Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kenyataan palsu
Gita Kembali dengan Perlengkapan mereka.
untuknya,suaminya,dan kakak iparnya.
Di ruang tunggu ICU, Darren sudah menunggunya. Wajahnya terlihat lebih segar setelah membersihkan diri, tetapi matanya masih menyimpan kesedihan yang mendalam.
"Kamu sudah kembali. Makasih, Git," kata Darren, suaranya pelan. Ia mengambil tas pakaiannya.
Gita mengangguk pelan.
"Sarapan nya mas,ku singgah kan tadi ke warung sarapan,kamu pasti sudah lapar kan?"
"Benar,,aku sudah sangat lapar,," Darren membenarkan.
Gita menata sarapan tersebut di ruang tunggu.
karena Darren menolak makan di kantin,itu sebabnya dia membawanya naik ke atas.
Sepanjang sarapan Darren tidak bicara.
sibuk mengunyah bubur ayam yang dibeli istrinya.
Gita menatap Darren dengan pandangan yang tajam. Ia memutuskan, tidak ada lagi waktu untuk menunda. Masalah mereka harus dibicarakan, meski di tengah situasi genting ini.
"Mas," panggil Gita pelan, tetapi nadanya tegas. "Saat aku mengambil pakaianmu, aku melihat amplop di lemarimu. Amplop tebal bertuliskan 'Hasil Tes - RSU Medika'."
Wajah Darren yang tadinya tenang langsung menegang. Ia mengalihkan pandangannya, tangannya yang memegang sendok sedikit bergetar.
"Amplop apa yang kamu maksud?" tanya Darren, mencoba bersikap santai, namun terdengar dipaksakan.
"Jangan pura-pura tidak tahu, Mas. Itu hasil tes kesuburan. Siapa yang kamu tes?" Gita menuntut.
Darren menghela napas panjang. Ia meletakkan sendoknya dan menatap Gita dengan mata yang mulai memancarkan amarah yang dingin, amarah yang menjadi pelindungnya selama ini.
"Kenapa? Kamu akhirnya penasaran juga, ya?" Suara Darren terdengar mengejek. Ia mendekat, merendahkan suaranya agar tidak didengar oleh perawat yang lalu lalang.
"Itu hasil tes kita. Dan kamu tahu betul hasilnya. Semuanya sudah jelas, Gita. Kamu yang mandul. Bukan aku," kata Darren, menekan setiap kata. "Itu hanya untuk konfirmasi saja. Bukankah dokter dulu sudah bilang ada kemungkinan masalah di pihakmu? Aku hanya memastikan bahwa semua tuduhan yang kulontarkan selama ini benar adanya."
Gita merasakan dadanya sesak. Ia telah berharap Darren akan jujur setelah semua yang mereka lalui, terutama setelah Darren menunjukkan sisi rapuhnya. Tapi, ternyata ia tetap sama. Tetap teguh pada kebohongannya.
"Kamu membaca hasilnya, Mas?" tanya Gita, suaranya bergetar menahan tangis dan amarah yang meledak di dalam dirinya.
"Tentu saja kubaca. Dan itu mengkonfirmasi semua kecemasanku," jawab Darren, memasang wajah sedih yang palsu. "Kenapa kamu terus mencari-cari masalah, Git? Kita sedang dalam masalah besar. Kakakku sedang sekarat di dalam! Kenapa kamu masih memikirkan hal-hal sepele seperti ini dan kembali memojokkanku?!"
"Aku tidak memojokkanmu, Mas! Kamu yang memojokkanku selama ini!" raung Gita, suaranya sedikit meninggi. Ia segera meredakannya. "Kalau itu hasil tes kita, kenapa kamu tidak pernah mau membicarakannya? Kenapa kamu menyembunyikannya di antara kemejamu?"
Darren mengusap wajahnya, kembali memainkan peran sebagai korban yang lelah. "Aku menyembunyikannya karena aku tidak mau kamu semakin tertekan. Aku tahu kamu rapuh, Git. Aku tidak mau kamu semakin sedih. Aku mencoba melindungimu, tapi kamu malah menganggapku berbohong."
Gita menatap suaminya dengan jijik. Ia yakin Darren berbohong. Instingnya, dan cara Darren menghindari kontak mata saat menjawab pertanyaan tentang hasil tes, sudah cukup menjadi bukti. Ia tahu, kebohongan Darren jauh lebih besar dan lebih buruk daripada yang ia duga.
"Aku lelah, Mas. Aku lelah dengan drama dan kebohonganmu," kata Gita, matanya berkaca-kaca.
Darren menatap tajam istrinya,"kamu menuduh ku berbohong hah? kamu pikir yang ku katakan barusan adalah manipulasi?"
"kamu yakin aku yang tidak subur mas? apa buktinya? buka sekarang juga hasil tes nya mas,aku juga mau baca." Gita hendak meraih amplop tersebut,namun Darren langsung menjauhkan amplop dari jangkauan istrinya.
melihat itu membuat Gita semakin curiga,
"Kalau memang kamu tidak berbohong harusnya kamu tidak perlu takut kuperiksa kan?" desisnya menatap tajam suaminya.
"Bukan sekarang waktunya memeriksa itu Gita,,saat ini aku sedang berduka,kakak ku berbaring lemah diatas brankar,bagaimana mungkin kita membicarakan soal kita disini?"
elak Darren.
"Baiklah mas,Aku tidak akan memaksamu sekarang. mari kita fokus pada Kak Derby. Dan setelah ini semua selesai, mari kita bicarakan hal itu lagi,."
Gita membalikkan badan, berjalan menjauh untuk mencari kursi di sudut yang lebih tersembunyi. Ia tidak ingin lagi berbagi ruang dengan Darren.
Sarapannya dibiarkan nya tanpa dimakan.
pengakuan suaminya yang baru saja ia dengar, pengakuan ambigu adalah pukulan telak yang mengakhiri sisa-sisa harapan dalam dirinya.
Darren hanya bisa melihat punggung Gita. Wajahnya yang pucat kini dipenuhi rasa panik. Ia berhasil mempertahankan kebohongannya, Ia merosot kembali ke kursinya, menenggelamkan wajahnya di telapak tangan, terperangkap antara ketakutan kehilangan kakaknya dan ketakutan ketahuan istrinya.
Gita duduk di sudut ruangan yang dingin, memeluk tas pakaian nya di pangkuannya.
Udara malam di rumah sakit terasa menusuk, tetapi rasa dingin di hatinya jauh lebih membekukan.
Ia menatap kosong ke arah pintu ICU, meskipun pandangannya sebenarnya tertuju pada Darren, yang kini kembali mondar-mandir dengan gelisah di dekat meja perawat.
Ia bisa mendengar isakan pelan Darren yang tertahan. Ia melihat punggung suaminya yang terlihat begitu rapuh, hancur oleh kekhawatiran atas kondisi kakaknya. Dulu, pemandangan ini pasti akan meluluhkan hatinya, membuatnya segera bangkit dan memeluk suaminya.
Namun, tidak lagi.
Setiap tetes air mata yang jatuh dari mata Darren, bagi Gita, kini terasa seperti air mata seorang aktor yang baru saja selesai memainkan peran terberatnya. 'Kamu yang mandul. Bukan aku.' Kalimat itu terus terngiang, berulang-ulang seperti kaset rusak.
Gita menyadari betapa buruknya kebohongan itu. Darren tidak hanya menuduhnya, tetapi juga menggunakan tuduhan palsu itu sebagai senjata, sebagai justifikasi untuk amarah, hinaan, dan bahkan kekerasan fisik tadi malam.
Ia telah menghancurkan kepercayaan diri Gita, membuat Gita merasa tidak berharga selama bertahun-tahun, hanya untuk menutupi rasa takut dan kegagalannya sendiri.
"Ini bukan pernikahan yang bisa diselamatkan," bisik Gita pada dirinya sendiri.
Keputusannya untuk tetap tinggal sampai masalah Derby selesai adalah murni kewajiban kemanusiaan dan rasa hormatnya pada kakak iparnya, bukan untuk Darren. Ia tidak akan membiarkan Darren bersembunyi di balik tragedi Derby untuk menunda konsekuensi dari perbuatannya.
Menjelang subuh, kelelahan akhirnya menjerat Gita. Ia menyandarkan kepala di dinding dan memejamkan mata sejenak, berharap bisa memejamkan pikiran.
Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan pelan di bahunya. Ia terlonjak dan membuka mata. Itu adalah Darren, berdiri di samping kursinya, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang, namun matanya tetap sembap.
"Aku minta maaf sudah membentakmu lagi," ujar Darren, suaranya sangat pelan. Ia tidak menyinggung lagi perihal amplop itu. Ia hanya memberikan Gita sebotol air mineral yang baru dibelinya.
Gita menerima air itu tanpa mengucapkan terima kasih.
"Aku... aku baru saja menghubungi asistenku," kata Darren, mencari-cari kata. "Dia akan datang pagi ini untuk mengurus administrasi dan mengawasi sebentar. Aku ingin membawamu keluar sebentar. Kita cari sarapan, lalu kamu bisa istirahat di hotel dekat sini sebentar. Kamu belum tidur dari kemarin."
Gita menggeleng. "Tidak perlu, Mas. Aku baik-baik saja di sini."
Darren berjongkok di hadapan Gita, memaksanya bertatapan. "Tolong, Git. Aku tahu aku keterlaluan. Aku tahu aku sudah menyakitimu. Tapi aku juga manusia, aku lelah. Kita berdua harus istirahat. Aku tidak bisa menjagamu, dan Kak Derby, kalau aku sendiri ambruk."
Ada nada memohon yang tulus dalam permintaan itu, nada yang tidak bisa dipungkiri Gita adalah hasil dari kepanikan dan kelelahan murni, bukan manipulasi. Gita tahu Darren memang membutuhkan dirinya, tidak hanya untuk dukungan emosional, tetapi juga dukungan logistik.
"Baiklah," jawab Gita, mengalah.
"Tapi sebelumnya temani aku minum kopi," ajak Darren lesu.
Gita mengangguk lagi.
malas rasanya membantah suaminya.
Setelah menghabiskan setengah cangkir kopi, Darren memecah keheningan. "Aku sudah bicara dengan Dokter. Dia bilang, kondisi Kak Derby stabil. Setelah 24 jam observasi di ICU, dia mungkin akan dipindahkan ke kamar rawat biasa."
"Syukurlah," jawab Gita. Itu adalah hal yang melegakan.
"Aku juga sudah meminta asistenku untuk mulai melacak pelaku tabrak lari itu," tambah Darren, rahangnya mengeras.
Gita mengangguk menanggapi.
"Dan satu lagi,saat kak Derby nanti sudah diijinkan pulang ke rumah,rawat jalan dirumah,kita akan pindah kesana,"
"Apa? kita pindah kesana? kenapa?"
Gita terlonjak kaget mendengar nya.
"Kenapa? reaksi mu seperti sangat berlebihan tau nggak?" tatap Darren lurus.
"Kenapa kita harus pindah kesana? kalau soal menemani kak Derby,kan ada beberapa pelayan dirumah?"
"Pelayan dengan kita beda Gita.
kamu yang akan mengurus kak Derby sampai sembuh,"
kata kata suaminya membuat Gita terlonjak kaget,
"Apa? aku yang mengurus? tidak bisa mas! aku sudah diterima bekerja.
harusnya aku bekerja dari hari ini,tapi karena kecelakaan kak Derby membuat ku mengundurkan waktu nya." tegas Gita.
"kamu tidak akan bekerja Gita..!"
bersambung...