NovelToon NovelToon
DUDA LEBIH MENGGODA

DUDA LEBIH MENGGODA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Keluarga
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Monica

:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."

"Ngelunjak!"

Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8

"Kehadiran yang Mengusik Tenang"

Malam itu, Monica tak bisa tidur. Bayang-bayang Amanda masih menghantuinya. Kalimat "Kamu harus siap... menghadapi bayang-bayang masa lalunya" terus terngiang. Di tempat tidur, ia memeluk bantal, menatap langit-langit.

"Apa maksudnya ‘bayang-bayang masa lalu’ itu? Bukankah semua orang punya masa lalu?"

Ia tahu Teddy duda. Istrinya meninggal karena kecelakaan tragis. Namun ia tak tahu seberapa besar luka itu masih membekas.

Pagi harinya, Monica tetap ceria, tak ingin wajah murungnya disalahartikan. Namun kegelisahan masih ada.

Seperti semesta mendengar kegundahannya, Teddy datang lebih pagi dari biasanya, bukan ke rumahnya, melainkan ke kantor, membawa kotak makanan dan senyum hangat.

Monica, yang sedang di depan mesin fotokopi, membeku saat melihatnya.

"Pagi, Bu Monica," sapa Teddy tenang.

"Pagi, Pak Teddy…" jawab Monica gugup, menyembunyikan kertas yang hampir jatuh.

"Boleh ngobrol sebentar?"

"Di sini?"

"Kalau tidak keberatan, saya tunggu di kantin belakang. Lima menit cukup."

Monica mengangguk.

Di kantin belakang yang sepi, Teddy menunggu tenang. Monica berusaha menyusun kalimat—tentang Amanda, ketakutan, dan masa lalu yang tiba-tiba muncul.

"Monica," Teddy memulai, "Kamu kelihatan gelisah sejak kemarin."

Monica menatapnya. Tatapan Teddy membuatnya sedikit lebih lapang. Ia tetap jujur, "Kemarin aku bertemu seseorang. Amanda... mantan adik iparmu."

Teddy diam, raut wajahnya berubah, namun ia tetap tenang.

"Dia bilang... aku harus siap menghadapi bayang-bayang masa lalu," ujar Monica lirih. "Apa maksudnya, Pak Teddy? Aku tidak keberatan dengan masa lalu siapa pun. Tapi aku butuh tahu... seberapa besar itu memengaruhi masa depan kita."

Teddy menunduk, lalu menarik napas panjang.

"Amanda mungkin benar," ucapnya perlahan. "Aku pernah mencintai seseorang begitu dalam. Dan saat dia pergi tragis, ada bagian dari diriku yang ikut hilang. Bertahun-tahun aku hidup dalam kesunyian, bukan karena tidak bisa melangkah... tapi karena terlalu takut untuk memulai lagi."

Monica mendengarkan hati-hati.

"Tapi sejak aku mengenal kamu," lanjut Teddy, menatapnya lembut, "aku sadar, luka itu tidak hilang, tapi aku tidak ingin terus tinggal di dalamnya. Kamu membawa cahaya yang berbeda. Tenang, sederhana... tapi membuatku ingin pulang."

Monica terdiam. Hatinya mencelos. Ada rasa haru yang tak bisa dijelaskan.

"Tapi kamu harus tahu," kata Teddy pelan. "Masa laluku bukan hanya soal duka. Ada juga rasa bersalah, janji yang belum kutepati, dan... orang-orang yang belum sepenuhnya merelakan aku bahagia lagi."

Hening sejenak.

"Aku tidak minta kamu mengerti semuanya sekarang," ujar Teddy, menyodorkan kotak makan kecil. "Tapi aku ingin kamu tahu, aku sungguh-sungguh ingin mengenalmu lebih dalam. Kalau kamu masih mau... berjalan bersamaku."

Monica menatap kotak itu—ada tulisan kecil: "Untuk kamu yang bikin aku berani berharap lagi." Matanya berkaca-kaca.

"Kalau langkah ini harus kita mulai dari saling menguatkan, aku siap," jawab Monica, suaranya nyaris berbisik.

Teddy tersenyum. Tak ada pelukan, tak ada genggaman tangan. Namun pagi itu, ada harapan yang tumbuh.

Beberapa hari setelah obrolan di kantin, hubungan Monica dan Teddy lebih hangat, namun dibayangi pertanyaan besar: Apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu Teddy?

Suatu malam, Monica menerima pesan WhatsApp dari Teddy:

Teddy: “Besok malam, kalau kamu tidak sibuk, temani aku ke makam.”

Monica: “Makam siapa?”

Teddy: “Almarhum istriku. Hari ulang tahunnya.”

Monica ragu, namun membalas:

Monica: “Baik. Aku ikut.”

Malam itu, angin berembus pelan. Monica mengenakan baju lengan panjang krem dan kerudung sederhana (pinjaman dari ibunya). Ia merasa perlu menjaga sikap di makam seseorang yang pernah dicintai Teddy.

Teddy menjemputnya. Sepanjang perjalanan, hanya musik instrumental yang pelan mengiringi mereka.

Di makam, Monica melihat nama di batu nisan: Alya Nur Azizah – Istri dan Ibu Tercinta. Tahun wafatnya: lima tahun lalu.

Teddy berdiri di hadapan makam, menggenggam bunga mawar putih. Ia menunduk, diam lama. Monica berdiri di belakangnya, menjaga jarak.

"Dulu, kami menikah muda," ucap Teddy tiba-tiba, tanpa menoleh. Suaranya berat. "Alya adalah teman kuliahku. Kami merintis semuanya dari nol. Dia ikut aku dinas ke mana pun, walau kadang hidup kami sulit."

Monica mendengarkan.

"Suatu hari, saat aku baru saja pulang dari tugas di luar kota, Alya sedang hamil anak kedua. Aku janji mau bawa dia jalan-jalan. Tapi ada rapat mendadak. Dia marah... kecewa. Dan pergi sendirian naik motor."

Teddy terdiam, bahunya bergetar.

"Sebuah truk kehilangan kendali... dan menabraknya dari samping."

Suaranya pecah. Monica melihat sisi Teddy yang rapuh, hancur.

"Aku nggak sempat bilang ‘maaf’. Nggak sempat minta dia sabar. Nggak sempat meluk dia terakhir kali…"

Monica mendekat, berdiri di sampingnya.

"Pak Teddy…"

"Aku pikir, setelah lima tahun, aku bisa berdamai," kata Teddy dengan mata sembab. "Tapi kenyataannya... setiap hari ulang tahunnya, luka itu selalu datang lagi."

Monica menatap bunga itu. Ia menggenggam tangan Teddy—erat.

"Luka itu memang nggak bisa dihapus," katanya pelan. "Tapi bukan berarti kamu nggak bisa bahagia lagi. Bahkan luka pun bisa berdampingan dengan kebahagiaan, kalau kita mau belajar berdamai."

Teddy menoleh ke arah Monica. Tatapannya penuh rasa terima kasih.

Malam itu, di tengah udara dingin dan suasana sendu, keduanya berdiri dalam diam—di antara duka dan harapan, di antara yang pergi dan yang baru datang. Tak ada kata cinta, namun Monica tahu... langkah mereka baru saja dimulai dari tempat paling sunyi.

1
Wien Ibunya Fathur
ceritanya bagus tapi kok sepi sih
Monica: makasih udah komen kak
total 1 replies
Monica Pratiwi
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!