Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak malam
Langit Jakarta diselimuti awan kelabu saat malam tiba. Di sebuah gang sempit tak jauh dari kawasan kampus Universitas Nasional, lampu-lampu redup bersinar temaram. Tempat itu bukan lokasi biasa mahasiswa nongkrong—terlalu gelap, terlalu tersembunyi. Tapi bagi mereka yang tahu, itu adalah pintu masuk dunia lain. Dunia hitam.
Raka berjalan perlahan, mengenakan jaket tua dan helm half-face yang menutupi sebagian wajahnya. Di punggungnya tergantung tas selempang, di dalamnya tersembunyi alat perekam suara dan kamera kecil. Ia berhenti di depan sebuah toko kelontong tua yang sudah tutup, lalu duduk di bangku besi berkarat di sampingnya, sesuai instruksi.
Tak lama, dua pria yang tadi siang muncul dari balik tikungan. Salah satunya menyalakan rokok, lalu mengisyaratkan agar Raka mengikutinya. Mereka menyusuri gang kecil, masuk ke dalam sebuah bangunan kosong, dan naik ke lantai dua.
Raka sempat melirik ke arah belakang. Di kejauhan, samar-samar ia melihat pantulan cahaya dari sebuah motor sport yang diparkir rapi, tak menyala. Tim Unit-03 sudah siaga.
Sesampainya di lantai dua, pintu terbuka. Di dalam, ruangan itu penuh asap rokok. Musik diputar lirih dari speaker kecil. Seorang pria duduk di tengah ruangan, mengenakan jaket kulit hitam, celana sobek, dan kalung perak besar. Tatapannya tajam dan tenang—ia bukan pengguna. Ia pengendali.
“Jadi ini anaknya?” tanya pria itu dengan suara dalam.
“Yup,” jawab anak buahnya. “Namanya Raka. Kampus, pinter, tapi cupu. Kayaknya cocok buat kita bina, bos.”
Pria itu menatap Raka dari ujung kaki sampai kepala, lalu tertawa kecil.
“Orang-orang kayak lo ini... biasanya gampang dijadikan umpan. Tapi kalau pinter, bisa lebih. Mau ngetes keberanian lo dulu.”
Ia melemparkan satu bungkusan kecil ke meja—kapsul putih keabuan dalam plastik bening.
“Minum sekarang. Depan gue. Kalau berani, kita lanjut ngobrol bisnis.”
Raka menatap bungkusan itu lama. Lalu, perlahan ia meraihnya, membuka segel plastik, dan mengangkat kapsul itu ke depan wajah. Ia berpura-pura menahan napas, pura-pura takut. Tapi diam-diam, di balik tangan kirinya, kamera tersembunyi sedang merekam dari lubang kancing jaket.
Ia mendekatkan kapsul ke mulut… dan menelannya.
Seluruh ruangan sunyi. Pria di depannya tersenyum puas.
“Bagus. Besok lo gue ajak ketemu pemasok. Kalau lo kuat, kita kasih lo stok buat jual ke kampus.”
Raka mengangguk pelan. “Terima kasih… Bang.”
“Panggil gue Reno.”
---
Setelah keluar dari bangunan itu, Raka nyaris sempoyongan. Kapsul itu memang ia telan, tapi ia sudah menyiapkan penawar ringan dalam bentuk tablet sublingual dari tim medis Unit-03. Efeknya bisa diredam sebagian, meski tubuhnya masih terasa panas dan jantungnya berdebar.
Begitu sampai di parkiran motor, dua orang dari Unit-03 langsung menyambutnya tanpa bicara. Mereka menariknya ke mobil hitam tanpa pelat, lalu membawanya pergi.
Di dalam mobil, pemimpin tim, seorang pria paruh baya bernama Komandan Halim, menatap Raka dengan khawatir.
“Kau gila! Kau benar-benar menelannya?”
Raka menyandarkan kepala. “Tak ada cara lain untuk masuk lebih dalam. Mereka akan bawa aku ke sumbernya.”
Komandan Halim mengepalkan tangan. “Baik. Kami akan siapkan tim besar. Tapi kali ini... jangan bergerak sendiri lagi. Ini mulai berbahaya.”
Raka hanya menutup mata, kelelahan. Tapi di dalam pikirannya, roda penyelidikan sudah berputar semakin cepat.
.
Dua hari setelah pertemuan itu, Raka kembali dibawa ke lokasi berbeda—sebuah gudang tua di kawasan industri Cakung. Malam itu hujan turun tipis, membasahi aspal dan membuat udara makin pengap. Raka datang sendirian, mengenakan jaket yang sama, penampilannya tetap culun seperti biasa.
Di dalam gudang, suasananya lebih ramai. Ada beberapa orang muda yang tampak seperti mahasiswa, sebagian terlihat gelisah, sebagian sibuk membungkus paket-paket kecil. Di ujung ruangan, Reno duduk bersama seorang pria berwajah keras, bermata tajam, berpakaian rapi namun dingin auranya.
“Kenalin, ini Bang Lohan,” kata Reno. “Orang ini bukan main-main. Dia jembatan kita ke atas.”
Raka mengangguk dalam diam.
Lohan memandangnya lama, lalu menyeringai.
“Kata Reno, lo anak pinter. Diam-diam bisa dipercaya. Gue suka tipe begini.”
Ia melempar satu bungkus kecil lagi. “Lo jual lima ini dulu. Buat tes. Kalau hasilnya bagus, gue kasih akses langsung ke markas distribusi.”
Raka menerima paket itu sambil menunduk. Tapi dalam hatinya, ia tahu—ini saatnya.
---
.
.
Malam itu, operasi besar dimulai.
Setelah menerima lima paket narkoba dari Reno dan Lohan, Raka langsung menyerahkannya ke tim rahasia yang menunggu di luar kampus. Tanpa ada yang curiga, Raka—dengan penampilan culunnya—kembali berbaur seperti mahasiswa biasa.
Tapi diam-diam, ia terus mengumpulkan bukti, merekam semua percakapan penting, dan memetakan jaringan yang melibatkan beberapa mahasiswa serta satu dosen yang ia curigai.
---
Dua hari kemudian, pukul 02.00 dini hari.
Gudang tua di pinggiran Cakung tiba-tiba diserbu satuan khusus narkotika. Tidak ada aba-aba panjang. Dalam waktu kurang dari lima menit, semua pelaku yang ada di dalam sudah dilumpuhkan.
Reno sempat mencoba kabur, tapi berhasil ditangkap setelah kejar-kejaran singkat.
Lohan—si penghubung jaringan—juga dibekuk tanpa sempat melawan.
Salah satu dari mereka sempat berteriak:
> “INI PASTI ADA YANG NGADU! ADA MATA-MATA DI ANTARA KITA!!”
Namun tak ada yang menyangka... bahwa “mahasiswa culun” yang sempat mereka rekrut beberapa hari lalu, justru adalah dalang dari semuanya.
---
Berita keesokan harinya langsung mengguncang media:
> "PENGUNGKAPAN JARINGAN NARKOBA MAHASISWA – ADA DOSEN TERLIBAT!"
> "POLISI MASIH MISTERIUSKAN INFORMAN KUNCI DALAM OPERASI PENYUSUPAN JARINGAN NARKOBA KAMPUS"
> "UNIVERSITAS NASIONAL GEMPAR – MAHASISWA TERNYATA JADI TARGET PASAR NARKOBA"
Wajah-wajah pelaku ditampilkan di televisi nasional. Reno dan Lohan menjadi headline, bersama nama-nama lain. Namun, satu nama tidak disebutkan sama sekali. Bahkan aparat kepolisian pun enggan menjawab saat ditanya siapa yang menyusup ke dalam jaringan.
> “Yang jelas, kami mendapat bantuan dari pihak yang memahami situasi internal kampus. Tapi kami tidak bisa beberkan identitasnya demi keselamatannya,” ujar seorang juru bicara.
---
Di kampus, beberapa hari kemudian…
Raka kembali datang ke kampus, mengenakan kemeja kebesaran, rambut sedikit acak, dan kaca mata bulat andalannya. Ia menjemput Cheviolla di depan perpustakaan, kali ini naik Vespa tua miliknya yang berisiknya bisa terdengar dari jauh.
"Eh, Chev, hari Jumat jadi ke Surabaya, kan? Aku udah pesen tiket kereta—eh tapi, kita naik mobil aja kali ya? Seru!" ucapnya sambil mendorong motor pelan.
Cheviolla menoleh.
“Naik mobil dari Jakarta ke Surabaya? Kamu yakin?”
“Ah, iya sih. Capek juga. Ide buruk itu,” kata Raka sambil nyengir, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Mereka pun berboncengan pergi, sementara dari kejauhan, sekelompok mahasiswa masih ramai membicarakan siapa sebenarnya yang membuat jaringan narkoba itu bisa dibongkar begitu cepat.
Namun tak ada yang menoleh ke Raka.
Dan itulah tujuan utamanya.