Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10 : Di Bawah Pohon Rindang
Emilia membalas tatapan Hardin. Namun, dia tidak menjawab pertanyaan yang pria itu layangkan tadi. Bukan karena tak ingin, tetapi Emilia sendiri tidak tahu pasti apa yang dirinya inginkan saat ini.
“Kita sudah tiba, Bu!” seru Blossom riang. Gadis kecil itu bertepuk tangan karena terlampau bahagia, membayangkan bertemu teman-teman sebayanya, untuk mengikuti beberapa kegiatan menyenangkan selama kurang lebih dua jam.
Emilia dan Hardin yang tengah saling pandang, seketika tersadar. Mereka menoleh serempak kepada Blossom. Keduanya terlihat agak kikuk karena gadis kecil itu menatap dengan sorot aneh.
“Kenapa Ibu dan paman saling pandang?” tanyanya polos.
Namun, Hardin memilih melarikan diri dengan langsung keluar dari mobil. Dia membukakan pintu untuk Emilia, barulah membantu Blossom melepas sabuk pengaman dan turun.
“Terima kasih tumpangannya, Tuan. Aku akan mengambil sepeda, setelah kembali dari sini,” ucap Emilia agak kikuk.
“Aku akan menunggu sampai kalian selesai,” ujar Hardin tenang.
“Apa? Ta-tapi, kami akan di sini selama dua jam.”
“Tak masalah. Lagi pula, hari ini tidak ada agenda penting untukku.”
“Tidak, Tuan. Kami sudah terlalu banyak merepotkanmu. Jadi ….”
“Ayo, Paman. Antarkan aku,” ajak Blossom, seraya meraih tangan Hardin. Seakan sudah mengenal lama, gadis kecil itu langsung akrab dengan sang pemilik Rogers Farm tersebut.
Hardin menoleh sekilas kepada Emilia, seraya menyunggingkan senyum kalem. Tanpa mengatakan apa pun, dia berlalu meninggalkan ibu muda itu. Hardin melangkah gagah sambil menuntun Blossom, seolah gadis kecil tersebut adalah putrinya.
“Apa-apaan ini?" gumam Emilia, diiringi sorot tak percaya. Dia bergegas menyusul ke taman perpustakaan, di mana Blossom biasa melakukan kegiatan pra sekolah bersama teman-teman sebayanya.
“Bekal makan siangmu sudah kupindahkan ke dalam kotak makan ini,” ucap Emilia, seraya memasukkan kotak makan siang kesayangan Blossom, yang tadi diambil dari Hardin.
“Terima kasih, Bu. Kau yang terbaik.” Blossom tersenyum riang, lalu mencium pipi Emilia. “Tunggu aku, Paman. Temani ibuku di sini,” pesan gadis kecil itu, sambil melambaikan tangan kepada Hardin.
“Tenang saja. Aku akan menjaga ibumu, seperti menjaga sapi di peternakan,” celetuk Hardin, yang langsung ditanggapi dengan tatapan protes dari Emilia. Namun, pria tampan 37 tahun itu berpura-pura tak peduli. Dia berlagak fokus memperhatikan Blossom.
Kesal atas ucapan Hardin yang menyamakan dirinya dengan sapi, Emilia memilih berbalik dan duduk di bawah pohon.
“Apa kau membawa kue, Nyonya?” tanya Hardin, seraya duduk di sebelah Emilia.
Tanpa memberikan jawaban, Emilia mengeluarkan roti kering yang sengaja dibawa dari rumah. Dia meletakkannya di pangkuan Hardin, yang duduk sambil melipat kaki kanan ke depan dan menekuk kaki kiri.
Hardin menoleh, menatap Emilia beberapa saat sebelum mengalihkan perhatian pada kotak berisi roti kering. “Kau pernah bertemu dengan Ethan di toko kue Nyonya McCallister. Apakah itu benar?” tanya Hardin basa-basi.
“Ethan?” Emilia menautkan alis.
“Ya. Pria yang biasa bersamaku.”
Emilia mengangguk samar.
“Jadi, kau menitipkan roti di toko itu?”
“Dia melaporkan hal tidak penting itu padamu, Tuan?”
“Penting atau tidak, aku jadi tahu bahwa roti kering yang biasa kusantap dengan teh hangat setiap hari adalah buatanmu.”
Emilia tidak menanggapi. Dia tak sepenuhnya percaya dengan ucapan Hardin. “Kau pandai membual rupanya,” gumam wanita 25 tahun itu sambil memalingkan wajah.
“Ini serius, Nyonya,” bantah Hardin. “Maksudku … um … mendiang kakekku adalah pelanggan setia toko kue itu. Satu tahun yang lalu ketika terakhir berkunjung ke Rogers Farm, dia mengajakku minum teh sambil menikmati roti kering buatanmu. Aku melanjutkan kebiasaan Tuan Morgan Rogers sampai sekarang,” tuturnya.
“Kau belum lama berada di Oxfordshire, tetapi sudah menimbulkan banyak masalah,” ujar Emilia berani.
“Kau orang pertama yang mengatakan itu padaku,” balas Hardin tenang, seraya menyantap roti kering dari dalam kotak bekal.
“Jorok sekali. Kau bahkan tidak mencuci tangan sebelum makan," gumam Emilia.
“Astaga. Aku lupa sedang bersama ahli kesehatan,” sindir Hardin, diiringi tawa pelan. “Kau mengatakan aku menimbulkan banyak masalah? Itu hanya bagimu, Nyonya.”
“Mendiang Tuan Morgan tidak pernah mengusik warga desa.”
“Kakekku hanya mengelola peternakan. Dia memproduksi susu, daging, pupuk, dan hal lain dari sana. Kakek merasa cukup dengan itu. Namun, tidak dengan diriku. Aku ingin sesuatu yang lebih. Seperti itulah seorang pengusaha. Kau akan memahaminya, bila suatu hari nanti memiliki toko atau pabrik roti sendiri.”
“Apakah itu termasuk keserakahan?”
Hardin menggeleng pelan. “Tentu saja bukan.”
“Tapi, kebanyakan pengusaha pasti serakah.”
“Berapa banyak pengusaha yang kau kenal, Nyonya?” Hardin menatap penuh arti, seakan hendak menggoda Emilia.
“Tidak ada. Aku tidak terlahir di kasta mereka.”
“Hm.” Hardin menggumam pelan. Dia mengarahkan perhatian ke depan, pada sekelompok anak yang tengah melakukan kegiatan menyenangkan di tengah-tengah taman. “Putrimu sangat ceria dan bersahabat. Dia supel, juga menyenangkan. Sejujurnya, aku jarang sekali berinteraksi dengan anak kecil.”
“Blossom memang begitu.”
“Apakah ayahnya memiliki karakter yang sama?”
Emilia menatap aneh. “Memangnya kenapa?”
“Maaf, tapi kau sangat kaku dan …. Aku tidak tahu seberapa besar beban yang kau rasakan.”
“Tidak ada. Aku sangat menikmati hidupku,” bantah Emilia segera.
“Sayang sekali, aku tidak melihat begitu.”
“Terserah kau, Tuan Rogers. Kita baru saling mengenal. Wajar jika kau berpikiran begitu karena belum mengetahui seperti apa kehidupanku yang sebenarnya.”
“Kau memahaminya, Nyonya. Kau juga belum mengetahui seperti apa kehidupanku yang sebenarnya.”
Emilia tak berniat menanggapi. Sepintas, dia heran karena meladeni Hardin seperti sekarang. Entah mengapa, mereka bisa terlibat dalam perbincangan seperti itu.
Semilir angin menerpa dedaunan, menggoyangkan pohon-pohon rindang di sekitar taman. Hari itu cuaca cukup cerah. Emilia berharap hujan tidak turun, sebelum dia dan Blossom pulang ke rumah.
“Biar kuberitahukan sesuatu padamu, Nyonya,” ucap Hardin, kembali memecah kebisuan yang sempat bertahta selama beberapa saat.
“Tentang apa?” Emilia menoleh sesaat, sebelum kembali menatap lurus ke depan.
“Tentang rencana besarku dengan tanah di sekitar danau.”
Hardin membetulkan sikap duduk, seraya menatap lekat Emilia. “Aku akan membangun penginapan dan segala fasilitas pelengkapnya di sana. Kupastikan itu bisa menarik banyak pengunjung.”
“Begitukah?”
“Ya. Aku akan menawarkan wisata edukasi seputar peternakan. Program itu terbuka untuk umum, termasuk para pelajar dari kota besar. Dengan sistem yang terorganisir dan profesional, semua pasti akan terlaksana dengan baik,” terang Hardin yakin dan penuh percaya diri, meskipun tanpa ekspresi yang berlebihan.
“Itu pasti sangat menguntungkanmu. Lalu, apa yang warga desa dapatkan?”
“Aku akan menyediakan lapak usaha untuk mereka. Contohnya kau, Nyonya. Kau bisa membuka toko roti sendiri di sana, tentunya dengan brand sendiri," jelas Hardin.
Aku mikirnya jauh ya
upss..kok cacingan sih..