Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Tahu Tapi Tak Dibuka-bukaan
Melihat putrinya bisa tidur nyenyak secepat itu, Liu shi langsung paham, “Anak ini pasti capek banget.” Takut mengganggu tidur sang anak, ia pun memilih tidak menjahit malam ini dan ikut berbaring lebih awal.
Keesokan paginya, Mu Yao bangun lebih pagi dari biasanya. Ia langsung bantu ayahnya menata barang-barang hasil buruan dan panen kemarin. Hari ini mereka harus berangkat ke pasar!
Mu Yao bilang ke ibunya, “Ibu, kita udah punya cukup daging hasil awetan kan? Dua kelinci ini kita jual satu aja ya, yang satunya buat kita makan di rumah.”
Sebelumnya, semua kelinci hasil buruan biasanya buat dimakan sendiri. Tapi sekarang stok daging di rumah sudah cukup, Mu Yao berpikir lebih baik dikumpulin uangnya biar bisa cepet-cepet bangun rumah.
Liu shi jarang menolak perkataan putrinya, apalagi Mu Lao Da juga tipikal orang yang kalau disuruh kerja ya langsung jalan. Liu shi mengangguk, “Iya, semua terserah Yao Yao.”
Mu Yao lalu mengambil dua batang ubi gunung kecil dan satu batang danggui manis, lalu diserahkan ke ibunya. “Ibu, ini buat campuran bubur pagi. Enak banget, dan bagus buat kesehatan Ibu sama Ayah!”
Liu shi pun menjawab, “Baiklah.” Soal makanan, ia tidak pernah cerewet. Asal bisa kenyang sudah cukup. Tapi kalau anaknya minta, sebisa mungkin akan dituruti.
Mu Yao memasukkan dua ubi gunung besar ke dalam keranjang bambu, siap dibawa ke kota. Ia juga memilih satu batang danggui manis paling besar, lalu digabungkan dengan beberapa danggui pahit ke dalam keranjang. Setelah itu, ia ikut ayahnya memisahkan biji pinus.
Sambil masak, Liu shi berteriak dari dapur, “Yao Yao, jamur kita juga udah numpuk tuh, hari ini bawa aja semua ke kota ya. Biji pinusnya jangan dijual, simpan buat dimakan waktu Tahun Baru.”
Dulu, biji pinus cuma disisain sedikit buat Mu Xiao. Mereka sekeluarga sebenarnya sayang makan, karena lebih penting dijual untuk uang. Bahkan Mu Lao Da juga suka, tapi kondisi saat itu belum memungkinkan. Tahun ini beda, semua ini karena keberuntungan yang dibawa anak perempuannya.
Mu Yao tersenyum, “Xiao Xiao paling doyan biji pinus, ya udah, tahun ini biar dia kupas sendiri. Kalau nggak bisa buka, ya jangan makan!”
Mu Xiao yang baru bangun dan masih setengah ngantuk langsung matanya merah, merasa sedih denger kakaknya ngomong begitu. Ia pun jalan gontai ke arah Mu Yao dan merajuk, “Kak, Xiao Xiao nurut kok, boleh ya makan?”
Ekspresi polos Mu Xiao bikin semua orang di rumah ketawa.
Mu Lao Da menarik anak lelakinya ke pangkuan, mengelus rambut kecilnya dan berkata lembut, “Xiao’er, kakakmu cuma bercanda. Sejak kapan kamu kekurangan makanan? Bahkan kalau makanan tinggal dikit, kakakmu juga pasti rela ngasih ke kamu duluan. Nanti kalau kamu udah besar, harus sayang sama kakak, tahu nggak?”
“Hmm! Xiao Xiao ingat!” Si kecil itu mengangguk kuat-kuat dengan wajah serius.
Mu Yao pun ikut tertawa sambil menatap adiknya, “Xiao Xiao, cepet cuci muka deh, nanti bantuin kita kupas biji pinus, mau nggak?”
“Mauu~” jawab Mu Xiao riang, lalu berlari kecil ke dapur cuci muka.
Pagi itu terasa cepat berlalu. Baru selesai kupas biji pinus, makanan udah siap. Liu shi menyiapkan bubur buat mereka, lengkap dengan acar buatan sendiri—campuran sawi dan lobak yang dicincang kecil. Meski sederhana, tapi rasanya cukup enak. Ia juga menghidangkan beberapa roti kukus dari tepung kasar yang masih hangat. Tepung halus di rumah udah habis sejak lama, jadi mereka biasa campur seadanya. Tapi tetap lebih baik dari masa lalu.
Obat Mu Lao Da udah habis sejak malam sebelumnya. Dia merasa badannya udah bisa jalan dan bekerja, jadi sempat berpikir nggak usah minum obat lagi. Tapi istri dan anaknya bersikeras agar dia tetap periksa ke kota. Mu Lao Da pun setuju. Dulu dia memang enggan berobat karena khawatir jadi beban keluarga, sekarang dia cuma ingin cepat sembuh supaya bisa jaga keluarganya baik-baik.
Liu shi nggak ikut karena nggak tenang ninggalin putra bungsu sendirian. Lagian di rumah juga masih banyak kerjaan.
Sebelum pergi, Mu Yao bilang ke ibunya, “Ibu, tolong simpen dua paha kelinci ya, nanti pas aku sama Ayah pulang dari pasar, aku mau masakin yang enak buat Ibu dan Adik.”
Liu shi tersenyum, “Baik, Ibu simpan.” Dia penasaran juga, anaknya mau masak apa lagi, tapi tidak bertanya lebih lanjut.
Sejak Mu Yao “terlahir kembali” di dunia ini, dia selalu berusaha bersikap sama seperti Mu Da Ya yang dulu. Ia tidak mau orang-orang curiga dan menganggap dirinya aneh. Ia juga sengaja menahan diri agar tidak menunjukkan terlalu banyak pengetahuan atau kemampuan.
Orang luar memang tidak curiga, tapi Liu shi yang tinggal serumah bisa merasakan ada yang berbeda. Sejak anaknya jatuh dan pingsan waktu itu, Mu Yao jadi lebih tajam. Tatapannya kadang menunjukkan aura yang serius dan tegas. Ucapannya jelas dan terstruktur, bahkan terkadang terasa agak mendominasi. Cara bicaranya, gestur tubuh, semuanya tidak seperti anak kecil biasa, tapi seperti orang dewasa yang punya pengalaman dan kekuasaan.
Dulu, meski Mu Yao pintar, dia anak yang penakut, bicara juga pelan dan lembut. Sekarang, banyak hal yang dia tahu, katanya sih hasil belajar dari guru di mimpi. Tapi Liu shi tetap merasa itu cuma alasan. Dia yakin anaknya menyembunyikan sesuatu. Ia bahkan sempat diam-diam cerita ke suaminya.
Mu Cheng memang pendiam, jarang bicara, tapi bukan berarti dia bodoh. Lama-lama, dia pun sadar anak perempuannya sekarang beda dari dulu. Contoh paling nyata: ular besar yang ditangkap Mu Yao—seekor ular king besar! Di desa ini belum pernah ada yang bisa nangkap yang sebesar itu.
Padahal waktu itu, Mu Yao belum punya cambuk atau belati. Hanya bersenjatakan golok kayu biasa, dan usianya baru sembilan tahun! Dulu memang dia pernah ngajak anaknya berburu ke gunung, tapi cuma sebatas teori—ngajarin soal titik lemah ular di bagian tujuh inci bawah kepala. Tapi teori aja kan beda sama praktik.
Ketika melihat ular yang dibawa anaknya, memang benar: satu tebasan tepat di titik mematikan. Kata Mu Yao sih dua kali tebasan, tapi menurutnya cuma sekali dan itu pun sangat presisi. Bahkan dia sendiri belum tentu bisa melakukannya.
Mu Cheng juga sering latihan pagi bareng anak-anaknya. Ia memperhatikan gerakan Mu Yao saat melatih adiknya, sangat rapi dan tajam, tapi tetap terkendali. Bahkan lebih hebat daripada guru-guru silat anak bangsawan yang pernah dia lihat. Untuk bisa selihai itu, butuh latihan belasan sampai puluhan tahun!
Dia memang nggak ngerti betul soal seni bela diri, tapi logikanya jalan.
Yang paling bikin dia takjub: keahlian Mu Yao memakai senjata. Cambuk di tangannya seperti punya nyawa—bisa dicambuk, dilempar, dililit, bahkan diayun bebas tapi tetap tepat sasaran. Belati kecil itu juga bisa dilempar kayak senjata rahasia. Sekali lempar, langsung menancap di pohon, dan gampang ditarik kembali. Semua itu menunjukkan kemampuan yang bukan main-main.
Mu Cheng sampai merasa, anak ini seperti orang lain yang hidup dalam tubuh putrinya.
Liu shi bahkan sempat curiga, “Apa anak kita kesurupan?” Tapi Mu Cheng langsung memarahi istrinya. Ia bilang jangan pernah ngomong gitu lagi, apalagi sampai terdengar orang luar. Bisa jadi bencana buat anak mereka.
“Selama dia masih mengakui kita sebagai orang tuanya, kita akan jaga dia sebaik mungkin. Mau dia berubah jadi apa pun, bahkan kalau dia jadi iblis atau siluman sekali pun, dia tetap anak kita.”
Liu shi juga punya pemikiran yang sama. Selama anaknya tidak melakukan hal jahat, dia akan terus menyayangi dan melindunginya, apapun yang terjadi.
Mu Yao sebenarnya tahu semua pikiran orang tuanya, tapi dia memilih diam dan tidak membongkar apa-apa. Ia bisa merasakan kasih sayang mereka tulus, dan ia pun akan membalas dengan ketulusan yang sama.
Satu-satunya yang tidak sadar perubahan itu, hanya Mu Xiao. Di matanya, kakaknya tetap sama: hangat dan penuh kasih seperti dulu.