Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Matahari mulai meninggi, menyinari mansion megah itu. Milea merasa bosan terkurung di dalam kamar. Ia ingin menghirup udara segar, menikmati keindahan taman belakang mansion—taman yang dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni, danau kecil yang tenang, dan ayunan yang bergoyang pelan ditiup angin.
Namun, niatnya terhenti ketika beberapa pengawal berpakaian rapi berdiri di depan pintu utama. Salah seorang pengawal menyapa, "Nona, apa Anda membutuhkan sesuatu?" Suaranya sopan, namun tetap menjaga jarak.
Milea bertanya, "Aku hanya ingin berjalan-jalan di sekitar taman. Apa Gio tidak mengizinkan?" Suaranya terdengar sedikit ragu, mencerminkan keraguannya akan jawaban yang akan diterimanya.
Para pengawal saling berbisik, melemparkan tatapan satu sama lain. Sejenak, tercipta ketegangan yang tak terucapkan. Salah seorang pengawal kemudian berbisik pada temannya, "Sepertinya tidak masalah. Kita awasi saja dari jauh."
Lalu, salah seorang pengawal menjawab Milea, "Tentu boleh, Nona. Tapi tolong jauhi paviliun yang ada di ujung sana. Tuan Gio tidak pernah mengizinkan siapa pun mendekati paviliun itu."
Milea mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa penasarannya. Paviliun itu… ada apa di dalam paviliun itu? Mengapa Gio begitu ketat melarang siapa pun mendekatinya? Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, menambah rasa penasarannya yang semakin membuncah. Keindahan taman yang seharusnya menenangkan, kini justru dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang membara. Angin sepoi-sepoi yang berhembus di taman, tak mampu menghilangkan rasa penasaran yang mengusik hatinya.
Milea berusaha mengusir rasa penasarannya. Ia tak ingin memancing kemarahan Gio dengan melanggar aturan yang telah ditetapkan. Ia memilih untuk menikmati keindahan taman, duduk di ayunan, merasakan angin sepoi-sepoi yang membelai rambutnya. Namun, ketenangannya terusik oleh kedatangan seorang pelayan.
"Nona, ini jus jeruk dan beberapa camilan. Silakan dinikmati," sapa pelayan itu dengan sopan. Ia meletakkan meja lipat kecil, kemudian menata jus jeruk dan camilan di atasnya.
"Terima kasih," jawab Milea, suaranya ramah, mencoba menciptakan suasana yang nyaman.
"Tentu, Nona. Kalau begitu, saya pamit kembali masuk. Jika butuh sesuatu, silakan panggil saya," pamit pelayan itu.
"Apa kamu bisa menemani saya di sini?" pinta Milea, suaranya terdengar sedikit manja.
"Tentu, Nona," jawab pelayan itu, dengan senyum ramah.
Hening sejenak, hanya diiringi oleh suara gemericik air danau dan kicauan burung. Milea kembali bertanya, "Siapa namamu? Sepertinya usia kita tidak jauh berbeda."
"Nama saya Susi, usia saya baru 26 tahun, Nona," jawab Susi, dengan senyum yang masih ramah.
"Benar dugaanku. Aku juga baru 26 tahun," kata Milea.
"Itu artinya, Nona seusia dengan adik Tuan Gio," celetuk Susi, tanpa berpikir panjang.
"Adik?" Milea mengerutkan kening, rasa penasarannya kembali muncul.
Susi tiba-tiba terlihat gugup. "Maaf, Nona, saya harus kembali masuk…" Suaranya bergetar, menunjukkan rasa takut yang mendalam.
"Ada apa? Kenapa kamu jadi begitu takut setelah mengatakan tentang adik Gio?" tanya Milea, suaranya sedikit meninggi, menunjukkan rasa penasaran yang semakin membuncah.
"Ampun, Nona… Tolong jangan beri tahu Tuan Gio bahwa saya membicarakan Nona muda… Tuan Gio melarang keras siapa pun untuk membicarakan tentang Nona muda… Ampuni saya, Nona… Jangan beritahukan Tuan Gio tentang hal ini…" Susi memohon, suaranya bergetar, menunjukkan rasa takut yang amat sangat.
Milea menarik napas panjang. Misteri demi misteri terus bermunculan, membuatnya semakin penasaran dengan kehidupan Gio yang terselubung. Kehidupan yang penuh dengan rahasia dan larangan. Angin sepoi-sepoi di taman, tak mampu mengusir rasa penasaran yang semakin membuncah di hatinya.
*
*
*
Milea memutuskan untuk kembali ke dalam mansion. Rasa penasarannya masih membuncah, namun ia memilih untuk menahannya. Ia tak ingin menambah masalah dengan Gio.
Namun, belum sampai di pintu utama, ia melihat sebuah mobil yang familiar mendekat—mobil Gio. Langkahnya terhenti, sebuah firasat tak enak muncul dalam benaknya. Gio turun dari mobil, tatapannya langsung menuju Milea yang berdiri di ujung jalan. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya kali ini, sesuatu yang lebih tajam dan mengancam. Ia berjalan menghampiri Milea.
"Dari mana?" tanyanya singkat, namun suaranya tegas, penuh penekanan. Pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan biasa, melainkan sebuah interogasi.
"Dari taman," jawab Milea, suaranya sedikit gemetar.
"Jangan pernah mendekati paviliun yang ada di ujung sana! Mengerti?!" Peringatan Gio kali ini lebih keras, lebih tegas, menunjukkan ketidaksukaannya yang mendalam. Nada suaranya dingin, menciptakan suasana tegang di antara mereka.
Milea hanya mengangguk patuh. Ia tak ingin berdebat di siang bolong seperti ini. Ia tahu, berdebat dengan Gio hanya akan sia-sia.
"Ayo masuk," perintah Gio, suaranya masih dingin. Ia memberi isyarat agar Milea berjalan lebih dulu.
Milea mematuhi perintah itu. Ia berjalan di depan, dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa, diikuti Gio dari belakang. Langkah kaki mereka bergema di halaman mansion, menciptakan irama yang sunyi, namun penuh dengan ketegangan.
Gio dan Milea berjalan menuju ruang makan yang luas dan megah. Makan siang telah tersaji rapi di atas meja makan dari kayu jati yang mengkilap, dihias dengan perlengkapan makan berbahan perak. Para pelayan, dengan sigap, undur diri setelah memastikan segala sesuatu telah siap. Mereka berdua duduk berseberangan, suasana hening menyelimuti mereka. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang memecah kesunyian.
Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. "Jangan lupakan tugasmu malam ini," ucap Gio, suaranya datar, namun mengandung ancaman yang terselubung.
Tubuh Milea menegang. Sendok dan garpu yang sedari tadi berdenting di atas piring, tiba-tiba berhenti. Nafsu makannya lenyap seketika. Ia merasa sesak, seperti ada beban berat yang menindih dadanya.
Milea menelan ludah dengan susah payah, tatapannya tak berani menatap Gio. Gio hanya menatapnya dengan tatapan dingin yang menusuk, tanpa sedikit pun rasa simpati.
"T… tapi lukanya masih…" Ucapan Milea terputus, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. Gio langsung memotong, "Apa aku terlihat lemah? Jangan lupakan statusmu di sini!" Suaranya keras, menekankan kedudukan Milea sebagai budaknya.
Ya, aku hanya budakmu, batin Milea berkata lirih, rasa getir memenuhi hatinya. Makanan yang terhidang di hadapannya, kini terasa hambar, tak mampu menghilangkan rasa pahit yang tengah menguasai dirinya.
"Habiskan makananmu!" perintah Gio, suaranya tegas, tak ada ruang untuk penolakan. Tatapannya tajam, menembus jiwa Milea. Ia seolah bisa membaca pikiran Milea, mengetahui keraguan dan keengganan yang tengah dirasakannya.
Milea mengangguk patuh, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Ia kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya, memaksa dirinya untuk makan, meski setiap suapan terasa hambar, tak ada sedikit pun rasa nikmat yang mampu ia rasakan. Setiap kunyahan terasa berat, seperti beban yang harus ia tanggung. Aroma makanan yang seharusnya menggugah selera, kini justru terasa seperti racun yang perlahan-lahan meracuni hatinya.
Semangat terus kak 💪
di tunggu back nya 🥰