Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 10 - Ingin mengenalnya
Keesokan harinya...
Mentari pagi yang menembus jendela kamar mengusik kelopak mata Azura yang perlahan terbuka.
Tanpa suara alarm, tanpa panggilan dari siapa pun dan hanya kebiasaan lamanya yang selalu membuatnya bangun lebih awal dari matahari.
Kini, Azura duduk di tepi ranjang dengan rambut yang masih sedikit berantakan. Pandangannya lurus ke depan, namun sorot matanya nampak kosong.
Hari ini adalah hari pertamanya menjalani pagi sebagai istri dari seorang pria yang bahkan tidak ia kenal, Rangga.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian sederhana, Azura duduk di ujung ranjang sambil memeluk lututnya.
Vila yang begitu besar dan mewah itu selalu terasa sepi, dingin, dan asing baginya.
“Apa yang harus aku lakukan di tempat ini…?,” gumamnya lirih.
Dulu, di rumah ayahnya, meskipun selalu dibentak dan dimanfaatkan, Azura terbiasa menyibukkan diri.
Ia akan menyapu halaman, mencuci piring, bahkan memasak untuk seluruh keluarga. Tapi di sini... semuanya sudah dilakukan oleh para asisten.
Beberapa saat kemudian Azura turun ke dapur, tapi para pelayan buru-buru membungkuk dengan sopan.
“Selamat pagi, Nona Azura. Apakah Anda ingin sarapan?.”
“Kami sudah menyiapkannya di ruang makan, Nona.”
Azura pun hanya mengangguk, lalu melangkah menuju ruang makan. Bagaimana pun suasana vila masih terasa sama, terlalu hening, terlalu rapi, terlalu... jauh dari rumah.
Sesampainya di ruang makan, meja sudah ditata cantik. Sepiring croissant hangat, semangkuk buah segar, dan segelas jus jeruk sudah tertata dengan rapi. Tapi Azura tak langsung duduk.
Tidak melihat orang lain bersamanya di meja makan, Azura pun menoleh ke arah tangga dan berharap melihat Rangga turun juga.
Tapi selama itu, tidak ada sosok Rangga yang menampakkan diri atau bahkan suaranya.
“Apa dia masih tidur...? Atau memang tidak pernah tidur?,” batin Azura.
Lalu, ingatannya kembali pada malam tadi, bagaimana Rangga bertingkah dan selalu menatapnya dengan tatapan yang aneh hingga membekas di kepala Azura. Ada rasa takut, tapi juga ada rasa ingin tahu.
Kemudian, Azura duduk dan menyendok satu potong buah ke dalam mulutnya dengan perlahan. Namun, seenaknya buah tersebut tapi seolah tidak ada rasa di lidahnya, seperti mati rasa oleh semua pikiran yang menumpuk.
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan perempuan mendekat dan membungkuk sopan.
“Maaf, Nona… Tuan Rangga masih di kamar. Biasanya memang beliau tidak suka diajak sarapan bersama.”
Azura menoleh dan bertanya dengan wajah yang tampak muram. “Apa dia tidak pernah keluar rumah?.”
“Kadang keluar, tapi... hanya ke taman belakang. Atau ke ruang lukis. Tapi jarang sekali beliau bicara dengan siapa pun," jawab pelayan itu seolah ragu menjawab.
“Ruang lukis?,” tanya Azura dengan mata yang sedikit menyipit.
Pelayan itu pun mengangguk dan menjawab lagi, “Di ujung lorong lantai dua. Tempat yang hanya boleh dimasuki oleh Tuan Rangga... dan sekarang mungkin oleh Anda juga, Nona.”
“Apa yang dia lukis? Apa itu cara dia meluapkan isi hatinya? Apa aku bisa mendekatinya lewat tempat itu…?.”
Dengan pertanyaan yang bergelut di pikirannya, Azura menatap tangga ke lantai dua. Entah kenapa, hatinya sedikit terusik. Ada perasaan tidak nyaman, tapi ia juga penasaran.
**
Setelah selesai sarapan, Azura hendak kembali ke kamarnya. Namun saat menaiki anak tangga, pandangan Azura terfokus pada sebuah ruangan yang terdapat beberapa orang berseragam putih.
Lalu ia melihat rangga yang sedikit di paksa agar berbaring meski pria itu berontak dan menolak.
Seorang dokter dan beberapa perawat sedang melakukan sesuatu pada rangga, semacam perawatan dengan berbagai suntikan sehingga dalam beberapa saat rangga yang tadinya berontak seketika melemah dan pasrah.
"Apa yang mereka lakukan pada Rangga?."
Langkah Azura terasa berat saat akan terus berjalan. Melihat Rangga yang di perlakukan seperti itu ia merasa kasihan meskipun Rangga memang sakit.
Saat melewati lorong menuju kamarnya, Azura menoleh sekali lagi ke arah ruangan itu.
Namun sebelum ia benar-benar pergi, seorang pria berjas putih keluar dari ruangan tersebut, dokter yang tadi memimpin perawatan Rangga.
"Ah, Nona? Senang bisa bertemu dengan Anda," sapa dokter itu dengan sopan.
Azura sedikit terkejut, lalu mengangguk.
"Maaf dok, apa kita bisa bicara sebentar?," tanya Azura dan dokter pun setuju.
Mereka berdua pun berjalan menuju sebuah ruang tamu kecil di dekat tangga. Azura duduk, lalu mempersilakan dokter untuk duduk di seberangnya.
“Maaf jika tadi Anda melihat sesuatu yang... kurang mengenakkan,” ucap sang dokter membuka percakapan. “Tuan Rangga memang memiliki kondisi khusus. Dan pagi hari biasanya adalah waktu paling sulit untuknya.”
Azura menatap dokter itu, lalu bertanya dengan ragu-ragu, “Apa sebenarnya penyakit Rangga?.”
“Tuan Rangga mengalami gangguan jiwa sejak beberapa tahun lalu. Kami menyebutnya psikosis disosiatif, tapi gejalanya sangat kompleks. Kadang ia tenang... bahkan sangat cerdas. Tapi di lain waktu, ia bisa menjadi sangat agresif atau ketakutan tanpa alasan yang jelas,” tutur sang dokter.
“Apakah dia akan... sembuh?,” tanya Azura seraya menggenggam tangannya.
“Kami melakukan yang terbaik. Kondisinya stabil... jika ia rutin menjalani terapi dan mendapatkan lingkungan yang mendukung.”
Azura menunduk, lalu mengingat kejadian semalam dan bagaimana Rangga hanya diam dan memandangi dirinya.
Melihat reaksi Azura, Dokter itu pun merasa empati dan berkata lagi, "Maaf, Nona. Itu keputusan dari pihak keluarga Tuan Adrian. Kami hanya menjalankan tugas medis sesuai permintaan.”
Hening...
_
_
“Kenapa aku? Kenapa aku yang harus menikah dengannya?," gumam Azura tapi bisa terdengar oleh dokter.
Pertanyaan itu membuat dokter sedikit tertegun. Lalu ia menatap Azura dengan serius. “Mungkin karena Tuan Adrian percaya hanya hati yang tulus yang bisa menyembuhkan luka paling dalam. Dan saya yakin, Anda memiliki itu Nona.”
Azura masih menunduk tapi kata-kata dokter itu menggema dalam pikirannya.
“Jika suatu hari Anda ingin tahu lebih banyak tentang masa lalu Rangga,” lanjut dokter itu sambil berdiri, “saya bisa membantu. Tapi untuk sekarang, jaga diri Anda baik-baik, Nona. Dia mungkin berbeda, tapi dia bukan monster.”
Azura pun ikut berdiri perlahan dan mengangguk. “Terima kasih, Dokter…”
Setelah pria itu pergi, Azura masih berdiri di tempatnya. Pandangannya kosong, tapi hatinya mulai lebih penasaran.
Siapa sebenarnya Rangga… dan apa yang terjadi padanya di masa lalu?
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong