"Ayah bukanlah ayah kandungmu, Shakila," ucap Zayyan sendu dan mata berkaca-kaca.
Bagai petir di siang bolong, Shakila tidak percaya dengan yang diucapkan oleh laki-laki yang membesarkan dan mendidiknya selama ini.
"Ibumu di talak di malam pertama setelah ayahmu menidurinya," lanjut Zayyan yang kini tidak bisa menahan air matanya. Dia ingat bagaimana hancurnya Almahira sampai berniat bunuh diri.
Karena membutuhkan ayah kandungnya untuk menjadi wali nikah, Shakila pun mencari Arya Wirawardana. Namun, bagaimana jika posisi dirinya sudah ditempati oleh orang lain yang mengaku sebagai putri kandung satu-satunya dari keluarga Wirawardana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Berubah
Shakila terlihat pendiam hari ini. Dia tidak semangat melakukan pekerjaannya, berbeda dari biasanya. Beberapa orang yang menjadi rekan kerja curiga perempuan itu di mutasi kembali ke kantor cabang karena melakukan kesalahan saat bekerja di kantor pusat.
"Kamu kenapa? Tumben lesu begini?" tanya Husna, teman baik Shakila sejak zaman SMP.
"Aku merasa kalau sikap Bu Diana berubah kepadaku sekarang," jawab Shakila dengan suara pelan.
"Memangnya kenapa?" tanya gadis berjilbab motif bunga-bunga.
Shakila belum menceritakan apa yang terjadi kepadanya. Semua orang tahu kalau dia pindah ke kantor pusat karena prestasinya dalam pekerjaan.
"Ini rahasia. Jadi, jangan sampai bocor ke orang lain," kata Shakila masih dengan suara rendah.
"Baiklah. Aku akan jaga rahasia kamu," balas Husna mengangguk.
Shakila menceritakan garis besar kalau dia pergi ke ibukota untuk mencari ayah kandungnya. Dia hanya mengatakan nama tanpa memberi tahu siapa itu Arya. Gadis itu ingin semuanya tetap berjalan sebagaimana biasanya. Dia takut kalau orang-orang tahu identitas sebenarnya akan dimanfaatkan. Terlebih tempatnya bekerja masih milik Arya Wirawardana.
"Mungkin Bu Diana berpikir setelah kamu bersama ayah kandungmu, Pak Zayyan tidak akan lagi sayang sama kamu," ujar Husna sambil menyeringai.
"Hah? Ayah masih ayah akulah! Sampai kapan pun kita tetap menjadi ayah dan anak," tukas Shakila dengan tegas.
"Apa kamu tidak tahu, dulu Bu Diana selalu membangga-banggakan kamu di depan ibu-ibu PKK dan teman-teman arisannya? Katanya calon menantunya adalah putri pengusaha batik terkenal."
Shakila terkejut. Karena dia tidak menyangka Bu Diana seperti itu.
"Namun, belakang ini Bu Diana malah memuji-muji anaknya Pak Kapolres itu," lanjut Husna.
"Kok, kamu tahu?"
"Mama tanya sama aku akan perubahan sikap Bu Diana itu. Kata mamaku, “Apa hubungan Shakila sama Abian baik-baik saja? Kok, Bu Diana sekarang tidak membangga-banggakannya lagi. Malah ganti membanggakan dan memuji anaknya Pak Kapolres.” Begitu."
Shakila terdiam, berpikir. Dia tidak menyangka kalau calon ibu mertuanya itu menilai seseorang dari statusnya. Selama ini semua orang mengenal gadis itu sebagai putri semata wayang Zayyan yang kaya. Walau keluarga itu cukup berada, tetapi menjalani hidup dengan sederhana.
"Apa kamu yakin kalau nanti rumah tangga kamu dengan Abian akan baik-baik saja?" tanya Husna cemas. "Sedangkan sekarang perlakuan Bu Diana kepada kamu sudah berbeda."
Shakila menarik napas panjang. Dia paling tidak ingin kelak punya hubungan buruk dengan keluarga pihak suami. Bagaimanapun juga orang tua suami nantinya akan menjadi orang tuanya juga yang harus dihormati.
"Aku takutnya nanti mama selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga kami," ucap Shakila. "Kamu tahu sendiri, kan, jika mertua selalu merecoki rumah tangga anaknya, kebanyakan berakhir perceraian. Aku tidak mau itu. Karena impianku menikah sekali seumur hidup dengan laki-laki yang pantas aku dampingi sampai akhir hayat ku."
Husna paham ucapan Shakila karena dia juga ingin menikah sekali seumur hidup dengan orang yang tepat. Sama-sama saling memahami dan menyayangi, juga berjuang bersama-sama dalam hal apa pun ketika menjalani hidup.
"Semoga saja mama—Bu Diana—menjadi orang yang baik, sayang menantu, dan tidak ikut campur dengan segala urusan anaknya setelah menikah nanti, kecuali ketika diminta," lanjut Shakila lirih.
Tidak berbeda jauh dengan Shakila, Abian pun tidak semangat menjalani aktivitasnya seharian ini. Dia bekerja di salah satu perusahaan BUMN yang ada di kota itu dan sudah punya jabatan.
Usia Abian terpaut tiga tahun dengan Shakila. Mereka sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP. Kebetulan mereka sekolah di SMP dan SMA yang sama. Namun, universitas tempat kuliah mereka berbeda.
Sifat seorang ibu pastinya akan dipahami oleh anaknya. Hal ini pun berlaku kepada Abian dan Bu Diana. Laki-laki itu merasa perubahan sikap mamanya beberapa bulan belakangan ini kepada Shakila.
Dahulu, ketika pertama kali Abian mengatakan kepada ibunya, kalau dia sudah menyukai Shakila, mendapatkan dukungan. Bu Diana bahkan selalu memberikan dukungan kepada putranya agar bisa mendapatkan hati gadis itu. Namun, Shakila bukan tipe perempuan yang mau diajak pacaran. Sejak duduk di bangku SMA, Abian mengejar-ngejar cinta Shakila.
Baru setelah belasan tahun, akhirnya cinta Abian mendapatkan balasan dari Shakila. Tepatnya satu tahun yang lalu mereka mendatangi acara pesta pernikahan salah seorang kenalan sewaktu zaman SMA, Abian kembali menyatakan perasaannya dengan serius.
Kali ini Shakila tidak lagi menolak cinta pria itu. Karena dia juga memendam rasa kepadanya. Usianya juga sudah pantas untuk melangkah ke kehidupan berumah tangga. Betapa bahagianya mereka waktu itu.
"Abian!" Cintia berteriak sambil melambaikan tangan kepadanya.
Abian yang sedang melamun kembali kesadarannya. Dia menoleh kepada Cintia yang datang menghampiri. Laki-laki itu selalu merasa aneh kepada sang perempuan. Selalu saja bisa menemukan dirinya di mana pun sedang berada. Seperti saat ini, dia sedang berada di sebuah rumah makan yang baru pertama kali didatangi olehnya.
"Cintia, sedang apa di sini?" tanya Abian heran.
"Aku baru ketemuan sama temanku. Rencananya kita mau buka usaha kafe di sekitar sini," jawab perempuan itu dengan senyum manisnya.
"Oh." Abian melanjutkan makannya yang tinggal sedikit lagi. Dia pun buru-buru menelan agar cepat habis.
"Mama dan papaku mengundang keluarga kamu hari Minggu nanti," kata Cintia menatap Abian.
"Aku sudah punya janji," ujar Abian setelah menghabiskan air minum di gelasnya.
"Sama siapa? Shakila?" tanya perempuan itu dengan nada kesal.
"Tentu saja," jawab Abian sambil mengeluarkan uang dari dompetnya. Lalu, dia memanggil pelayan hendak membayar makanannya.
Cintia mengikuti langkah Abian yang pergi meninggalkan rumah makan. Perempuan itu tidak akan menyerah untuk mendapatkan laki-laki pujaan hatinya.
"Abian, tunggu!" Cintia bingung karena tempat parkir kendaraan mereka berbeda. Namun, pria itu mengabaikan panggilan sang gadis.
***
Sementara itu di ibukota, Silvia sedang bersama dengan Widuri dan Bu Dewi. Ketiga perempuan berbeda generasi itu sedang makan di sebuah restoran mewah dan mahal.
"Apa Papa kamu terlihat mencurigakan belakangan ini?" tanya Widuri.
"Tidak, Tante. Papa terlihat seperti biasanya. Sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya yang semakin berkembang ke segala bidang," jawab Silvia, jujur.
"Sebaiknya kamu secepatnya menikah. Lalu, minta sebagian harta milik papamu. Ubah kepemilikan perusahaan itu menjadi milikmu," ucap Widuri dan dibenarkan oleh Bu Dewi.
"Lingga sulit sekali ditaklukkan, Tante. Dia selalu mengalihkan pembicaraan jika sudah menyenggol tentang pertunangan. Apalagi jika membicarakan tentang pernikahan. Langsung kabur dia." Silvia sungguh kesal dengan sikap Lingga.
Bu Dewi menghela napas. Dia sudah beberapa kali mengenalkan pria kaya dan tampan kepada Silvia, berharap ada yang disukainya. Namun, semua ditolak mentah-mentah oleh perempuan muda itu.
"Jika kamu masih ingin hidup nyaman dan mewah seperti ini, sebaiknya segera menikah. Entah siapa laki-lakinya, yang penting kamu secepatnya membina rumah tangga dan meminta sebagian harta papamu," kata Widuri dengan penuh penekanan.
"Kenapa aku harus segera menikah?" Silvia merasa heran dan tidak paham.
***