Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan Kakak dan Abang
Setelah menyelesaikan urusanku dengan Nizan, aku masuk ke rumah dengan langkah lelah. Begitu sampai di kamar, aku langsung menjatuhkan tubuh ke kasur. Rasa capek bercampur dengan sesuatu yang tak bisa kujelaskan antara lega, bingung, tapi juga gelisah, apakah keputusan ku sudah benar berbaikan dengan Nizan?
Aku merogoh ponsel di saku hoodieku, menyalakan layar, dan membuka chat dengan Azzam.
...Azzam...
^^^Gue sama Nizan udah baikan, Zam.^^^
Kami udah meluruskan kesalahpahaman dan ya, balik jadi teman lagi.
Beberapa detik kemudian, centang biru muncul. Lalu Azzam membalas singkat.
Hm.
Aku mengerutkan dahi. Hm? Cuma itu?
Kujawab cepat.
^^^Lo marah karena gue baikan sama Nizan?^^^
Kali ini, tak ada balasan.
Kuperhatikan layar ponsel lama-lama, berharap notifikasi itu muncul, tanda-tanda dia sedang mengetik. Tapi tidak ada. Benar-benar kosong.
Aku menunggu lagi. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Tetap tak ada jawaban.
Aku mendesah. "Baru aja bilang bakal selalu stand by, malah ngilang," gumamku pada diri sendiri. Aku menaruh ponsel di dada, menatap langit-langit kamar.
Rasanya aneh. Aku yang biasanya jarang peduli dengan respon orang lain, sekarang justru gelisah hanya karena satu chat tak dibalas.
Keesokan paginya, bel rumah berbunyi. Aku mengerutkan dahi. Hari ini aku tidak ada janji dengan siapa pun. Refleks, aku menduga yang datang adalah Kak Ruby, mungkin dia akan mengunjungi mami.
Aku berjalan ke pintu, menarik handle, dan begitu pintu terbuka aku terpaku.
"Surprise!"
Suara itu begitu familiar. Di hadapanku berdiri seseorang yang beberapa bulan ini tidak kulihat: Bang Shaka.
Aku masih diam. Benar-benar tidak menyangka. Rasanya seperti melihat sosok yang hanya ada di video call setiap minggu itu tiba-tiba muncul nyata.
Dia buru-buru maju dan langsung memelukku erat, membelai rambutku. "Kaget ya?"
Aku masih kaku. "Bang? Lo pulang karena gue telfon kemarin? Kan gue udah bilang, gue gapapa."
Memang beberapa hari lalu aku sempat menelfonnya, curhat tentang semua drama teman-temanku.
"Kan gue udah janji bakal pulang," jawabnya ringan.
Aku melepaskan pelukannya sedikit. "Terus, kuliah lo gimana?"
Dia terkekeh. "Lo nggak seneng abang lo yang paling ganteng ini pulang?"
"Senanglah, tapi..." ucapku ragu.
Sebelum aku sempat melanjutkan, Mami muncul dari ruang tengah. "Abang?! Astaga!" Ia ikut terkejut melihat anak laki-laki yang ia anggap sebagai putra sulungnya berdiri di depan pintu. "Abang kok udah pulang? Visanya...."
Bang Shaka memotong, "Abang udah balik, Mi. Abang berhenti kuliah. Abang pulang."
Aku dan Mami sontak menatapnya kaget. "Berhenti" suaraku meninggi. "Bang, lo cuma perlu satu tahun lagi buat lulus!"
Dia hanya mengangkat bahu. "Gue udah nggak mau di sana. Gue udah menyelesaikan semuanya. Gue benar-benar pulang."
Aku melangkah maju dan memukul lengannya, bukan keras tapi penuh kesal. "Bang! Lo serius?! Lo bikin keputusan sepihak gini?! Mama sama Daddy lo gimana?"
Dia tersenyum kecil, menunduk, lalu berkata pelan, "Katanya lo kangen gue. Ya gue pulang lah."
Aku terdiam. Kata-kata itu menamparku dengan perasaan campur aduk antara senang, bersalah, dan juga khawatir.
Aku berdiri mematung, menatap Bang Shaka.
"Bang, jangan bercanda. Masa gara-gara gue bilang kangen, lo beneran berhenti kuliah?"
"Sya." Suaranya tenang tapi tegas. "Gue pulang bukan cuma karena itu. Banyak alasan lain."
Aku menggigit bibir, tak tahu harus menjawab apa.
Mami ikut bicara. "Abang? Abang sadar kan ini keputusan besar? Abang tinggal setahun lagi loh lulus! Abang pikir gampang nanti kalau mau balik kuliah lagi?"
Bang Shaka menghela napas. "Mi, abang tahu. Tapi abang gak bisa terus maksa diri kalau disana abang gak bahagia. "
Mami hanya bisa geleng-geleng mendengar jawaban Bang Shaka.
...****************...
Sudah seminggu sejak Bang Shaka pulang, dan akhirnya hari ini Kak Ruby datang ke rumahku. Aku bahkan melihatnya dari jauh sudah melambaikan tangan dengan senyum cerah. Rasanya seperti mimpi, akhirnya dia yang dulu selalu dingin, kini justru datang menjemputku.
"Ayo, Sya! Kita ke pantai. Gue udah lama nggak main ke sana," katanya sambil mengacungkan kunci motor.
Aku langsung mengambil tas dan sandal. "Bentar ya kak, gue ambil topi dulu."
Namun belum sempat aku melangkah, suara tegas Bang Shaka terdengar dari ruang makan. Ia sedang duduk dengan piring nasi goreng di hadapannya.
"Mau ke mana?"
Aku berhenti. "Ke pantai sama Kakak."
Abang meletakkan sendoknya dengan keras. "Nggak boleh. Lo di rumah aja."
Aku menoleh cepat. "Hah? Kenapa?"
"Dia bawa motor suka ugal-ugalan. Kalau lo kenapa-kenapa gimana?"
Kak Ruby yang berdiri di depan pagar hanya melipat tangan, seperti biasa ia hanya bisa diam dan tidak ikut campur perdebatanku dengan Bang Shaka.
Aku merasakan kesal mulai naik. "Bang, gue udah lama banget nungguin momen ini. Gue pengen banget Kakak jalan berdua sama Kakak. Sekarang dia ngajak gue, kenapa lo malah larang? Padahal gue aja nggak nanya pendapat lo."
"Karena gue abang lo. Lo pikir gue nggak tahu jalanan ke pantai kayak apa? Banyak tikungan, banyak truk. Lo tuh masih bocah."
Aku menahan napas. "Bang, gue udah gede."
Abang menatapku lama, tapi kemudian menghela napas panjang. "Lo boleh pergi kalau gue ikut. Tapi hari ini gue ada janji sama temen. Jadi nggak bisa. Besok aja ke pantainya."
Aku melotot. "Lah terus? Gue harus batal cuma gara-gara lo nggak bisa ikut?"
Saat suasana memanas, Mami datang dari dapur sambil mengelap tangannya. "Apa lagi ini ribut-ribut?"
Aku langsung menoleh. "Ma, adek cuma mau ke pantai sama Kakak. Abang nggak bolehin."
Bang Shaka menukas cepat, "Karena bahaya, Mi."
Mami memandang kami bergantian, lalu berkata tegas, "Gini aja. Adek sama Kakak tetap pergi, tapi Mama ikut. Jadi abang nggak perlu khawatir."
Bang Shaka terdiam. "Mi..."
Aku melihat Bang Shaka menggertakkan rahang, tapi akhirnya dia menghela napas panjang. "Fine."
Aku hampir tidak bisa menahan senyum kemenangan. Sementara itu, Kak Ruby berbisik, "Abang lo drama banget sih."
Aku melirik Kak Ruby sebentar "Itukan abang lo juga Kak."
Kak Ruby tertawa. "Abang lo itu mah, dari kecil sayangnya cuma sama lo doang."
Pantai siang itu tidak terlalu ramai. Angin membawa aroma asin laut, suara ombak berpadu dengan tawa anak-anak kecil yang berlarian di bibir pantai. Aku duduk di atas tikar bersama Mami, sementara Kak Ruby sibuk memotret langit cerah dengan ponselnya.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nizan.
...Nizan...
Hari ini kamu jalan ke mana, Sya?
Aku menatap layar sebentar, lalu menjawab.
^^^Lagi di pantai nih.^^^
Tak lama, balasannya muncul.
Sama siapa?
Aku mengetik cepat.
^^^Sama Mami dan kakak.^^^
Pesan berikutnya muncul hampir seketika.
Boleh aku nyusul nggak?
Aku terdiam sejenak, menoleh ke arah Mami yang sedang menata bekal. Aku pikir tak ada salahnya.
^^^Boleh.^^^
Setengah jam kemudian, sebuah motor berhenti di area parkir. Aku melihat sosok yang familiar menurunkan helmnya. Nizan. Ia melangkah mendekat, menunduk sopan, lalu bersalaman dengan Mami.
"Halo, Mi," ucapnya.
Mami tersenyum ramah. "Eh Nizan. Duduk Zan."
Aku mendongak. "Cepat banget sampainya Zan?"
Dia menoleh padaku. "Iya, tadi aku tuh di rumah teman aku yang di dekat sini."
Refleks, Kak Ruby yang berdiri tak jauh dari kami ikut menoleh. Saat itu juga Nizan terdiam. Matanya bergeser cepat, seolah sedang mencoba memahami apa yang dilihatnya.
"Zan," aku memecah keheningan. "Kenalin, ini Kak Ruby. Kakak aku. Aku pernah cerita kan sama kamu."
Nizan masih melongo, suaranya hampir tak keluar. "Kakak lo?"
Kak Ruby tertawa kecil. "Iya. Hai, aku Ruby."
Nizan akhirnya menjabat tangan Kak Ruby, meski masih tampak bingung. "Hai. Gue... Nizan. Temannya Tisya."
Aku tahu apa yang membuatnya kaget. Wajahku dan Kak Ruby memang hampir identik. Bentuk wajah, garis bibir, bahkan cara kami tersenyum. Hanya warna kulit yang berbeda, Kak Ruby lebih putih, sedangkan aku kuning langsat. Tidak jarang orang mengira kami kembar.
"Mirip banget, kan?" ucapku sambil terkekeh. "Banyak yang suka salah paham kok. Bukan kamu doang Zan."
Nizan mengangguk kaku. "Iya, kamu pernah bilang kamu mirip banget sama kakak kamu. Tapi aku gak nyangka semirip ini."
Percakapan pun berlanjut. Entah bagaimana, Kak Ruby dan Nizan mulai berbicara lebih banyak. Mereka bahkan bertukar nomor Whatsapp. Aku hanya memandang, tidak terlalu memikirkan apa pun saat itu.
Aku sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pertemuan sederhana ini adalah awal dari hubungan mereka.