepada Tuan Alaric Alverio—apakah Anda bersedia menerima Aluna Valtieri sebagai istri Anda?”
Alaric menatap mata Aluna. Dalam-dalam. Bukan karena cinta, tapi karena keputusan yang tidak bisa ia tarik kembali.
“Aku bersedia,” katanya tenang.
“Dan Anda, Nona Aluna Valtieri—apakah Anda bersedia menerima Alaric Alverio sebagai suami Anda?”
Aluna menarik napas pelan. Tak ada satu pun keluarganya yang duduk di antara undangan. Kursi yang disiapkan khusus untuk orang tua dan adiknya tetap kosong—sunyi, menyakitkan, dan tak tersentuh.
Ia menggigit bibir. Lalu menatap lurus ke depan.
“Aku bersedia.” Suaranya nyaris bergetar—tapi ia tak membiarkan air mata jatuh.
Pendeta mengangguk.
“Silakan menyampaikan janji pernikahan Anda.”
Alaric berbicara lebih dulu. Matanya tidak berkedip.
“Aku tidak akan menjanjikan cinta, tapi aku akan memastikan kamu tidak sendiri menghadapi dunia. Selama kamu tak mengkhianati kepercayaan ini, aku akan berdiri di sisimu.”
Aluna menelan ludah. Tangannya menggenggam buket lebih erat.
“Aku tidak tahu apakah aku masih pantas dipercaya siapa pun. Tapi jika ada sisa hidupku yang bisa diperbaiki, maka aku akan memulai dari sini. Dari kamu.”
Keheningan menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Kamera berhenti berbunyi. Waktu seolah menunggu…
“Dengan ini, aku nyatakan kalian sebagai suami istri.”
Alaric tak menunggu komando. Ia mengangkat dagu Aluna dengan satu jari, lalu menunduk…
Dan mendaratkan kecupan dalam di bibirnya—hangat, dalam, dan terlalu nyata untuk disebut sekadar formalitas. Bibir mereka bertaut lama, cukup untuk membungkam tanya-tanya dunia tentang ‘pernikahan dadakan’ mereka.
Saat mereka berpisah, Aluna hanya bisa menatap kosong ke depan. Senyuman kecil menghiasi wajah Alaric, tapi matanya tetap seperti es: menyembunyikan lebih banyak dari yang dia tunjukkan.
...***...
Pintu kamar pengantin terbuka perlahan dengan suara klik halus. Langit-langit tinggi, lampu gantung kristal, dan sprei putih yang tersusun sempurna menciptakan atmosfer mewah—tapi dingin. Seperti hubungan mereka.
Alaric melepas jas hitamnya tanpa bicara. Ia melemparnya ke sofa lalu membuka kancing kemeja satu per satu, santai dan tanpa beban. Cahaya temaram kamar mempertegas garis tegas otot-otot dada dan bahunya. Ia menoleh ke Aluna yang berdiri terpaku di dekat meja rias, gaun pengantin masih membalut tubuhnya yang lelah—gaun itu mewah, berat, dan nyaris terlepas dari satu sisi bahunya.
Aluna tidak berkata sepatah kata pun. Padahal Alaric tahu, wanita itu biasanya adalah peluru yang siap meletup dengan komentar sarkastik dan celetukan tajam.
“Kamu diam. Aneh sekali,” ucap Alaric, mendekat pelan, suaranya rendah.
Aluna menoleh sebentar. Senyumnya kecil, tapi bukan senyuman menyambut—lebih seperti menahan.
“Aku hanya sedang memilih kalimat yang tidak akan membuatmu ingin mendorongku keluar jendela,” gumamnya pelan.
Alaric tertawa pendek. “Biasanya kamu tidak selembut ini. Artis yang suka nyolot.”
Ia berdiri di hadapan Aluna, satu tangannya mengangkat dagu gadis itu, lembut namun mantap. Mata mereka bertemu. Napas Aluna tercekat sejenak, tapi ia tidak bergerak menjauh.
Gaun di bahunya melorot sedikit lebih dalam. Dan dada Alaric kini tak lagi terhalang kain. Udara di antara mereka makin berat. Tak ada suara kecuali detak jam dan deru napas yang pelan tapi tak stabil.
Jari-jari Alaric menyentuh tulang selangka Aluna. “Kita bisa mulai jadi suami istri sungguhan malam ini…” bisiknya.
Aluna menggigit bibir, tapi tidak berkata ya ataupun tidak. Sebaliknya, ia menarik tubuh Alaric lebih dekat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang awalnya pelan, lalu makin dalam, semakin panas. Lidahnya manis, namun getir. Seperti perasaan yang belum bisa mereka beri nama.
Tangan Alaric menyelusup ke belakang punggung Aluna, sementara resleting gaunnya mulai turun perlahan...
Tiba-tiba suara dering telepon memotong semuanya.
Nada dering itu terdengar dari sisi ranjang. Alaric mengumpat pelan, masih setengah menunduk dengan bibirnya hanya sejengkal dari leher Aluna.
“Jangan diangkat,” bisik Aluna cepat, menarik wajahnya kembali, jari-jarinya menahan pergelangan tangan Alaric agar tetap bersamanya.
Tapi Alaric sudah melihat layar. Nama itu muncul jelas.
Renzo
“Bang, jemput gue di bandara. Sekarang.”
Suara di seberang terdengar dalam, maskulin, tapi agak manja.
“Pesawat gue mendarat lima belas menit lagi.”
Alaric menarik napas panjang dan menoleh ke Aluna. Gaunnya sudah hampir terbuka, pundaknya telanjang. Tatapannya kebingungan.
“Kamu mau pergi?” tanya Aluna. “Suruh aja pengawal—”
“Aku sendiri yang harus menjemputnya,” potong Alaric, suaranya datar namun tegas.
Aluna mengernyit. “Kenapa? Siapa cowok tadi?”
Alaric menatapnya beberapa detik, lalu melempar smartphone ke sofa. Tubuhnya berbalik mengambil kemeja. “Tidak ada yang lebih penting dari Renzo.”
Aluna menahan tangan Alaric sebelum ia pergi. “Sepenting itu?”
Hening.
Alaric menoleh. Wajahnya tetap tenang. Tapi suaranya lebih berat dari biasanya.
“Karena... hanya dia yang bisa bikin jantungku berdebar tanpa harus menyentuhku.”
Mata Aluna membesar. Jemarinya melemah di lengan Alaric. Tidak ada ciuman. Tidak ada ledakan. Tapi kalimat itu—menampar jauh lebih keras.
Alaric memandangi mata Aluna sekali lagi, lalu pergi, meninggalkannya berdiri sendiri di kamar yang terlalu besar, terlalu dingin, dan kini terlalu sunyi.