Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
“Diam,” sahut Bu Maryam sambil tersenyum ramah ke ibu-ibu lain.
Aira menarik jilbabnya sedikit-sedikit, memastikan tidak miring. Memperbaiki lengan gamisnya. Mencoba menutupi rasa gugupnya tapi justru terlihat makin salah tingkah.
Dan di tengah kerumunan…
Aira melihat seseorang.
Ustadz Fathur.
Berdiri dekat mimbar kayu, menata kitab kecil di pangkuannya.
Wajahnya tenang, teduh, dengan sorban sederhana di bahu.
Sebentar lagi pengajian dimulai, dan dialah penceramahnya.
Ustadz Fathur memang ditugaskan di kampung itu sejak lima tahun lalu. Di umurnya yang ke dua puluh tahun dia sudah mandiri... Dalam artian dia sudah berani bersyiar ke berbagai kampung dan terakhir dia ditugaskan di sana saat umurnya menginjak dua puluh tiga tahun. Lima tahun pengabdiannya kampung yang sesikit terbengkalai dan sesikit pengetahuan tentang agama... Paham leluhur... semakin membaik.
Ustadz Fathur sendiri adalah anak yatim piatu yang besar di pondok pesantren itu dari umur sepuluh tahu. Sanak saudaranya meninggal saat kejadian banjir bandang di daerah tempatnya tinggal. Maka dari itu, Ustadz Fathur dititipkan di pondok oleh pengurus di daerah tempatnya tinggal sampai akhirnya seperti sekarang.
Aira langsung kaku. Sangat kaku.
Seperti boneka toko baju yang hidup tapi nggak tahu harus ngapain.
Ustadz Fathur mengangkat wajah…
Mata mereka bertemu.
Hanya satu detik.
Tapi untuk Aira rasanya kayak slow motion film drama Cina.
Ustadz Fathur tersenyum tipis, sopan. “Assalamualaikum, Bu Maryam… Aira.”
Suara beliau lembut, jelas.
Aira?
Dia tidak menjawab.
Justru menunduk cepat, terlalu cepat, sampai jilbabnya hampir menutupi setengah wajah.
Bu Maryam menyikut pelan. “Jawab salamnya…”
Aira terbata, “Wa-waalaikumss… salam…”
Beberapa ibu langsung menahan tawa kecil melihat Aira yang biasanya bawel kini jadi selembut puding.
Salah satu ibu nyeletuk ke arah Bu Maryam, lirih tapi jelas terdengar: “Ih, cocok ya Bu… anaknya sama Ustadz Fathur… Masya Allah…”
Aira mendengar itu. Langsung pura-pura sibuk dengan ujung gamisnya.
Bu Maryam cuma tersenyum simpul, menatap anaknya yang wajahnya sudah merah merona.
Ustadz Fathur kembali fokus pada kitab di depannya. Tapi… dari ujung mata, seolah-olah Aira bisa merasakan beliau masih memperhatikan.
Mereka duduk.
Pengajian sebentar lagi dimulai.
Aira menelan ludah. “Satu harapan, ya Allah… semoga aku nggak disuruh baca doa atau surah pendek…”
Di sampingnya, Bu Maryam menepuk pahanya pelan. “Aira… ini baru pengajian. Belum apa-apa. Santai.”
Aira menatap langit-langit masjid. “Ma… kalau aku tiba-tiba pingsan, jangan bilang gara-gara malu. Bilang aja kepanasan.”
“Sini mama kipasin sekalian?” Bu Maryam menggoda.
Aira mendengus. “Ma… plis…”
Dan tepat saat pengajian akan dimulai, Ustadz Fathur menoleh sekali lagi.
Aira buru-buru menatap sejadah.
Kencang sekali.
Seakan sejadah itu adalah hal paling menarik di dunia.
Suasana masjid mendadak hening ketika Ustadz Fathur berdiri.
Para ibu-ibu langsung membetulkan duduknya.
Aira?
Dia menarik ujung gamisnya sampai hampir ke pergelangan tangan karena gugup.
“Bismillahirrahmanirrahim…” Suara Ustadz Fathur mengalun lembut, membuat semua perhatian tertuju padanya.
Aira mencoba fokus.
Tapi setiap dua detik matanya malah berkelana ke ujung mimbar.
Kenapa aih ustadz itu harus kelihatan tampan banget kalau lagi ceramah?
Ini menyulitkan konsentrasi woy...
Bu Maryam melirik anaknya yang gelisah seperti ulat mau ganti kulit. Ia terbahak di dalam hati.
***
Ustadz Fathur memulai ceramah.
“Jamaah sekalian… hari ini kita bahas adab sebagai tamu dan sebagai pendatang baru.”
Aira menelan ludah.
Pendatang baru?
Kenapa topiknya pas banget?!
Ibu-ibu otomatis menoleh ke arah Aira.
Yang satu senyum, yang satu kedip-kedip jahil.
Aira perlahan merunduk, ingin lenyap menjadi debu sajadah.
Ustadz Fathur melanjutkan, suaranya stabil.
“Kadang ada pendatang baru yang masih beradaptasi. Masih belajar membedakan kebiasaan kampung dengan kota.”
Satu ibu menyenggol temannya. “Ya Allah, Ustadz ngomongin siapa tuh ya… hahaha.”
Aira makin meringkuk.
Ya Allah... Ini ceramah atau teguran terselubung?
Pak Hadi... yang duduk di saf belakang bersama bapak-bapak... diam-diam menahan senyum.
Saat membalik halaman kitab, Ustadz Fathur melirik cepat. Hanya sekilas. Tapi tertangkap mata Aira.
Aira spontan menarik jilbabnya menutupi pipi. Mukanya sudah merah muda kayak kue apem.
Bu Maryam bertepuk pelan di pahanya. “Biasa aja, Ra… bukan dilamar sekarang.”
Aira mencubit lengan mamanya. “Ma! Jangan bicara begitu di masjid!”
Mereka kembali mendengarkan Ustadz Fathur berceramah sampai akhirnya ia melempar candaan.
“…dan kalau ada yang masih belum terbiasa, misalnya cara berpakaian atau cara bergaul, ya pelan-pelan kita bantu. Tidak apa-apa kalau salah. Yang penting mau belajar.”
Ibu-ibu bergumam... Hmmm… jelas siapa maksudnya.
"Kenapa aku merasa ini directed kepada aku seratus persen??"
Ustadz Fathur menambahkan dengan senyum tipis. “Termasuk… belajar tidak nyasar ke sawah lagi.”
Masjid langsung gempar.
“HAHAHAHA!”
Ibu-ibu ngakak sampai terbatuk.
Bu Maryam sampai menutup wajah karena ikut malu tapi lucu.
Pak Hadi mengusap wajahnya... antara bangga dan bingung punya anak seunik Aira.
Aira menatap sajadahnya.
Ustadz... Tolong... Ini penceramah nama baik secara halus.
Saat Ustadz Fathur mengangkat tangan untuk doa, Aira ikut mengangkat tangan tapi hatinya tidak karuan.
“Aamiin…”
Ibu-ibu kompak.
Aira juga ikut, tapi suaranya lirih sekali.
Terlalu sibuk berharap bumi membuka diri untuk menelannya.
***
Setelah pengajian selesai. Ibu-ibu langsung mengerubungi Aira.
“Cantik banget tadi, Nak…”
“Masya Allah, kayak pengantin…”
“Eh, Ustadz Fathur tadi sering lihat ke kamu deh…”
“Bu… saya cuma mau pulang… saya pusing…” ucap Aira.
Bu Maryam menyeringai puas. “Nah, mulai terbiasa kan ikut pengajian?”
Aira mendesah berat. “Ma… ini bukan terbiasa. Ini tertekan secara batin.”
Tapi saat ia menoleh sedikit ke arah mimbar…
Ustadz Fathur terlihat sedang merapikan kitabnya.
Dan ketika Aira hendak keluar masjid…
Beliau menatap…
tersenyum pelan…
“Semoga besok nggak nyasar lagi, Aira.”
Aira langsung kabur.
Tanpa menoleh.
Secepat angin.
Bu Maryam hanya menggeleng sambil tertawa.
***
Sore harinya.
Sore ini angin kampung semilir, suara ayam dan anak-anak main kejar-kejaran terdengar jelas.
Pak Hadi sedang duduk di teras sambil memperbaiki cangkul kecil, sementara Aira mondar-mandir dengan wajah gusar memegang HP mati gaya.
“Pa… di mana sih di sini yang bisa dapet sinyal satu garis aja… satu garis pun jadi…” Aira mengangkat HP ke udara seperti nyari satelit.
“Udah, Ra. Gak usah kebanyakan main HP. Di sini udara segar, nikmati hidup…” jawab Pak Hadi santai.
Aira mendengus. “Pa, aku manusia modern, bukan pohon kelapa.”
Belum sempat Pak Hadi menjawab, terdengar suara salam dari arah gerbang rumahnya.
“Assalamualaikum…”
Aira menoleh... dan hampir menjatuhkan HP-nya.
Ustadz Fathur.
Dengan motor bebek, helm hitam, wajah teduh, dan senyum yang biasa membuat para santri klepek-klepek.
Pak Hadi berdiri. “Waalaikumsalam. Silakan, Tadz.”
Ustadz Fathur melangkah ke teras, menyalami Pak Hadi, lalu mengangguk sopan pada Aira.
“Assalamualaikum, Aira.”
“W-walaikum… salam…”
Aira membenarkan rambutnya yang gentayangan di pipinya. Makeup tipis masih sisa-sisa pengajian.
Ustadz Fathur langsung di persilahkan duduk oleh Pak Hadi.
“Begini, Pak,” Ustadz Fathur mulai. “Para petani minta izin besok melanjutkan penanaman padi. Tadi sempat terhenti karena sudah mendekati waktu zuhur.”
“Ya, boleh. Jam berapa kira-kira mulai lagi?” tanya Pak Hadi. Ia memang tidak tahu biasa mereka turun ke sawah, sebab kemarin mereka diajak menanap dadakan, jadi sekitar jam delapan baru datang ke depan rumah.
“Habis subuh biasanya sudah turun.”
Aira spontan nyeletuk, “Habis subuh?? Orang normal itu bangun jam enam, Tadz…”
Pak Hadi menegur, “Aira…”
Ustadz Fathur justru tersenyum lembut. “Di kampung beda ritmenya, Neng. Subuh itu waktunya paling adem untuk kerja.”
Aira menghela napas seperti habis mendaki gunung. “Baiklah, aku harus adaptasi…”
Lalu ia ingat misinya yang lebih penting.
“Tapi Tadz… serius, di sini sinyal tuh kayak pelangi. Ada kalau beruntung.”
Ustadz Fathur mengangguk. “Memang begitu kalau pakai kartu yang tidak ada jaringannya di sini. Insya Allah nanti saya belikan kartu di konter dekat pondok. Kebetulan saya mau ke sana setelah ini.”
Aira langsung berseri-seri. “Ya Allah, terima kasih, Tadz!”
Tapi Pak Hadi memotong. “Biarin aja. Lebih bagus gak main HP dulu. Kamu tuh butuh detox kehidupan.”
“Papa…” Aira mengerang.
Ustadz Fathur menengahi, sopan. “Tidak apa-apa, Pak. HP juga kadang dibutuhkan untuk komunikasi.”
Aira langsung memanfaatkan celah itu. “Oh! Kalau begitu, saya minta nomor HP Ustadz ya… supaya nanti kalau kartunya sudah dibeli saya bisa hubungi…”
Cesss.
Suasana langsung dingin.
Ustadz Fathur memandang Aira dengan ekspresi tenang tapi tegas.
“Mohon maaf, Aira…”
“Hmm?”
“Saya hanya menyimpan nomor telepon laki-laki.”
“Oh…”
“Dan nomor perempuan hanya milik istri saya nanti.”
Glek!
Bersambung