Anaya White memaksa seorang pria asing untuk tidur dengannya hanya untuk memenangkan sebuah permainan. Sialnya, malam itu Anaya malah jatuh cinta kepada si pria asing.
Anaya pun mencari keberadaan pria itu hingga akhirnya suatu hari mereka bertemu kembali di sebuah pesta. Namun, siapa sangka, pria itu justru memberikan kejutan kepada Anaya. Kejutan apa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irish_kookie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pengakuan dan Penghianatan
Tubuh Anaya menegang saat merasakan hangat dada Josh yang menempel di tubuhnya. Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar hanya ada detak jantungnya yang berdentum tak karuan di telinga.
“Josh, lepaskan …” bisiknya pelan, tapi suaranya malah terdengar seperti rengekan lembut yang justru membuat pria itu menatapnya lebih lama.
Anaya akhirnya mendorong dada Josh dengan tenaga seadanya. “Kau—kau benar-benar gila! Ayahku menyuruhmu menemaniku, bukan memelukku!” serunya gugup sambil menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang sudah semerah tomat.
Josh malah terkekeh, nada suaranya rendah tapi menyebalkan. “Aku cuma memastikan suhu tubuhmu stabil. Kau kelihatan seperti mau pingsan.”
“Pingsan karena kau!” balas Anaya cepat.
Josh menaikkan alisnya, menahan tawa. “Wah, aku tidak tahu kalau efek keberadaanku sebegitu fatal untukmu."
Anaya memutar bola matanya. “Astaga, dasar pria narsis!”
Dia menepis tangan Josh dan berbalik menuju meja makan, pura-pura sibuk membuka kotak makanan. Tapi hatinya masih berdebar tak karuan.
“Donat? Kau beli donat juga?” gumam Anaya, menatap tumpukan kotak di meja. “Jane juga tadi membawa donat. Bedanya, dia membawa dengan cinta. Kau membawa donat-donat ini atas dasar perintah.”
Josh tersenyum miring, melipat lengan di dada. “Walaupun aku membawanya atas perintah, tapi aku memberikannya kepadamu atas dasar cinta. Manis, kan? Aku rasa, temanmu itu kalah satu level dariku."
Anaya menatapnya tajam dan dengan dada yang kian bergemuruh dan berisik. "Tau apa kau tentang cinta! Kau sudah beristri, tapi kau memelukku dan memohon padaku untuk tetap dekat denganmu! Cih, apanya yang cinta!"
Saat Anaya membalas ucapannya itu, tiba-tiba saja pandangan mata Josh berubah.
Ada pancaran kesedihan dan kosong dalam tatapan matanya. "Bagaimana kalau ternyata aku cinta padamu, Nay? Kita berandai-andai, bagaimana kalau aku masih sendiri dan kondisi kita sama seperti ini, apakah kau akan membiarkan dirimu untuk mencintaiku?"
"Tentu saja!" jawab Anaya tegas. "Tapi, saat ini kenyataannya tidak seindah itu. Kau sudah milik orang lain, begitu juga dengan aku."
Suasana di ruangan itu berubah menjadi hening. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Apakah cinta mereka akan saling berbalas jika mereka sama-sama sendiri? Ataukah justru mereka tidak akan dipertemukan seperti ini?
“Sudahlah! Makan saja makanan dariku! Lagi pula kau tidak bisa menolakku,” balas Josh cepat sambil menarik kursi dan duduk santai seolah itu rumahnya sendiri. “Kau mau kubuatkan teh hangat atau aku panggilkan dokter pribadi yang bisa membuatmu tersenyum?”
“Dokter yang bisa membuatku tersenyum?” Anaya mengernyit, menatapnya penuh curiga. “Mana ada dokter yang seperti itu."
Josh mengangkat bahu. “Ada saja kalau kau mau mencarinya."
Anaya memegangi kepalanya. "Astaga, Josh! Bisa kau hentikan kelakar garingmu itu? Kepalaku bertambah pusing mendengarnya."
Josh tertawa, lalu dalam sepersekian detik, tatapan matanya berubah menjadi tajam. “Kalau begitu, izinkan aku menjadi penyembuhmu."
Jantung Anaya berhenti berdetak sesaat ketika Josh berkata seperti itu. Namun, cepat-cepat dia menguasai dirinya. "Kau tidak boleh seperti ini, Josh! Kalau kau ingin aku sembuh, silakan kau keluar dari sini."
Alih-alih keluar, Josh menyeringai lebar. "Aku diperintahkan untuk menemanimu dan saat ini, statusku adalah siaga satu."
Anaya mendesah berat. “Eerrgghh! Lebih baik aku ditemani oleh malaikat mau daripada ditemani olehmu! Ck!"
Josh tersenyum, menatapnya dengan mata yang lembut tapi nakal. “Kalau aku malaikat maut, kau sudah kucium dari tadi, Nay.”
Anaya tersedak udara sendiri. “JOSH!”
Tawa Josh memenuhi ruang makan. Dan di tengah kekesalan serta jantung yang berdetak kacau, Anaya semakin menyadari perasaannya pada Josh.
Namun, kegalauan masih bergelayut di hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai seorang pria beristri? Apa kata dunia?
Siang itu, rumah Anaya terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma kopi memenuhi ruang tamu, berpadu dengan tawa yang entah sejak kapan mulai terdengar lagi di tempat yang biasanya sunyi itu.
Josh berdiri di dapur, menggulung lengan kemejanya sampai siku, sambil memeriksa mesin kopi yang menurut Anaya, rusak sejak lama.
“Jadi, kalau aku mesin ini berhasil kubetulkan, kau akan membuatkanku kopi, kan?” tanyanya sambil menatap Anaya dengan senyum jahil.
“Ya, kalau kau berhasil. Kalau tidak berhasil, aku akan memesan kopi dari layanan pesan antar saja,” jawab Anaya sambil menyilangkan tangan di dada.
Nada suaranya tegas, tapi bibirnya menahan senyum.
Josh menatapnya lama, lalu menghela napas pura-pura frustasi. “Kau ini gadis yang terlalu dimanja, Nay. Janganlah mudah menyerah seperti itu!"
“Untuk apa ada jasa layanan pesan antar kalau tidak kita pergunakan? Hentikan omong kosongmu dan fokuslah pada mesin tua itu, Josh!" ujar Anaya tanpa ada nada memerintah dalam suaranya.
Josh melemparkan handuk tangan ke arahnya dan Anaya membalas dengan cepat.
Sampai akhirnya, mereka berdua saling menatap, dan dalam sepersekian detik, dunia di antara mereka terasa berhenti.
Mata Josh menelusuri wajah Anaya yang diterpa cahaya matahari dari jendela, dan Anaya, entah mengapa, tidak bisa memalingkan pandangan dari pria beristri itu.
Suara mesin kopi yang akhirnya menyala memecah suasana.
Josh tersenyum lebar, bangga seperti anak kecil yang baru berhasil menyalakan kembang api. “Hehe, kau lihat? Aku ini bukan hanya tampan, tapi juga berguna.”
“Hmm, okelah. Untuk kali ini, aku setuju denganmu hanya supaya kau berhenti berbicara,” ujar Anaya sambil menahan tawa, namun matanya lembut.
Beberapa menit kemudian, mereka duduk di meja makan dengan dua cangkir kopi dan donat kayu manis yang dibawakan Jane untuk Anaya. (Sebelum itu, mereka sempat berdebat tentang donat mana yang harus dibuka lebih dulu).
“Jadi, kau selalu sendiri di rumah sebesar ini?” tanya Josh tiba-tiba, suaranya lebih pelan.
Anaya menatapnya sebentar. “Biasanya iya. Kadang Jane atau Airin datang untuk menginap. Tapi, aku lebih sering menginap di rumah mereka daripada di rumahku sendiri."
Josh tersenyum samar. “Kau seperti gadis yang kesepian."
“Sepi itu bukan masalah,” balas Anaya, matanya menatap ke luar jendela. “Yang sulit itu membiasakan diri untuk tidak menunggu siapa pun pulang.”
Hening sesaat. Josh tak berkata apa-apa, hanya menatapnya lama. Ada sesuatu di mata Anaya yang membuatnya sulit untuk berhenti menatap manik hijau cokelat itu.
“Kalau begitu,” ucap Josh pelan, “aku akan mengusahakan supaya mesin kopimu tetap menyala. Supaya kau tidak terlalu kesepian. Paling tidak, suara mesin kopi bisa menemanimu, kan?"
Anaya menoleh, dan tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahnya. "Thanks, tapi aku tidak suka repot."
Josh terkekeh. “Aku hanya mengajarimu untuk bertahan. Siapa tau kau mau mempertahankan cintamu dan menungguku."
Anaya hendak menjawab, tapi tiba-tiba Josh sudah berdiri, berjalan mendekat, dan meraih cangkir dari tangannya.
Jarak Josh sudah sangat dekat. Dia dapat merasakan dada bidang Josh menekan pundaknya dan dia dapat merasakan hembusan napas Josh serta aroma tubuh pria itu.
“Kopimu hampir habis. Mau kutambahkan?” tanya Josh dengan suara rendah menggoda.
Anaya menelan ludah. “T-tidak perlu. Aku bisa, ....”
“Tenang aja,” potong Josh lembut, jarinya nyaris menyentuh tangannya.
Untuk sesaat, waktu kembali berhenti. Jantung Anaya berdetak tak karuan dan sebelum Josh beranjak dari tempatnya, dia semakin mendekat ke arah bibir Anaya.
Lalu, dia tersenyum dan berbisik, "Kau berdebar-debar, ya? Aku pun demikian, Nay."
Setelah itu, Josh melangkahkan kakinya ke dapur, meninggalkan Anaya yang mendesis pelan dengan wajah sangat merah. "S-sialan!"
Beberapa jam kemudian, matahari mulai condong ke barat.
Mereka menonton film di ruang tamu dan duduk di sofa.
Entah sejak kapan, jarak di antara mereka mulai menguap.Tanpa sadar, Anaya bersandar di lengan kekar Josh dan mengusap-usapnya.
Itu adalah salah satu kebiasaan Anaya jika sudah merasa nyaman dengan seseorang.
“Filmnya membosankan dan membuatku mengantuk,” gumam Josh.
“Karena kau tidak punya perasaan, makanya mengantuk!” balas Anaya, tanpa menoleh.
“Aku punya perasaan, kok. Apalagi perasaan untukmu, banyak sekali," bisik Josh, separuh menggoda.
Anaya melirik ke atas. "Apa maksudmu?”
“Maksudku, kalau kau suka padaku, aku juga menyukaimu, Nay," jawab Josh masih sambil tersenyum.
Anaya mendengus, melempar bantal kecil ke arahnya. “Kau benar-benar pikun atau hanya menggodaku, sih?”
“Hmmm, aku ingat kalau aku punya istri dan aku tidak menggodamu. Aku sungguh-sungguh." Josh kini menatap mata Anaya dengan wajah serius.
Hening menggelantung di ruangan tengah itu. Di luar, matahari sudah sepenuhnya mengucapkan selamat tinggal pada langit sore.
Anaya menelan salivanya. "K-kau tidak boleh terus begini, Josh. Aku tidak bisa berpaling darimu kalau kau seperti ini."
"Siapa yang menyuruhmu untuk berpaling dariku? Kau boleh terus menyukaiku, Nay. Bahkan jika kau mengatakan kalau kau mencintaiku, aku akan menciummu detik ini juga." Josh mengangkat tubuh Anaya ke pangkuannya.
Napas Anaya sudah tidak dapat dikendalikan. Dia mulai merasakan panas yang bukan berasal dari pemanas ruangan.
"Jadilah kekasihku, Nay. Jadilah teman dalam hidupku," bisik Josh.
Perlahan, dia menempelkan bibirnya di bibir Anaya. Tak lama, gadis itu pun tenggelam dalam ciuman Josh yang memabukkan.
Nurani dan logika Anaya saat ini sedang berperang hebat. Namun, dorongan hatinya jauh lebih besar untuk tetap berada dalam ciuman Josh.
Sampai akhirnya, dia membuka matanya karena ponsel Josh terjatuh dan berdering lemah.
"Josh, ponselmu," kata Anaya.
Josh menghentikan ciumannya dan mencari ponselnya. "Di mana ponselku?"
Anaya membantu Josh untuk mengambil ponselnya dan saat itu, matanya terpaku pada tulisan nama besar yang ada di ponsel Josh dan nama itu membuat dunia Anaya runtuh seketika.
"Celline Cintaku."
***