"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Mantu Rahasia
Perkataan Rama bikin Pak Adi kaget bukan main.
“Tuan Rama, maksudmu penyakitku belum sembuh total? Padahal aku ngerasa sehat-sehat aja,” tanya Pak Adi pelan.
Rama ngangguk santai. “Kondisimu udah oke kok. Tapi jangan latihan tenaga dalam kayak kemarin lagi. Urat sama nadimu bisa rusak lagi nanti.”
“Kalau aku berhenti latihan, kekuatanku bakal turun, dong?” tanya Pak Adi cemas.
“Pasti bakal nurun,” jawab Rama tanpa ragu.
Pak Adi langsung kelihatan panik. “Lalu aku harus gimana?”
Dia jelas khawatir banget. Soalnya kekuatannya itulah yang bikin Keluarga Hartono bisa jadi salah satu yang paling berpengaruh di Kota Dakarta. Kalau dia jadi lemah, nama keluarganya bisa turun juga.
“Tabib Sakti Rama, ada nggak cara biar aku tetap kuat tanpa efek samping?”
Rama tersenyum tipis. “Ada, tapi sekarang belum bisa aku lakuin. Tapi kalau Anda mau sabar, kasih aku waktu sekitar sepuluh hari. Aku janji bakal cari solusinya.”
Ngeliat senyum pede dari Rama, Pak Adi langsung bernapas lega. “Sepuluh hari? Bahkan seratus hari pun aku tunggu! Kalau kamu butuh apa pun, bilang aja. Mau panjat tebing pakai pedang atau nyemplung ke laut api, aku siap!”
Rama ketawa kecil. “Nggak sampai segitunya. Tapi, jujur aja, sekarang aku lagi butuh bantuan Anda buat satu hal.”
Mendengar itu, wajah Pak Adi langsung bersinar. Dia lebih takut kalau Rama nggak butuh bantuannya daripada dimintai tolong.
“Apa pun itu, sebut aja.”
“Jangan panggil aku Tabib Sakti Rama segala, cukup panggil Rama aja. Dan soal bantuannya... aku butuh pinjam uang, sekitar tiga puluh juta.”
Rama agak grogi juga pas ngomong itu. Jumlahnya nggak kecil, dan dia tahu pasti aneh kalau tiba-tiba ditolak.
Tapi sebelum Pak Adi sempat buka suara, Parto langsung nyeletuk, “Tuan muda, kalau butuh uang tinggal bilang aja. Jangan ngomong tiga puluh juta, tiga puluh miliar pun saya siap kasih!”
Rama melongo. Dia nggak nyangka si Parto bisa sebaik itu.
Tapi Pak Adi langsung melotot ke arah Parto, “Dasar orang tua sotoy! Rama lagi ngomong sama aku, bukan sama kamu. Jangan bikin seolah-olah aku nggak mampu ngasih tiga puluh miliar! Rama, kalau tiga puluh juta kurang, bilang aja, kita tambahin!”
Rama langsung senyum. “Tiga puluh juta udah cukup, Tuan Adi. Aku janji bakal balas budi ini suatu hari nanti.”
Tapi Pak Adi langsung nahan, “Tuan Rama, kalau kamu ngomong soal balas budi, malah aku nggak bakal kasih. Uang ini nggak perlu dikembalikan. Kalau kamu bilang mau bayar, berarti kamu anggap aku remeh.”
Rama langsung balas serius, “Kalau kamu nggak izinin aku bayar balik, aku nggak bakal berani nerima uang itu.”
"Aku bilang nggak, ya tetap nggak," ucap Pak Adi dengan nada tegas.
Tetapi Rama tetap serius.
"Aku tetap harus balas budi, Pak Tua. Itu udah prinsip hidupku," kata Rama, nadanya mulai tegas juga.
Dari samping, Tasya nyeletuk, “Kakek, kalau dia mau balas budi, biarin aja. Gak usah dibesar-besarin.”
“Tutup mulut kamu, sana main di luar!” bentak Pak Adi sambil melotot.
Tasya langsung tertunduk lesu. Kakeknya jarang ngomel segalak itu ke dia.
Pak Adi lalu menoleh ke Rama. “Maaf ya, anak muda. Anak kecil itu memang masih suka sok tau. Jangan dimasukin hati.”
Rama hanya tertawa kecil. “Nggak masalah, Pak. Tapi budi itu harus dibayar, tetap prinsipku.”
Pak Parto, yang dari tadi diem, akhirnya nanya, “Tuan muda, kalau boleh tahu, uang ini buat apa?”
Rama menjawab santai, “Keluarga Ningrum lagi butuh dana. Ada masalah yang harus diberesin.”
“Oh, aku denger-denger kamu sekarang menantu keluarga Ningrum, ya?” kata Pak Parto sambil menyipitkan mata. “Tuan muda, kenapa sih kamu sengaja ngerendahin diri dengan masuk ke keluarga itu? Kalau nggak nyaman, tinggal keluar aja. Kalau mereka berani macem-macem, tinggal bilang. Aku siap bawa orang buat ngacak-ngacak mereka.”
Rama buru-buru angkat tangan. “Eh, jangan gitu. Aku justru betah di sana. Suasananya santai, damai, aku malah bahagia di situ. Lagian, aku belum pernah nyebut diriku tuan muda-mu, jadi jangan asal pakai panggilan itu.”
“Tuan muda tetap tuan muda. Mau kamu ngaku atau nggak, buatku tetap sama,” jawab Pak Parto mantap.
“Udah, udah, Dasar Tua. Gak usah dibahas terus. Sekarang fokus dulu sama urusan Rama,” sela Pak Adi.
Tanpa banyak basa-basi, Pak Adi ambil cek, lalu langsung nulis jumlahnya. Bukan tiga puluh, tapi lima puluh juta. Lalu dia serahkan ke Rama.
Rama sempat melotot. “Sebanyak ini? Pak, saya cuma minta tiga puluh…”
“Lima puluh juta itu kecil, Rama. Aku mungkin udah tua, tapi uang masih ngucur. Buatku, duit cuma angka. Pakai aja dulu. Kalau kurang, tinggal bilang,” ujar Pak Adi santai.
Rama nggak sok jual mahal. “Kalau begitu, terima kasih banyak, Pak Adi,” katanya sambil menerima cek itu.
Begitu selesai, Rama langsung bersiap pergi.
“Tasya, anterin Rama sampai depan,” perintah Pak Adi.
“Iya deh…” Tasya malas-malasan, tapi jelas nggak berani melawan.
Dia nganter Rama sampai depan, bahkan manggilin taksi. Tapi sambil manyun dia bilang, “Cepetan deh pergi, aku mau balik ke dalam. Belum maskeran, nih.”
Rama senyum miring. “Kamu nggak sopan banget ya. Gimana kalau aku balik lagi dan bilang ke kakekmu soal kelakuanmu barusan?”
“Jangan, plis! Maaf ya, Tuan Rama, aku bercanda!” Tasya langsung panik, maksa senyum dan buru-buru bukain pintu mobil buat Rama.
“Lebih bagus seperti itu,” gumam Rama sambil duduk di dalam taksi.
Brakkk!
“Hmm?” Rama sempat melirik ke arah Tasya.
Tasya buru-buru nyaut, “Aku cuma kebanyakan sarapan tadi, jadi energiku meledak-ledak. Maaf ya…”
Rama cuma tersenyum singkat. “Ya udah. Sampai ketemu lagi.”
Dia melambaikan tangan sebelum taksinya melaju pergi.
Beberapa saat kemudian, Rama sudah sampai lagi di rumah Keluarga Ningrum.
Baru juga masuk ke ruang tamu, dia langsung dengar suara ramai semua anggota keluarga lagi ngebahas soal uang.
Begitu melihat Rama muncul, Pak Sidik langsung berdiri dan nanya dengan nada tajam, “Gimana? Kamu udah ke Keluarga Pak Agus?”
Rama jawab santai, “Nggak, aku nggak ke sana.”
“Bodoh! Dasar nggak berguna! Bukannya udah aku bilang buat pinjam uang ke mereka? Denger ya, kalau kamu nggak bisa bawa dana itu, kamu dan Ayu mending cerai aja! Keluarga Ningrum nggak butuh beban hidup!”
Pak Sidik ngomel habis-habisan.
Ayu langsung berdiri membela, “Ayah, jangan ngomong gitu dong. Ini proyek kita bersama, masa semua tanggung jawab ditaruh di Rama? Kita harus hadapi bareng-bareng.”
“Diam kamu!” bentak Pak Sidik. “Kalau dia aja nggak bisa urus hal sepele begini, mana pantas jadi suamimu? Ceraiin aja dia! Banyak kok pria lain yang jauh lebih baik!”
Ibu Ayu, Heni, juga ikutan nimbrung dengan nada kalem tapi tajam. “Ayahmu ada benarnya, Yu. Kamu harus realistis.”
Rama cuma berdiri di sana dengan ekspresi datar. Matanya melirik Pak Sidik dan Heni satu per satu. Kalau bukan karena Ayu, dia pasti udah lama pergi dari rumah ini.
Tadinya dia mau ambil cek dari sakunya dan kasih langsung. Tapi karena semua ucapan tadi, dia malah jadi ragu.
“Soal uang, kalian hitung-hitungan aja sendiri. Aku capek, mau istirahat dulu,” kata Rama, lalu mulai naik ke lantai dua.
“Berhenti kamu!” teriak Pak Sidik sambil ngejar.
Rama berhenti di tangga dan menoleh dengan tenang. “Emang aku harus ngomong gimana sama Ayah? Harus sujud dulu biar dianggap sopan?”
Mata Sidik langsung melotot. “Kamu udah mulai gede kepala ya? Mau coba-coba ngelawan aku?!” Dia nyamber bangku kecil di sebelah sofa.
“Ayah, tolong jangan marah dulu. Biar aku yang bicara sama Rama.” Ayu buru-buru berdiri di tengah, lalu menarik Rama ke atas, ke lantai dua.