Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bahan perkara
"Setan! Anak gila! Kamu coret-coret tembok rumah saya?!"
Suara Lina membelah pagi yang baru saja menghangat. Santi baru saja merendam pakaian milik Lina. Memang terlalu. Bayaran hanya dua puluh ribu rupiah untuk baju yang menumpuk dan tanpa mesin cuci. Tapi demi uang itu, Santi rela menjalaninya. Toh pagi tadi, hasil jualan gorengan sudah membuatnya mengantongi seratus ribu rupiah.
"Na-bil!"pekik Lina lagi. Dan sebelum siapa pun sempat mencegah, telapak tangannya sudah melayang ke wajah mungil Nabil.
Plak!
Santi menjatuhkan cucian dari tangannya dan berlari ke arah suara.
"Nabil!"jeritnya.
Anaknya terduduk di tanah. Di dinding rumah Firman—suami Lina, yang tadi pagi sempat menawari pekerjaan untuk Heru—tergores coretan krayon biru dan merah: angka-angka acak dan gambar bentuk rumah serta matahari. Mungkin Nabil tengah menyalurkan pikirannya. Tapi kini semua itu tak penting. Hanya darah yang menetes dari bibir kecil Nabil yang memenuhi pandangan Santi.
Ia langsung memeluk anaknya. Tangannya gemetar menahan amarah yang mendidih.
"Siapa yang berani menyentuh anak saya?!"suaranya melengking, menggetarkan halaman kecil itu.
"Lihat kelakuan anakmu itu! Sudah jelek, kayak tuyul, nakal pula! Lihat tembok rumahku dicoret-coret!"seru Lina sambil bertolak pinggang.
Santi perlahan berdiri. Masih memeluk Nabil dengan satu tangan. Matanya menatap Lina tanpa berkedip. Diam, tapi penuh bara. Napasnya berat, menyimpan letupan yang sebentar lagi pecah.
"Kamu pukul anak saya?"tanyanya pelan.
"Ya, saya pukul! Dan kalau perlu, akan saya siksa dia! Sudah jelek, nakal pula! Lihat sendiri tembok rumahku jadi kotor!"ucap Lina, matanya melotot.
Dan saat itulah—Santi meledak.
"Dasar anjing!"Dengan teriakan marah yang belum pernah keluar dari bibirnya, Santi menerjang Lina. Tubuhnya melesat seperti badai. Dalam satu gerakan, ia menjambak rambut Lina hingga perempuan itu menjerit histeris.
"Jangan pernah sentuh anak saya lagi!"
Santi mendorong Lina hingga perempuan itu membentur pagar bambu. Mereka terjatuh dan berguling di tanah. Debu mengepul. Teriakan menggema di sepanjang gang kecil kampung.
"Ih, Santi berantem!"
"Ya Allah, itu Lina dicekik!"
Anak-anak kecil berhamburan. Beberapa ibu keluar dari rumah tergopoh-gopoh.
Santi menindih Lina. Kedua tangannya menahan lengan perempuan itu ke tanah.
"Kalau kamu punya anak, kamu akan tahu sakitnya dipukul orang!"desisnya.
"Lepasin! Gila kau! Lepaaas!"teriak Lina, mencakar pipi Santi hingga berdarah.
Namun Santi tak bergeming. Luka di wajahnya tak sebanding dengan luka di hati melihat anaknya ditampar. Nabil kini hanya duduk memeluk lutut di pojok halaman. Wajahnya merah, napasnya tersengal.
Beberapa ibu mencoba melerai.
"Santi, cukup! Sudah, ayo... jangan dilanjutkan!"
Santi menoleh tajam ke arah Lina.
"Dengar, bajingan! Nabil cuma anak kecil! Hanya karena tembokmu kotor, kamu merasa pantas memukulnya?! Kalau mau berkelahi, ayo, lawan saya! Jangan beraninya sama anak kecil!"
Lina berhasil melepaskan diri, berdiri dengan napas tersengal. Ia merapikan kerudung dan rambutnya yang acak-acakan. Darah menetes dari sudut bibirnya.
"Kamu perempuan gila! Besok saya laporin kamu ke Pak RT! Bahkan ke polisi juga!"
Santi berdiri. Tubuhnya bergetar hebat.
"Silakan lapor. Sekalian laporkan dirimu karena sudah menampar anak kecil yang nggak bisa membela diri!"
"Anakmu itu nggak waras! Hari ini nyoret tembok, besok-besok nyulik anak orang!"
Plak!
Tamparan kedua terdengar lebih keras. Kali ini dari tangan Santi ke pipi Lina.
"Cukup, Lina. Jangan hina anak saya lagi!"ucapnya. Suaranya dingin, seolah tanpa emosi.
Saat itu, Firman keluar dari rumah. Ia terdiam melihat istrinya dan Santi beradu. Wajahnya terkejut. Di belakangnya, Heru muncul sambil membawa kantong plastik berisi baju kotor.
**"Ada apa ini?!" tanya Firman.
Santi menunjuk ke arah Nabil.
"Tanya istrimu! Dia tampar anak saya cuma karena mencoret tembok!"
Firman menatap Lina.
"Lina, benar kamu tampar Nabil?"
Lina mendesis.
"Karena anak itu nyoret-nyoret tembok rumah kita! Kamu tahu harga cat, kan?!"
Firman menghela napas panjang.
"Ya Allah, Lina. Anak itu masih kecil. Dan kamu tahu dia butuh perhatian khusus. Kenapa kamu pukul?"
"Kenapa kamu malah bela anak setan itu?! Harusnya kamu kasih pelajaran ke si Santi ini! Sudah untung kita kasih pekerjaan, malah berulah!"ucap Lina, napasnya masih memburu.
Firman tak menjawab. Ia menatap Santi dan Nabil dengan wajah bersalah. Lalu, pelan-pelan berkata,
"Maafkan istri saya, Bu Santi."
Santi memeluk Nabil. Mengangkatnya dari tanah.
"Saya nggak butuh belas kasihan, Pak Firman. Saya cuma minta satu: jangan biarkan siapa pun menyakiti anak saya. Termasuk istrimu."
Lina memelototkan mata penuh benci.
Santi menoleh ke Heru.
"Kita pulang."
Heru mengangguk. Matanya penuh kemarahan dan kesedihan. Ia mengikuti kakaknya dan Nabil keluar dari halaman rumah Firman, meninggalkan kerumunan yang mulai bubar.
Di sepanjang jalan pulang, Santi menahan air mata. Tapi dadanya masih panas. Bukan karena luka di pipinya. Tapi luka di hati. Dunia seolah menolak anaknya. Seolah, hanya karena berbeda, Nabil tidak pantas dihargai.
Setibanya di rumah, Santi mendudukkan Nabil. Ia mengambil air hangat dan mengusap lembut luka kecil di bibir anaknya.
"Mah... gambarku jelek, ya?"ucap Nabil. Nadanya datar. Ia lebih peduli pada gambarnya ketimbang kejadian barusan. Seolah keributan tadi bukan masalah baginya.
Santi tersenyum getir.
"Gambar kamu adalah gambar terindah di dunia."
"Terus... kenapa setan tadi marah, Mah?"
Santi menahan tawa.
"Namanya juga setan. Dia nggak tahu mana gambar bagus, mana enggak."
"Abil boleh gambar lagi, nggak, Mah?"
"Boleh. Tapi jangan di tembok orang lagi, ya?"
Nabil mengangguk. Tanpa berkata apa-apa lagi.
Hari itu, Heru tak ikut ngarit seperti biasanya. Ia memilih tinggal di rumah, menemani adiknya, Nabil. Dengan telaten, Heru membuatkan pensil dari arang dan mencarikan kertas-kertas bekas yang masih bisa dipakai. Diberikannya semua itu pada Nabil.
Wajah Nabil berseri. Ia menggambar dengan semangat. Pola-pola rumit memenuhi kertas, sekilas tampak seperti coretan anak-anak biasa. Tapi bagi yang mengerti seni, mereka tahu: itu lukisan abstrak—liar, jujur, dan penuh perhitungan rasa.
Ketukan di pintu mengganggu keheningan sore.
Heru membuka pintu. Di luar, berdiri Pak Risman, ketua RT.
“San, nanti malam kamu ke balai desa, ya,” ucap Risman, datar.
“Kenapa, Pak? Biasanya pembagian bantuan siang hari. Ini kok malam?” jawab Santi. Nada sindiran tak bisa disembunyikan. Selama ini, meski hidup sebatang kara, Santi dan adiknya tak pernah sekalipun mendapat jatah raskin.
“Bukan bantuan,” Risman menatap tajam. “Ini soal penganiayaan yang kamu lakukan ke Lina.”
Santi menarik napas panjang. Ia tahu siapa Lina. Keponakan Pak Lurah.
“Ka… kita bakal diusir, ya?” tanya Heru cemas.
Santi mengusap kepala adiknya. “Tenang. Kita nggak salah. Kalau kita takut duluan sebelum bertarung, mereka bakal injak-injak harga diri kita terus.”
Heru mengangguk, matanya berbinar. Kakaknya banyak berubah setelah bercerai dengan Bayu. Sekarang, kakaknya adalah perempuan kuat yang tak bisa dibungkam.
Malam tiba.
Balai desa penuh sesak oleh warga.
Pak Lurah duduk di tengah.
Lina duduk di sisi kanan, wajahnya lebam, tatapannya menusuk ke arah Santi.
“Santi, kamu sudah melakukan penganiayaan. Harus bertanggung jawab,” ucap Pak Lurah dingin.
“Pak, kenapa tidak bertanya dulu sebabnya saya memukul dia?” jawab Santi lantang. Tak ada sedikit pun rasa takut di wajahnya.
“Untuk apa ditanya lagi? Sudah jelas kamu memukul Lina tanpa alasan!”
Santi tertawa kecil. “Saya nggak segila itu, Pak. Nggak mungkin tiba-tiba mukul orang.”
Pak Lurah mengangkat tangan, mencoba menengahi. “Sudahlah. Lina sudah dirugikan. Kamu tinggal ganti rugi, selesai. Kalau tidak, kasus ini akan kami lanjutkan ke kepolisian.”
“Hehehe… Lanjutkan saja, Pak. Paling saya masuk penjara. Dapat makan gratis, tidur gratis.” Suara Santi sarkastik, tapi tenang.
Lina menyela, kesal. “Sombong kamu! Kamu kira penjara enak, hah?! Aku sudah berbaik hati nggak langsung lapor polisi. Tinggal ganti rugi aja, selesai!”
“Baik, saya mau ganti rugi,” ucap Santi. “Tapi ada syarat.”
“Apa syaratnya?” tanya Pak Lurah curiga.
“Saya mau mukul anak Bapak sampai berdarah.”
Seisi balai desa gaduh.
Pak Lurah berdiri. “Kamu gila, Santi! Akan kubunuh kamu kalau kamu sentuh anakku!”
Santi tetap tenang. “Nah, saya juga masih beruntung tidak membunuh Lina.”
“Kenapa?” tanya Pak Lurah, kini suaranya menurun.
“Karena Lina menampar anak saya sampai berdarah,” ucap Santi tegas. “Saya siap bawa kasus ini ke polisi. Saya sudah biasa hidup menderita. Adik saya umur 10 tahun sudah bertahan hidup sendiri. Saya tidak takut. Anak saya juga tidak perlu dikhawatirkan, karena undang-undang memperbolehkan anak ikut ibunya ke penjara bila masih butuh pengasuhan.”
Santi melangkah maju. “Dan saya akan menuntut Lina karena sudah melakukan kekerasan terhadap anak kecil. Saya ingin tahu, Pak… nanti polisi akan bela siapa?”
Pak Lurah tercekat.
Skenario yang ia siapkan malam ini runtuh. Ia pikir bisa menekan Santi dengan tuduhan sepihak, lalu menutup mulutnya dengan uang satu juta—uang yang akan dibagi dua, setengah untuk Lina, setengah lagi untuk dirinya.
Tapi semua warga kini berbisik membenarkan Santi.
Orang tua mana pun akan membela anaknya.
Dan Lina?
Ia tak lagi tampak seperti korban.
Ia tampak seperti pelaku yang sedang memutarbalikkan cerita.