Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Klinik, Kompres, dan Kontak Baru
Hujan musim gugur turun dengan ritme yang stabil, menciptakan tirai air yang dingin di antara lampu-lampu jalan yang remang-remang. Renjiro bersandar pada Marika, lebih berat dari yang ia sadari. Kakinya terasa seperti jeli, dan kepalanya berdenyut-denyut seirama dengan langkah kaki mereka di trotoar yang basah.
Ini adalah situasi paling absurd yang pernah Ren alami.
Dia, Sato Renjiro, sedang dipapah pulang oleh Tsukishima Marika. Si Robot. Si Ketua Kelas Sempurna.
Dan yang lebih parah, dia tidak bisa mengendalikan filter antara otak dan mulutnya.
"Tsukishima-san," gumam Ren, wajahnya terlalu dekat dengan bahu jaket blazer Marika.
"Apa?" balas Marika singkat, suaranya tegang. Dia jelas kesulitan menahan berat badan Ren sambil mencoba mempertahankan postur tubuhnya yang sempurna. "Jangan bersandar terlalu berat! Kamu... kamu merusak postur berjalanku!"
"Maaf," bisik Ren. "Tapi... rambutmu wangi."
Marika berhenti melangkah. Tepat di bawah lampu jalan yang berkedip.
"A... apa katamu?"
"Wangi," ulang Ren, otaknya yang berkabut demam berpikir ini adalah pujian yang logis. "Seperti... apel hijau. Bukan sabun OSIS."
Ren bisa merasakan bahu Marika menegang di bawah cengkeramannya. Dia melirik ke samping. Di bawah cahaya lampu jalan, telinga Marika—yang biasanya tersembunyi di balik rambut lurusnya—berwarna merah padam.
"KAMU BODOH YA?!" bentak Marika, mendorong Ren sedikit menjauh (tapi tidak sampai melepaskannya). "Diam dan jalan! Jangan bicara hal-hal tidak logis!"
"Tapi itu... logis," gumam Ren, terlalu lelah untuk berdebat.
"DIAM!"
Mereka tiba di persimpangan jalan utama. Stasiun kereta ada di sebelah kiri. Tapi Marika berbelok tajam ke kanan, menyeret Ren bersamanya.
"Tunggu," kata Ren, mencoba menanamkan kakinya. "Stasiun... ke sana."
"Kita tidak ke stasiun," kata Marika tegas.
"Tapi... rumahku..."
"Rumahmu bisa menunggu. Kita ke klinik." Dia menunjuk papan nama bercahaya biru redup di seberang jalan: KLINIK MALAM YAMADA.
"Klinik?" Ren panik. "Tidak perlu! Aku cuma... butuh tidur..."
"Tidak logis," potong Marika, menyeretnya menyeberang jalan. "Membiarkan anggota panitia dengan demam tinggi berkeliaran tanpa diagnosa adalah kelalaian manajemen. Jika kamu pingsan dan festival kita berantakan, siapa yang bertanggung jawab?"
Ren terlalu pusing untuk mencerna alasan berbelit-belit itu. Dia hanya pasrah diseret masuk ke pintu geser klinik yang hangat.
Bagian dalam klinik itu kecil, sepi, dan berbau antiseptik yang menenangkan. Hanya ada satu perawat tua yang ramah di meja resepsionis.
"Selamat malam," sapa perawat itu, tersenyum ramah. "Wah, wah, basah kuyup begini. Ada yang bisa dibantu?"
"Temanku," kata Marika, suaranya kembali datar dan efisien. Dia mendudukkan Ren (lebih seperti menjatuhkan) di kursi ruang tunggu. "Dia demam tinggi. Tadi hampir pingsan di sekolah."
Perawat itu menatap Ren, lalu beralih ke Marika yang berdiri kaku dengan seragam basah kuyup. "Astaga. Pacarmu perhatian sekali, ya. Sampai diantar hujan-hujan begini."
Ren, dalam kabut demamnya, hanya tersenyum tipis.
Reaksi Marika jauh lebih eksplosif.
"DI-DIA BUKAN PACARKU!" semburnya, wajahnya langsung memerah padam. "Dia... dia rekan kerja! OSIS! Sebuah... sebuah aset!"
Perawat itu hanya terkekeh. "Ah, begitu ya. 'Aset' yang sangat penting, sepertinya. Baiklah, 'Aset-san', tolong isi formulir ini, ya."
Marika merebut formulir itu dengan kesal. "Dia tidak bisa menulis. Tangannya gemetaran." Dia duduk di sebelah Ren—menjaga jarak aman satu jengkal—dan mulai mengisi formulir. "Nama? Sato Renjiro. Umur? 17..."
Ren memperhatikannya dari samping. Bulu matanya yang panjang, hidungnya yang lurus, dan ekspresi seriusnya saat menulis kanji namanya. Dia terlihat sangat berkonsentrasi, seolah sedang mengerjakan soal ujian terpenting dalam hidupnya.
Saat menunggu giliran, kepala Ren terasa semakin berat. Rasa hangat di dalam klinik membuatnya mengantuk. Matanya perlahan-lahan terpejam. Kepalanya miring... miring... dan bersandar pelan di bahu Marika.
Marika membeku. Seluruh tubuhnya kaku seperti papan.
Dia melirik tajam ke arah Ren, siap untuk membentak. Tapi yang dia lihat adalah wajah Ren yang pucat, napasnya teratur, dan matanya terpejam. Dia terlihat... damai. Dan sangat tidak berdaya.
Marika melirik ke meja resepsionis. Perawat itu sedang sibuk di telepon.
Perlahan, sangat perlahan, Marika mengendurkan bahunya. Dia tidak mendorong Ren. Dia hanya duduk tegak lurus, membiarkan kepala Ren bersandar di bahunya, sementara jantungnya sendiri berdebar kencang seolah baru saja lari maraton.
"Kelelahan akut dan demam biasa," kata dokter setengah jam kemudian. Ren diberi obat penurun panas dan disuruh istirahat total.
Perjalanan dari klinik ke rumah Ren terasa jauh lebih sunyi. Hujan sudah reda menjadi gerimis halus. Marika kini membawa kantong plastik kecil berisi obat-obatan. Dia masih memapah Ren, tapi kali ini lebih pelan.
"Dengar ya, Sato-kun," Marika akhirnya memecah keheningan saat mereka berbelok ke jalanan kompleks perumahan Ren yang sepi. "Ini semua karena kamu tidak efisien. Memaksakan diri sampai sakit itu bodoh. Merepotkan."
"Iya, iya," gumam Ren, obatnya mulai bekerja membuatnya sedikit lebih jernih. "Maaf sudah merepotkan, Tsukishima-san."
Dia berhenti sejenak di depan sebuah rumah kecil yang rapi. "Ini rumahku."
"Oh," kata Marika. Dia melepaskan lengan Ren perlahan, seolah tidak yakin Ren bisa berdiri sendiri. "Ya sudah."
"Tapi..." kata Ren. "Terima kasih."
Kata-kata sederhana itu menghentikan Marika yang baru saja akan berbalik.
"Terima kasih sudah membawaku ke klinik. Dan... membayarnya. Aku akan ganti uangnya besok." (Dia melihat Marika membayar di kasir tadi).
Wajah Marika kembali memerah di bawah cahaya remang-remang lampu jalan. "T-Tidak usah! Itu... itu... masukkan saja ke anggaran OSIS! Biaya... biaya perawatan aset!"
Ren tertawa kecil, yang berubah menjadi batuk. "Alasanmu payah sekali, Tsukishima-san."
"BERISIK!" bentak Marika. "Sudah, cepat masuk! Minum obatmu! Dan jangan lupa kompres!"
"Eh? Kompres?"
"ITU SARAN DOKTER TADI!" sembur Marika, panik. "Apa kamu tidak dengar?! Dasar bodoh! Cepat lakukan!"
Ren tersenyum. "Oke, oke. Akan kulakukan."
Marika mendengus. Dia berbalik badan, siap untuk pergi. Suasana canggung kembali menyelimuti mereka. Misi selesai. Tidak ada alasan lagi untuk bicara.
"T-Tunggu, Tsukishima-san!" panggil Ren, sedikit panik.
Marika berhenti, menoleh lewat bahunya. "Apa lagi?"
"Besok..." Ren menelan ludah. "Besok aku mungkin... tidak masuk sekolah. Aku demam. Tapi... jadwal festival... aku harus melapor padamu kalau ada apa-apa."
Itu alasan yang bagus. Alasan yang logis. Alasan yang akan diterima Marika.
Marika terdiam. Dia menyadari celah dalam sistem komunikasi mereka. "Benar."
Keheningan yang menyiksa. Keduanya tahu apa yang harus dilakukan, tapi tidak ada yang mau meminta.
Akhirnya, Marika menghela napas panjang, terlihat sangat kesal. Tapi rona merah di pipinya menceritakan kisah yang berbeda.
"Merepotkan," gerutunya. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. "Jangan salah paham, Sato-kun. Ini... ini murni untuk koordinasi OSIS. Daripada kamu membalas dengan stiker kucing menangis lagi di grup LINE dan membuat panik yang lain."
Ren buru-buru merogoh sakunya, mencari ponselnya yang hampir mati. "Ah! Iya! Tentu! Logis!"
"Berikan ID-mu," perintah Marika, siap mengetik.
"S-SatoRenjiro77."
Marika mengetiknya dengan kecepatan mengerikan. "Sudah. Ku-add."
Ponsel Ren bergetar di tangannya. Sebuah notifikasi muncul.
[Tsukishima Marika] menambahkan Anda sebagai teman.
Ren menatap layar itu. Jantungnya yang demam berdebar kencang. Dia melihat foto profil Marika. Itu bukan foto dirinya. Itu foto default aplikasi LINE yang membosankan. Tentu saja.
"Foto profilmu..." Suara Marika memecah lamunannya. Ren mendongak. Marika sedang menatap layar ponselnya.
"Foto profilmu... kucing," katanya, nadanya datar.
Ren langsung merasa malu. Itu foto kucing tetangganya yang gemuk sedang tidur telentang. "I-Itu... kucing tetangga."
"Hmph," dengus Marika. "Kekanakan."
Tapi Ren bersumpah, dia melihat ujung bibir Marika sedikit terangkat sebelum dia memasukkan ponselnya kembali ke saku.
"Baiklah," katanya, kembali ke mode ketua kelas. "Kabari aku... setelah kamu minum obat dan mengompres dahimu. Aku butuh konfirmasi lisan... maksudku, tertulis... bahwa kamu sudah mengikuti instruksi dokter."
"Itu saja?"
"Itu saja," tegas Marika. "Ini... laporan status aset. Agar aku bisa tidur. Selamat malam, Sato-kun."
Dia tidak menunggu jawaban. Dia berbalik badan dan berjalan cepat menyusuri jalan yang gelap, langkahnya tegas, seolah melarikan diri dari sesuatu.
Ren berdiri di depan gerbang rumahnya, basah, demam, dan lelah. Tapi dia memegang ponselnya erat-erat. Dia menatap kontak baru di layarnya: Tsukishima Marika.
Dia tersenyum.