Keinginan untuk dipeluk erat oleh seseorang yang dicintai dengan sepenuh jiwa, merasakan hangatnya pelukan yang membungkus seluruh keberadaan, menghilangkan rasa takut dan kesepian, serta memberikan rasa aman dan nyaman yang tak tergantikan, seperti pelukan yang dapat menyembuhkan luka hati dan menenangkan pikiran yang kacau, memberikan kesempatan untuk melepaskan semua beban dan menemukan kembali kebahagiaan dalam pelukan kasih sayang yang tulus.
Hal tersebut adalah sesuatu yang diinginkan setiap pasangan. Namun apalah daya, ketika maut menjemput sesuatu yang harusnya di peluk dengan erat. Memisahkan dalam jurang keputusasaan dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24 : Dibalik Tirai Hujan
Di waktu yang sama, di negara yang berbeda. Seorang gadis menatap rintik hujan yang turun deras. Mata sayunya menghitung satu persatu jentik hujan yang mendarat di luar jendela. Dalam keheningan ruangan yang pengap, hanya uap dari nafasnya saja yang terdengar. Di balik tirai hujan yang membasahi jendela, Freya dengan mata sayu menatap keluar, membiarkan pikirannya melayang dalam rintik hujan yang turun deras. Setiap tetesan hujan yang mendarat di kaca jendela seakan menjadi simfoni yang monoton, mengiringi langkah-langkah waktu yang perlahan. Dalam keheningan ruangan yang pengap, hanya uap dari nafasnya yang terdengar, seperti bisikan lembut dari jiwa yang kesepian.
Gadis itu terbaring diam, membiarkan dirinya terhanyut dalam lautan pikiran yang gelisah. Wajahnya yang pucat dan mata yang sayu menjadi cerminan dari beban yang dia tanggung. Selain derasnya hujan yang mengalun, suara mesin yang menopang kehidupan Freya, menjadi musik pengiring yang syahdu.
Ruangan kecil ini telah menjadi dunianya sejak sebulan yang lalu, ketika penyakitnya mulai menguasai hidupnya. Semua rencana dan impian yang pernah dia miliki kini terasa jauh dan tidak mungkin. Sekolah, hobi, les, dan semua kegiatan yang dia sukai harus terelakkan, meninggalkan Freya dengan kesepian dan kekecewaan. Dalam keheningan itu, Freya membiarkan dirinya terhanyut dalam kenangan-kenangan lama, tentang kebahagiaan yang singkat dan cinta yang tak pernah terbalas. Dia membiarkan air matanya mengalir bebas, seperti hujan yang turun di luar jendela, membasahi setiap sudut hati yang terluka. Freya menutup mata, membiarkan dirinya terhanyut dalam keheningan itu. Dia merasakan kelelahan yang mendalam, seperti tubuhnya yang lemah tidak bisa menahan beban yang dia tanggung.
"Fonix.." Freya bergumam dalam nada yang amat pelan. Bahkan semut yang merayap di ujung ruangan, tidak dapat mendengar apa yang gadis itu gumam-kan.
Pintu ruangan Freya terbuka dengan pelan. Shanju dengan senyuman khasnya, berjalan santai menuju Freya yang tidak menolehkan pandangan sedikitpun dari irama sang hujan. Shanju melangkah pelan, senyumannya yang khas masih menghiasi wajahnya. Dia mendekati Freya yang masih menatap keluar jendela. Shanju berhenti di samping Freya, menatap gadis itu dengan penuh kasih sayang.
Dia memperhatikan wajah Freya yang pucat, mata yang sayu, dan tubuh yang lemah. Shanju merasakan kesedihan yang mendalam, melihat kekasih dari orang yang sudah dia anggap adiknya sedang mengalami kesulitan.
"Sedang memikirkan pacar kamu?" Tanya Shanju, sembari tangannya sibuk mengoperasikan beberapa alat kesehatan yang dia bawa.
"Ya, aku harap dia baik-baik saja di sana.." ucap Freya pelan.
"Dia pasti akan baik-baik saja. Dalam hatinya dia mungkin ingin segera kembali ke sini, dan menemani kamu." Ucap Shanju.
"Kenapa dokter sangat yakin?" Tanya Freya, yang kali ini menolehkan pandangannya ke arah Shanju.
"Hanya menebak.." balas Shanju memberikan senyuman terbaiknya. Freya terdiam, gadis itu kembali menolehkan pandangannya pada hujan yang kian deras.
"Kita periksa kondisi kamu dulu, ya.." Shanju mulai memeriksa kondisi Freya dengan teliti, memeriksa alat-alat kesehatan yang terpasang di tubuhnya. Freya membiarkan dirinya diperiksa, tidak banyak bicara seperti biasanya.
Setelah memeriksa, Shanju mencatat kondisi terbaru Freya, untuk laporannya. Raut wajahnya tidak menunjukan kelegaan.
"Kamu harus banyak beristirahat" kata Shanju dengan nada yang lembut. "Kamu tidak boleh terlalu banyak berpikir tentang hal-hal yang membuatmu stres."
Freya menghela nafas, "Percuma saja, lagipula waktuku tidak banyak lagi. Yang kuinginkan adalah kehadirannya di sini, sebelum aku pergi.." ucap Freya. Kalimat itu di sertai dengan nada getir. Shanju bisa melihat kalau gadis di hadapannya ini, sudah tidak memiliki harapan. Penyakit yang di deritanya, membuat harapan hidup untuk gadis ini pupus.
Shanju merasakan kesedihan yang mendalam, melihat Freya yang sudah tidak memiliki harapan. Dia tahu bahwa penyakit yang diderita Freya tidak dapat disembuhkan, dan waktu yang tersisa untuk Freya semakin singkat.
"Jangan bicara seperti itu, tidak ada yang tau bagaimana nasib manusia. Semuanya tuhan yang mengatur. Yang harus kamu lakukan adalah berharap yang terbaik untuk kesembuhan kamu. Tidak ada yang menginginkan gadis manis seperti kamu untuk pergi. Kamu tentu tidak ingin membuat orang-orang yang kamu sayangi menangis, kan?" kata Shanju dengan nada yang lembut. "Setiap penyakit, pasti ada obatnya."
Apa yang di katakan Shanju, memunculkan sedikit semangat di hati Freya. Tapi, Freya tidak bisa menghilangkan pikiran tentang Fonix dari benaknya. Dia ingin melihat Fonix sekali lagi, ingin merasakan kehangatan cintanya sekali lagi sebelum dia pergi.
"Aku ingin melihatnya sekali lagi," kata Freya dengan nada yang lembut. "Aku ingin merasakan kehangatan cintanya sekali lagi sebelum aku pergi."
Shanju mengangguk, memahami keinginan Freya. "Teruslah berharap yang terbaik.." Shanju mengusap rambut lembut Freya.
"Apa dokter bisa menemaniku sejenak di sini?" Pinta Freya.
"Tentu, dengan senang hati.." jawab Shanju.
"Dokter pernah jatuh cinta?" Tanya Freya tiba-tiba.
"Setiap orang pernah jatuh cinta, aku juga begitu. Tapi kembali lagi pada diri kita sendiri. Kadang, siapa yang kita cintai sekarang, belum tentu adalah sosok yang sama, dengan yang akan menemani kita di masa tua." Balas Shanju bijak.
"Lalu, apa dokter masih mencintai orang itu sampai saat ini?"
"Aku tidak memiliki hak untuk mencintai milik orang lain.." Jawaban Shanju yang menohok, membuat Freya merasa bersalah.
"Maaf, jika aku mengungkit masa lalu dokter.."
"Tidak perlu minta maaf, aku tidak tersinggung." Balas Shanju ramah.
"Belakangan ini, aku selalu bermimpi hal yang menakutkan.." ujar Freya.
"Hal yang menakutkan?" Tanya Shanju.
"Dalam mimpi itu, aku berdiri di tengah rel kereta yang sunyi. Di hadapanku, 'dia' yang aku cintai, berbalik badan berjalan meninggalkanku. Aku tidak merasa kalau dia pergi karena membenciku. Sebelum dia pergi, dia memberikan seutas senyuman yang sangat indah. Dia hanya berkata 'Sampai jumpa'. Aku berniat mengejarnya, menggenggam erat tangannya agar dia tidak pergi. Tapi kakiku sama sekali tidak bisa di gerakan." Ucap Freya.
"Itu mungkin hanya bunga tidur, setiap orang pernah bermimpi hal yang aneh, kan?" Ucap Shanju menjelaskan, meski dia sendiri merasa, kalau mimpi yang Freya jelaskan memiliki makna di dalamnya.
"Aku harap begitu.." ucap Freya pelan.
...***...
Suasana di kediaman keluarga Natio, sejak tadi diliputi dengan ketegangan. Bayang-bayang ketakutan menghantui rumah besar itu, seperti awan gelap yang mengancam akan melepaskan badai. Di luar, hujan masih terus turun dengan deras, seperti air mata yang tak pernah kering. Suara gemuruh petir terdengar seperti dentuman jantung yang berdebar kencang, membuat suasana semakin mencekam.
"Ayah, aku mohon. Ijinkan aku pergi bersama Fonix.." Shani bersimpuh di kaki ayahnya sambil menangis.
Sejak mendengar kalau putri pertamanya, Feni sudah meninggal, raut wajah ayah Shani mendadak berubah. Tidak semarah sebelumnya. Ibunda Shani juga ikut menangis ketika mengetahui bahwa putri pertamanya sudah lama tiada.
Ayah Shani terdiam, wajahnya yang biasanya keras kini terlihat lemah dan sedih. Dia menatap Shani dengan mata yang basah, kemudian menghela nafas. "Pergilah," ucapnya singkat. Ayah Shani melangkah pergi dari ruang tamu.
"Bibi, kita pergi. Aku malas berada di tempat pengap ini.." ucap Fonix dingin. Shani mengikuti Fonix keluar rumah, para penjaga tidak ada yang berani menghalangi.
"Tunggu!" Ibunda Shani mengejar mereka di pintu keluar.
"Fonix, dimana Feni di makamkan?" Ibunda Shani terlihat memohon.
"Kalian tidak memiliki hak untuk tau.." Jawab Fonix dingin. Ia membentangkan payung hitamnya, dan berjalan keluar bersama Shani.