Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ken dan Reno
Hari Jumat sore, langit Jakarta sedikit berawan. Suasana Stasiun Gambir ramai dengan para penumpang yang hendak pergi ke berbagai kota. Di antara hiruk-pikuk itu, Raka dan Cheviolla berdiri berdampingan di peron, menunggu kereta menuju Surabaya.
.
Stasiun senja itu riuh dengan pengumuman dan suara kereta yang datang silih berganti. Raka dan Cheviolla duduk di bangku tunggu peron, di tangan mereka masing-masing masih mengepulkan asap sosis bakar yang baru saja dibeli dari pedagang kaki lima tak jauh dari pintu masuk.
“Aromanya enak banget, ya,” ujar Cheviolla, melirik ke sosis Raka yang ukurannya lebih besar.
Raka terkekeh kecil. “Yang penting hatimu nggak ikut kebakar, Vi.”
Cheviolla mendengus, menahan senyum. “Garing.”
Tak lama, kereta eksekutif tujuan Surabaya datang. Suaranya bergema perlahan saat melambat memasuki stasiun. Raka dan Cheviolla berdiri, ikut masuk dalam antrian. Meski tak panjang, beberapa pasang mata mencuri pandang ke arah mereka.
Raka, dengan tubuh tegap dan postur seperti model sampul majalah otomotif, mengenakan jaket hitam sederhana yang membalut tubuh atletisnya. Matanya yang hazel dan tajam membuat beberapa penumpang pria refleks mengalihkan pandangan. Sementara Cheviolla, dengan wajah dingin dan riasan minimalis, justru tampak semakin memesona. Rambutnya terurai rapi, mata jernihnya menatap datar ke depan. Mereka seperti pasangan dari dunia yang berbeda, tapi bersanding dengan harmoni.
Setelah menemukan kursi di gerbong eksekutif yang tenang dan bersih, Cheviolla duduk di samping jendela, sementara Raka duduk di sebelahnya. Tas kecil Cheviolla diletakkan rapi di pangkuan, dan kereta mulai memberi sinyal keberangkatan.
Angin pendingin ruangan bertiup lembut dari atas kepala mereka.
“Vi, aku ke toilet dulu ya,” ujar Raka sambil berdiri dan meregangkan tubuh.
“Oke, jangan kelamaan.” Cheviolla melirik ke arah Raka, yang melangkah pergi dengan tenang menyusuri lorong.
Beberapa menit kemudian, dua pria muda berpakaian santai tampak berjalan masuk dari gerbong sebelah. Satu mengenakan hoodie putih dan celana denim sobek-sobek, sementara yang satunya berbaju hitam ketat dan mengenakan kacamata hitam meskipun di dalam kereta.
“Bro, ini gerbong kita bukan?” tanya si pria berkacamata.
“Bentar, bukan deh. Gerbong kita yang belakang.”
Namun sebelum mereka keluar lagi, mata si pria berbaju hitam terpaku pada satu sosok yang duduk sendirian di dekat jendela—Cheviolla.
>Eh bentar bro, lo duluan aja,
"Mau ngapain lo?
>Ah udah jangan banyak nanya, entar gue nyulul
"Serah lu dah, buruan tapi!!
>Siap, udah sono.
.
Temannya pun lanjut pergi ke gerbongnya, lalu Ken berjalan mendekat dan tanpa permisi langsung duduk di kursi sebelah Cheviolla yang kosong—kursi Raka.
“Permisi dong, saya duduk sini dulu ya. Masa kamu sendirian aja cantik gini?” ucapnya sambil menyandarkan tubuh.
Cheviolla menoleh pelan, wajahnya tetap datar. “Minggir.”
.
.
Ken tertawa pelan, santai, seperti tak mendengar kata-kata itu barusan. Ia menatap Cheviolla dari ujung rambut hingga ujung sepatu dengan pandangan menilai, lalu menyandarkan punggung ke kursi dengan gaya seenaknya.
“Wah, galak juga kamu ya. Biasanya cewek cantik kayak kamu langsung luluh kalau dengar nama gue. Baru kali ini ada yang dingin banget.” Ia tersenyum lebar. “Aku Ken, anak dari Komisaris Utama PT Griya Mandala Investama. Kamu tahu dong perusahaan itu? Investasi properti, tambang, sama perbankan. Kantor pusatnya di Mega Tower lantai 32. Jadi, kamu nggak perlu takut apa pun kalau bareng gue.”
Cheviolla tidak menjawab, hanya menatap kosong ke luar jendela. Tapi ekspresinya sudah jelas—tidak tertarik.
Ken mendengus, lalu melirik ke kursi sebelah yang kosong. “Jadi ini bangku siapa? Pacarmu? Atau kamu lagi nunggu pangeran dari negeri dongeng?”
Dan saat itulah, suara langkah perlahan tapi mantap terdengar dari belakang. Raka datang kembali, wajahnya masih tenang, tapi ada kilatan tajam di matanya saat melihat Ken duduk di kursinya.
Tanpa berkata apa pun, Raka berhenti tepat di samping mereka.
Ken melirik ke atas dengan malas. “Eh, ini kursimu ya? Santai bro, gue cuma nemenin si cantik sebentar.”
Raka tidak menjawab. Matanya mengarah lurus pada Cheviolla. “Kamu nggak apa-apa?”
Cheviolla menoleh. “Tidak. Tapi kursimu dipakai orang.”
Senyum Raka menghilang. Ia menatap Ken lurus. “Bangun.”
Ken berdiri perlahan, menepuk-nepuk celana jinsnya, lalu menghadapkan tubuh sepenuhnya ke arah Raka. Ia mengukur Raka dari ujung kaki sampai kepala. Wajahnya masih percaya diri.
“Gue bilang santai dong. Lagian lo ini siapa, bro? Bodyguard? Sopir? Atau... cowoknya?” Nada suaranya penuh ejekan.
“Yang mana pun, bukan urusanmu,” sahut Raka datar. “Sekarang minggir.”
Ken tersenyum miring, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Raka. “Denger ya. Banyak cowok kayak lo yang gue tendang dari bar, dari lounge, dari kursi pesawat kelas bisnis. Dan percaya deh, cuma butuh satu telepon dari gue buat bikin lo ditarik keluar dari gerbong ini. Gue bisa beli seluruh tempat duduk di gerbong ini kalau gue mau.”
Seketika suasana jadi tegang. Beberapa penumpang yang memperhatikan mulai saling melirik. Cheviolla masih diam, tapi matanya terus mengamati Raka.
Raka tersenyum tipis, tapi senyum itu dingin. “Kamu bisa beli tiket, tapi sayangnya kamu nggak bisa beli harga diri. Dan aku juga bukan tipe yang diam saat wanitaku dilecehkan.”
Ken hendak membalas, tapi suara langkah cepat datang dari belakang. Petugas kereta menghampiri.
“Ada masalah, Pak?”
Raka tetap diam. Ken buru-buru mundur setengah langkah, lalu berkata, “Nggak, nggak. Cuma salah duduk doang, kok.”
Petugas mengangguk. “Baik. Mohon kembali ke kursi masing-masing, Pak. Kereta akan segera melewati stasiun berikut.”
Ken mengepalkan tangan, tapi akhirnya tersenyum palsu. Ia membalik badan. “Santai, bro. Belum tentu kereta ini sampai Surabaya denganmu masih duduk nyaman di situ.”
Sambil pergi, ia menepuk bahu Raka keras. Tapi Raka tidak bergerak sedikit pun. Sorot matanya hanya mengawasi punggung Ken yang menjauh.
Setelah dia pergi, Raka duduk. Cheviolla memandangnya sejenak.
“Kamu nggak marah?” tanyanya.
Raka bersandar tenang. “Belum.”
“Kenapa?”
“Karena orang macam dia, biasanya selalu balik lagi. Dan waktu itu tiba, aku akan pastikan dia paham batasnya.”
.
Ken kembali ke kursinya di deretan belakang, wajahnya menggerutu penuh amarah. Ia menjatuhkan diri ke bangku dengan kasar, membuat penumpang di sebelahnya menoleh sejenak sebelum kembali pura-pura tak peduli.
“Goblok tuh cowok,” gumamnya kesal. “Sok pahlawan banget.”
Temannya yang duduk di sebelahnya—Cowok kurus dengan rambut disasak ke atas, mengenakan jaket kulit dan headphone di leher—mendongak. Namanya Reno.
“Apa sih? Ribut sama siapa tadi?” tanya Reno malas, sambil mengunyah permen karet.
Ken masih membara. “Tadi gue lagi godain cewek cakep banget di depan sana. Duduk sendiri. Eh, tiba-tiba cowoknya dateng, nyuruh gue minggir, kayak jagoan. Padahal gayanya biasa aja, cuma tinggi doang. Lagak doang sok-sokan tegas.”
Reno mendengus. “Lagian lo juga norak. Cewek di kereta digodain, ya pasti cowoknya marah lah.”
“Tapi lo belum liat tuh cewek, Ren. Beneran… gila. Beningnya bukan main. Dingin, cuek, makin cakep. Model-model begini tuh harusnya gue yang deketin, bukan cowok nggak jelas gitu,” Ken menggeram, memutar-mutar cincin peraknya di jari.
Ia melirik ke arah lorong depan gerbong. Matanya masih menyala penuh dendam.
“Gue penasaran siapa tuh cowok. Tapi bodo amat. Dengerin ya—begitu sampai Surabaya, gue pastiin mereka nyesel pernah songong ke gue.”
Reno mengangkat alis. “Maksud lo?”
Ken mencondongkan badan, bicara pelan, tapi penuh kesombongan. “Gue punya orang di Surabaya. Driver pribadi, anak geng, polisi juga ada yang kenal. Lo pikir gue cuma anak Komisaris? Nama bokap gue satu telepon bisa bikin orang ilang, Ren. Gue tinggal cari info ke mana mereka nginap, terus kita bikin acara kecil buat cowok itu.”
“Acara kecil?”
Ken menyeringai. “Ya... bisa ketemu di cafe, bisa di jalan. Entah. Tapi intinya, dia bakal kapok. Cewek itu? Tinggal nunggu waktu sebelum dia tahu siapa pria yang lebih pantas buat dia.”
Reno tertawa miring. “Klasik banget sih lo. Tapi yaudah, gue dukung. Asal jangan bikin masalah yang bawa polisi beneran.”
“Tenang aja,” sahut Ken. “Semua terkendali.”
Tapi yang tidak Ken tahu—semua itu sama sekali tidak terkendali. Bukan dia yang sedang merencanakan permainan, tapi dia tanpa sadar telah melangkah ke medan milik orang yang jauh lebih besar dari dirinya.
Dan permainan itu... baru saja dimulai.