NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Rahasia dalam Satu Ruang

...Chapter 9...

Tiada yang tahu ia berjuang menyatukan tubuh dan jiwanya dengan Inti Lu di dalam dirinya. 

Tiada pula nan paham bahwa semua doa untuk membangkitkan Ranah Kesuraman malah berubah menjadi kutukan yang perlahan-lahan menghancurkan pikiran. 

Bahkan keluarganya sendiri menyembunyikan rahasia itu, menutupi dengan alasan disiplin dan kesempurnaan. 

Maka ketika Theo, pria sinting yang hanya dua kali berbicara dengannya, bisa menyingkap rahasia itu dengan santai, tatapan Erietta sempat kehilangan fokus sepersekian detik. 

Seolah dunia yang dingin ini tiba-tiba tahu bahwa ia, wanita tanpa emosi, masih bisa terkejut.

Namun Erietta Bathee bukanlah gadis yang tunduk pada perasaan. 

Dalam diam, ia mengangguk kecil—gerakan halus nyaris tak kasat mata yang hanya bisa ditafsirkan oleh mereka yang jeli. Ia tidak menolak tawaran Theo, tapi juga tidak sepenuhnya menerima. 

Gerakan itu lebih menyerupai bentuk pengakuan, bahwa ia mengerti siapa yang sedang berdiri di hadapannya. 

Seorang lelaki dengan naluri iblis, kecerdasan nan menakutkan, dan kemampuan membaca jiwa orang lain tanpa menggunakan mantra apa pun. 

Dalam senyum sinis Theo, Erietta melihat sesuatu yang bahkan tidak ia miliki—keberanian untuk melanggar takdir. 

Maka, meski di lubuk hati ia membencinya, Erietta tetap tahu bahwa mungkin hanya pria ini yang bisa menyingkap lapisan gelap dalam dirinya nan terselubung oleh cahaya palsu.

'Aku paham kenapa kau kesulitan, Erietta. 

Dalam game ini, siapa pun yang pernah membaca biodatamu pasti tahu betapa sempurnanya dirimu sebelum semuanya hancur. 

Kau adalah wanita pendukung paling ideal bagi Ilux Rediona—biodata lengkap, riwayat keluarga jelas, kekuatan stabil, bahkan catatan emosionalmu nyaris tanpa cela. 

Tapi justru karena kesempurnaan tersebut, sistem game memilihmu untuk dipecah, dicabik, dijadikan bukti bahwa yang sempurna pun bisa dilenyapkan.

Masih kuingat datanya. 

Arc pertama, episode dua belas—momen di mana penyiksaanmu dimulai. 

Dan tidak berhenti di situ. 

Setiap hari setelahnya, game itu menjadikanmu objek eksperimen Ilux, tokoh yang katanya protagonis tapi lebih mirip binatang buas. 

Mereka bahkan menulisnya secara rinci, setiap penderitaan, setiap kehilangan yang dialami, hingga tubuhmu sendiri dinyatakan “rusak permanen.”

Ssssh!

'Lucu, bukan? Dunia nan katanya menyanjung keindahan justru mengubahmu jadi simbol kehancuran. 

Tapi aku tahu, itu bukan akhir dari segalanya. 

Kupahami lebih banyak dari yang seharusnya seorang pemain tahu. 

Karena aku tidak hanya melihatmu di layar, Erietta. 

Kubaca caramu menatap kekosongan, caramu diam waktu orang lain bicara, caramu berusaha menahan aura gelap yang terus meluap dari dalam tubuhmu. 

Semua itu tertulis dalam celah-celah narasi yang bahkan pengembangnya tidak sadari.’

Tentu Theo memahami hal itu dengan jelas. 

Erietta Bathee bukan sekadar pendukung bagi Ilux Rediona.

Ia adalah sosok yang memiliki biodata paling lengkap di antara para karakter pendukung, nomor satu dalam daftar yang selama ini hanya disusun untuk memetakan kekuatan, potensi, dan jalur cerita. 

Semua detail tentangnya tersimpan rapi, mulai dari kemampuan bertarung, reaksi terhadap berbagai jenis serangan, hingga hubungan interpersonal dengan tokoh lain.

Dalam dunia Flo Viva Mythology, sebelum transisi tragis dari arc kesatu episode kedua belas ke arc kedua episode pertama, nasibnya telah ditentukan. 

Penyiksaan rutin melalui eksperimen Ilux yang membalikkan norma, membentuk dan merusak tubuhnya sampai fungsi tertentu hilang sama sekali. 

Kejam dan menyakitkan, namun semua itu tercatat sebagai bagian dari cerita yang harus dilalui bagi sang pahlawan utama.

Dan Theo, yang menonton dari luar layar, memahami betul konsekuensi itu.

Seringnya Erietta muncul di arc kesatu membuatnya mudah dikenali oleh Theo, bukan hanya sebagai karakter, tetapi sebagai indikator jalannya cerita. 

Baginya, setiap kemunculan gadis itu adalah kesempatan untuk memahami dunia yang tidak hanya dimainkan, tetapi kini hidup dan bernapas di sekitarnya. 

Saat tubuhnya sendiri letih akibat menulis novel panjang, saat pikirannya lelah dan tangannya pegal dari menumpuk kata demi kata, Flo Viva Mythology menjadi semacam pelarian sekaligus laboratorium pengalaman. 

Ia memaknai setiap adegan, setiap pertarungan, dan setiap gerakan Erietta sebagai data hidup

Bukan untuk dikagumi, tetapi untuk dianalisis, dipahami, dan jika memungkinkan, dimanfaatkan untuk meminimalkan risiko saat realitas dan game mulai bercampur.

Yang membuat semua ini kompleks adalah kesadaran Theo bahwa ia bukan pencipta. 

Sekali lagi, dunia ini bukan karyanya. 

Ia hanya pemain, seorang pengamat yang tahu terlalu banyak. 

Semua pengetahuan tentang Erietta, semua strategi dan perhitungan tentang Ilux, hanyalah interpretasi dari apa yang sudah ada. 

Namun dunia nyata yang kini terserap oleh mekanik game ini memaksa Theo untuk bertindak bukan sekadar sebagai pengamat, melainkan sebagai agen kecil yang bisa memengaruhi jalannya nasib.

Ia memahami konsekuensi dari setiap keputusan kecil.

Membantu Erietta sedikit berarti menunda nasib tragisnya, gagal menolong berarti mempercepat kehancuran—dan diam berarti menerima kekacauan yang tak terhindarkan.

‘Aku mengambil tawaran ini dengan pertimbangan. 

Terpaksa atau tidak, ini harus kujalani. 

Kusadari betul risikonya, memahami kompleksitas segala hal yang melibatkan dirimu, Theo Vkytor. 

Tapi bila ini merupakan jalan tunggal untuk memastikan Inti Lu beroperasi di Ranah Kegelapan, maka aku bersedia.’

"Satu permintaan terakhir." 

"Hah?"

"Rahasiaku harus tetap tertutup, Theo. 

Jangan sampai bocor kepada siapapun. 

Kau mengerti dampak yang akan timbul jika ini diketahui orang."

Tsuuuf!

"Jadi, pikirkan baik-baik sebelum berbicara. 

Sekali kau ungkapkan pada orang lain, meski hanya sepenggal kalimat, kan kujamin kau tidak akan diberi kesempatan untuk menyesal."

‘Aku bisa memaklumi sikapmu. 

Kau itu cantik, Erietta. 

Terlalu menawan, melebihi standar Akademi Bintang manapun. 

Kau dan Aldraya, dua wanita yang membuat nafas seluruh akademi tertahan saat kalian lewat. 

Namun, ya—aku paham pesonamu hanyalah topeng. 

Data di game Flo Viva Mythology mencatatnya dengan terang, keluargamu bukanlah keluarga normal. 

Kaya, tetapi bobrok. 

Dingin, dan juga bengis. 

Dan kau ... seorang gadis yang berusaha survive di antara puing-puingnya.’

Fuuuuh!

‘Aku tahu kau diterima di Akademi bukan dengan cara yang benar. 

Kau menipu—tapi itu bukan untuk gaya-gayaan, melainkan demi menyelamatkan diri. 

Andai kau tetap di rumah dengan keluargamu yang tidak waras tersebut, pikiranmu sudah lama runtuh. 

Dan usai mendengar ancamanmu, aku antara ingin tertawa atau salut. 

Sebab mulai sekarang, kau akan memerhatikan gerak-gerikku lebih cermat. 

Kau cemas aku akan membocorkan rahasiamu, padahal seluruh kebenaran sudah kumiliki.’

Lagi pula, Erietta tidak punya banyak pilihan. 

Tawaran yang dilemparkan Theo, meski dibungkus dengan senyum yang tak manusiawi dan aura nan membuat bulu kuduknya meremang, berhasil menimbulkan rasa tidak nyaman yang cukup untuk memaksa gadis itu menerima. 

Tatapannya dingin lagi menusuk, seakan bisa menelan siapa pun yang berani mendekat, menegaskan bahwa ini bukan sekadar kesepakatan biasa. 

Di balik ketenangan wajah, Erietta mengingatkan Theo dengan suara yang nyaris tidak terdengar—tapi penuh tekanan—bahwa rahasia ini tidak boleh bocor ke pihak manapun. 

Kata-katanya lebih dari sekadar peringatan. 

Itu adalah pengikat yang menandai batas wilayahnya sendiri, menegaskan bahwa setiap pelanggaran akan dibalas tanpa kompromi.

Theo jelas menangkap maksudnya. 

Rahasia itu bukan hanya mengenai kemampuan atau kelemahan Erietta, tetapi tentang seluruh hidupnya. 

Meski kecantikannya sering membuatnya dipandang sebagai salah satu primadona yang layak disandingkan dengan Aldraya Kansh Que, kenyataan hidupnya jauh lebih gelap. 

Keluarganya kaya, namun mental Erietta telah dipahat oleh penindasan dan tekanan yang terus-menerus, luka yang mustahil disembuhkan sepenuhnya. 

Setiap langkahnya di dunia nyata—atau setidaknya sebelum dunia ini terserap oleh Flo Viva Mythology—selalu diawasi, dibatasi, dan dikontrol. 

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!