"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.9 Batalkan Pernikahan
Maira merasa harinya begitu melelahkan. Bukan hanya fisiknya, tapi lebih lelah lagi hatinya. Ia belum menjalani rumah tangga bersama Arka, tapi rasanya ia sudah punya gambaran bakal seperti apa lelahnya hidup dengan pria itu.
Setiap langkah memasuki gedung R.O.$.E Skin, Maira terus menguatkan hati. Membisikkan kalimat sakral dalam dirinya; 'Sabar'.
Bagimana tidak lelah, Arka meninggalkannya begitu saja di butik tanpa perasaan. Sebelumnya Arka meminta Maira untuk datang sendiri ke butik karena pria itu sedang sibuk dan tidak bisa menjemput. Maira memaklumi hal itu. Sampai di butik, Arka terlambat hampir tiga puluh menit.
Saat Maira memilih kebaya untuk pernikahannya, Arka begitu cuek. Ia bahkan tak mau menatap Maira walau sekejap. Belum selesai Maira memilih kebaya, Arka tiba-tiba pergi tanpa pamit, meninggalkan Maira sendiri di butik.
Hal itu tentu menjadi bahan gunjingan para pegawai butik yang melihat bagaimana tidak punya hatinya seorang Arka pada calon pengantinnya. Namun, mau bagimana lagi, Maira hanya bisa menanggung malu sendiri.
Akhirnya Maira sendiri juga yang memutuskan kebaya mana yang ia pilih untuk hari spesialnya nanti. Tentu setelah ia mengabaikan tatapan-tatapan aneh dari orang yang menyaksikan kepergian Arka.
Tak sampai di situ saja mental Maira diuji. Sampai di kantor pun, ia masih harus menghadapi berbagai tatapan sinis yang mendadak terarah padanya. Entah hanya perasaannya atau memang demikian tatapan orang-orang di kantor padanya.
"Dari mana, Mai?" tanya Meta yang menyusul ke kubikel begitu Maira datang.
"Ada perlu bentar tadi." Maira tentu tak bisa jujur.
"Sama Pak Arka, ya?"
Maira yang tadinya bersandar pada kursi putar, kontan menegakkan badan. Menatap heran pada Meta. Dari mana Meta tahu kalau dirinya pergi bersama Arka. Meski tidak bersama-sama juga. Lebih tepatnya bertemu Arka.
"Bener lo pergi sama Pak Arka?"
Maira bergeming. Ia masih memikirkan jawaban yang tepat untuk temannya ini. Takut salah bicara.
"Sumpah lo, pergi sama anaknya bos?" Meta tak bisa menyembunyikan rasa herannya.
"Ehm ... itu ...."
Melihat kegugupan Maira saat menjawab membuat Meta semakin yakin jika teman sekantornya ini benar-benar ada hubungan dengan anak bosnya.
"Jadi bener kabar itu?"
"Kabar apa?" tanya Maira antusias.
"Kabar kalau lo dijodohin sama Pak Arka?"
Maira terdiam seketika. Ia belum menemukan jawaban tepat, tapi rupanya teman-teman sekantor sudah mengetahui kabar itu. Apa tatapan-tatapan sinis yang tertuju padanya tadi berhubungan dengan hal ini?
"Dari mana kamu tahu berita itu?
Meta terlihat memikirkan asal muasal berita ini. "Gue sih cuma denger-denger aja. Emangnya bener, Mai?"
Maira tak berani mengiyakan, tapi tak mau juga menyangkal. Ia memilih diam.
"Lo diem, berarti bener, kan? Ya ampun, Mai, gue ikut seneng kalau lo akhirnya ketemu jodoh lo." Meta memegang dua tangan Maira sambil berjingkrak bahagia. Berbeda dengan Maira yang terlihat murung usai tahu kabar pernikahannya sudah tersebar di kantor.
"Eh ... tapi, Mai, lo udah tahu belum kalau Pak Arka itu kabarnya belum bisa move on dari almarhum istrinya?"
Maira tahu tapi tak bisa bercerita pada siapa pun. Ia harus menjaga nama calon suaminya juga calon ibu mertuanya.
"Kalau beneran belum bisa move on, kayak apa nanti pernikahan lo?"
Meta bertanya pada Maira yang juga memikirkan hal yang sama, tapi Maira sudah punya sedikit gambaran akan sedingin apa pernikahannya nanti dengan Arka. Sebab itu, ia harus mulai menyiapkan hati untuk tidak banyak berharap.
"Jangan khawatir, Mai. Selalu ada jalan untuk bisa menaklukkan pria. Apa lagi ini saingan lo udah meninggoy, kan. Gampanglah nanti lo bikin doi klepek-klepek. Kalau lo nggak bisa, entar gue ajarin ajian jaran goyang biar Pak Arka langsung move on dari istrinya itu." Meta tertawa sendiri dengan ucapannya.
Ia tidak tahu saja apa yang sedang Maira pikirkan. Bersaing dengan orang yang sudah tiada itu justru lebih berat dari pelakor di dunia nyata. Mungkin kita visa memiliki tubuhnya, tapi belum tentu hatinya.
Membayangkan saja, membuat Maira ingin menyerah sebelum melangkah. Namun, apalah daya jika pilihan itu tak ada dalam hidupnya. Maira hanya boleh maju, tanpa ada jalan lagi untuk mundur.
"Mai, lo dengerin gue, nggak?" Meta yang sejak tadi nyerocos soal ajian jaran goyang dan ajian-ajian lainnya, merasa kesal tak diperhatikan oleh Maira.
"Ita denger, tapi nggak ngerti sama sekali sama apa tang kamu omongin. Udah balik aja sana ke mejamu, aku mau lanjut kerja," usir Maira.
"Ye, dikasih tahu sama suhu nggak mau!"
Maira bahkan mendorong Meta agar pergi.
"Iya-iya, gue pergi!"
****
Arka yang tadi buru-buru pergi dari butik rupanya karena telepon dari Santi—ibunya Raswa.
Setelah malam itu permintaanya tidak dituruti Arka. Kali ini ia meminta suami dari mendiang putrinya itu untuk bertemu kembali.
"Sudah dapat kebaya pengantin untuk calonmu?" tanya Santi begitu Arka duduk.
Tentu saja pertanyaan itu langsung membuat Arka salah tingkah untuk menjawabnya.
"Kamu ini benar-benar sudah menemukan cinta baru ya, sampai-sampai nggak sabar kalau harus nunggu seribu hari meninggalnya Raswa," ucapan Santi benar-benar sinis pada Arka.
Mungkin sebagai ibu mertua Arka dulu, ia kecewa karena Arka terlalu cepat mencari pengganti putrinya. Atau mungkin ia memang tidak rela Arka menjadi milik orang lain. Arka ini memang mantu idamannya. Selain tampan dan baik hati, Arka juga tipe mantu yang perhatian pada mertua. Setiap bulan Santi selalu mendapat jatah jajan tersendiri dari Arka. Bahkan setiap kali Santi butuh sesuatu, Arka selalu bisa mengusahakannya.
"Ma, sebenarnya semua ini ...."
Arka belum selesai bicara, tapi Santi buru-buru memotongnya. "Sudahlah, aku nggak mau dengar alasan apa pun. Aku ngajak kamu ketemu itu karena mau bilang sesuatu sama kamu. Aku mau hak asuh Zara."
Arka tentu saja terperangah dengan permintaan mertuanya.
"Kamu kan mau nikah, nanti kamu sibuk sama istri barumu dan Zara tidak ada yang memperhatikan lagi. Aku nggak mau itu terjadi sama cucuku. Jadi biar aku dan Shela yang rawat Zara. Iya kan, Shel?" Santi melirik pada putri keduanya.
"I-iya, Ma." Shela sendiri kaget mendengar permintaan Mamanya. Sebelumnya ia tak diberitahu akan ketemu Arka. Apa lagi bicara soal hak asuh Zara.
"Nggak bisa, Ma. Zara harus tetap sama aku." Arka mungkin belum bisa sepenuhnya memberi perhatian pada putrinya karena selalu teringat Raswa, tapi ia tahu orang tuanya begitu menyayangi Zara. Terlebih mamanya, sudah pasti mamanya akan menolak keinginan mertuanya ini.
"Apa kamu bisa benar-benar menyayangi Zara setelah kamu menikah lagi dan punya anak lagi dari istri barumu?" Itu yang Santi khawatirkan.
"Bisa, Ma," jawab Arka tegas.
Meski begitu Santi tak mudah percaya. Raut sinis masih terlihat jelas di wajahnya. "Mungkin kamu bisa, tapi apa istri barumu nanti mau menerima Zara? Mau menyayangi Zara seperti anaknya sendiri?"
Arka ragu untuk menjawab. Ia juga tidak tahu soal itu nanti.
"Nah, kamu nggak bisa jawab, kan?"
"Arka, kamu tahu berita kriminal akhir-akhir ini? Banyak kisah tentang ibu tiri yang membunuh anak tiri mereka hanya karena hal sepele. Ibi tiri itu beda dengan ibu kandung, Arka. Cinta mereka juga tidak setulus ibu kandung." Entah apa tujuan Santi mengatakan hal-hal negatif ini. Yang pasti Santi tidak rela Arka menikah lagi. Ia takut istri baru Arka akan membatasi atau bahkan menolak jika Arka memberinya tunjangan setiap bulan seperti yang Arka lakukan selama ini.
"Maira tidak seperti itu, Ma. Dia wanita baik-baik." Meski belum mengenal jauh Maira, tapi Arka yakin wanita itu adalah wanita baik-baik. Terlihat juga sekilas sifat Maira yang lembut, pasti tidak akan tega menyakiti anak kecil. Apa lagi Maira adalah pilihan Mamanya, di mana Mamanya selalu selektif memilih wanita untuk dirinya. Atas dasar itu, Arka berani bilang jika Maira wanita baik-baik.
"Oh, jadi namanya Maira. Sekarang kamu pilih saja Arka, menikah dengan Maira dan melepaskan Zara, atau batalkan pernikahan kamu?"