NovelToon NovelToon
Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Shaa_27

“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”

Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.

Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.

Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.

Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kejadian di mall

Siang itu terik matahari begitu menyengat, tapi suasana di dalam mobil yang dikendarai Andi terasa begitu hangat—bukan karena udara, melainkan karena tawa manja Maya, selingkuhannya, yang duduk di kursi sebelah.

Andi sengaja meminjam mobil tetangganya agar Maya merasa nyaman.

Maya memegang tangan Andi sambil bersandar manja di bahunya.

“Mas, jadi ya? Kita ke mall? Aku udah ngincer dress baru yang lagi diskon tuh.”

Andi tersenyum puas, dada membusung bangga.

“Jadi dong. Kan gajian hari ini. ATM Rani juga udah di tanganku, jadi bebas aja, Sayang. Belanja sesukamu, aku yang tanggung semua.”

Maya langsung bersorak kecil, senang bukan main.

“Wah, mas Andi emang beda. Bener-bener gentleman.”

Andi tertawa congkak.

“Ya iyalah, masa perempuan cantik kayak kamu harus repot mikirin uang? Aku kan suami yang bertanggung jawab…”

Ia menambahkan dengan nada sinis, “…beda sama si Rani yang cuma bisa ngatur-ngatur tapi gak ngerti laki-laki butuh hiburan.”

Mobil berhenti di depan mall besar di pusat kota. Maya langsung melenggang manja dengan tas kecil di tangan, sementara Andi mengikuti dengan langkah penuh percaya diri.

Mereka mampir ke beberapa butik dan toko parfum mahal. Maya dengan semangat mencoba satu demi satu barang, tak peduli harga.

“Mas, yang ini lucu banget!” serunya sambil menunjuk tas kecil bermerek.

Andi tersenyum lebar.

“Ambil aja, Sayang. Semua aku bayarin.”

Namun kesialan datang tiba-tiba. Saat Maya mencoba sepatu di salah satu toko, Andi tanpa sengaja menyenggol rak pajangan kaca yang penuh dengan parfum mahal.

Praak!

Suara kaca pecah membuat semua orang di toko menoleh. Parfum-parfum mewah itu berhamburan, cairannya menyebar, menyisakan aroma tajam di udara.

Seorang pegawai toko segera menghampiri dengan wajah tegang.

“Pak, mohon maaf, tapi Anda harus mengganti barang yang rusak ini.”

Andi tersenyum kaku tapi tetap sok tenang.

“Oh, tentu, saya tanggung. Uangnya banyak kok, nggak usah khawatir.”

Ia menepuk dada, mencoba terlihat berwibawa di depan Maya yang justru panik.

Setelah selesai memilih barang belanjaan Maya dan ditambah kerusakan parfum, kasir mulai menghitung totalnya.

“Jadi totalnya lima juta enam ratus, Pak.”

Andi mengangguk percaya diri, mengeluarkan kartu ATM dari dompet—ATM milik Rani yang kemarin berhasil direbutnya. Ia menyerahkannya ke kasir sambil tersenyum angkuh.

“Langsung aja ya, debit semua.”

Kasir menggesek kartu itu, tapi beberapa detik kemudian layar mesin menunjukkan pesan merah menyala.

“Maaf, Pak. Saldo tidak mencukupi.”

Andi terbelalak.

“Hah? Coba gesek lagi!”

Kasir mencoba dua kali lagi—hasilnya sama.

“Mohon maaf, Pak, saldonya benar-benar kosong.”

Maya mulai berbisik dengan nada cemas.

“Mas… katanya tadi banyak uang? Kok kosong?”

Andi mulai berkeringat dingin.

“Nggak mungkin, itu ATM-nya Rani! Gaji dia baru masuk!”

Kasir menatapnya dengan bingung. Beberapa pengunjung mulai memperhatikan.

Maya yang tadinya manja, kini berwajah masam.

“Mas, jangan bilang kamu cuma ngibul ke aku? Malu banget nih, ditonton orang.”

Andi berusaha tetap tenang tapi suaranya bergetar.

“Nggak! Ini pasti salah sistem! Atau… Rani yang ganti nomor rekening!”

Kasir akhirnya memanggil petugas keamanan karena Andi belum bisa menyelesaikan pembayaran.

Sambil menahan malu, Andi buru-buru mengeluarkan dompet dan menyerahkan uang tunai seadanya, hanya cukup untuk menutup kerusakan barang. Barang belanjaan Maya terpaksa ditinggalkan.

Begitu keluar dari toko, Maya langsung menepis tangan Andi dengan wajah kesal.

“Mas, aku bener-bener malu! Ngajakin belanja tapi ujung-ujungnya nggak bisa bayar. Ngaku banyak uang, ternyata kosong!”

Andi mencoba menjelaskan, tapi Maya sudah pergi dengan wajah murka.

Ia berdiri di depan mall dengan wajah merah padam, matanya menatap kosong ke arah jalanan ramai.

“Sial… Rani! Ini pasti ulahmu!” gumamnya penuh geram, sementara gengsi dan egonya runtuh di hadapan dunia.

---

Siang itu suasana di ruang istirahat pabrik terasa lebih tenang dari biasanya. Mesin-mesin yang berdentum di luar ruangan tak lagi terdengar begitu bising bagi Rani, yang tengah duduk di sudut ruangan dengan wajah tenang dan segelas air mineral di tangannya.

Nadia datang menghampiri sambil membawa ponselnya dan tersenyum lebar.

“Ran… gajimu udah masuk, nih. Aku barusan cek transferannya.”

Rani menatap sahabatnya itu dengan tatapan lega. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya, berbeda dari senyum lelah yang dulu sering ia tampilkan.

“Syukurlah… akhirnya.”

Ia menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari dadanya.

Nadia menyerahkan ponsel itu sebentar agar Rani bisa melihat bukti transfer.

“Tuh, semuanya aman. Gajimu full masuk ke rekening aku. Kamu mau ambil berapa buat sekarang?”

Rani berpikir sejenak, lalu berkata pelan,

“Lima puluh ribu aja, Nad. Biar Andi nggak curiga. Kalau aku pulang dan nggak punya uang sama sekali, dia pasti ngamuk. Tapi kalau aku kasih dia sedikit, dia pikir gajiku memang kecil atau belum cair sepenuhnya.”

Nadia menatapnya prihatin, tapi juga kagum akan kecerdikan sahabatnya itu.

“Kamu bener-bener udah berubah, Ran. Dulu kamu pasti langsung kasih semua gaji ke dia.”

Rani terkekeh kecil, ada getir tapi juga kebanggaan dalam tawanya.

“Iya… dulu aku pikir cinta itu harus nurut, harus sabar, harus selalu ngalah. Sekarang aku sadar, sabar itu bukan berarti membiarkan orang nginjak kita.”

Nadia ikut tersenyum, menepuk bahu Rani.

“Itu baru Rani yang kuat. Uang ini kamu simpan baik-baik ya. Kalau kamu udah kumpul cukup banyak, kamu bisa mulai hidup sendiri.”

Rani mengangguk pelan, matanya menatap jauh ke arah jendela pabrik, tempat sinar matahari masuk menerobos kaca buram.

“Iya, Nad… aku udah mulai rencanain semuanya. Mungkin belum sekarang, tapi nanti… aku pasti bisa keluar dari semua ini.”

Ia membuka dompet kecilnya dan menyelipkan selembar lima puluh ribu di sana. Lalu tersenyum geli sambil berkata lirih,

“Biar aja dia pikir aku masih bodoh dan nurut. Padahal kali ini… aku yang mainin permainannya.”

Nadia terkekeh mendengar itu.

“Wah, aku suka nih sisi barumu, Ran. Kamu makin cantik, makin cerdas, dan makin berani.”

Rani menatap sahabatnya dengan mata berbinar, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, hatinya terasa benar-benar bebas.

---

Sore itu langit mulai meremang, warna oranye keemasan menggantung di balik pepohonan, tapi suasana di rumah kecil itu jauh dari damai. Begitu Rani membuka pintu, ia langsung disambut oleh suara bentakan keras dari ruang tengah.

“Rani! Kamu ke mana aja, hah?!” teriak Andi dengan wajah merah padam, urat di lehernya menonjol. Di tangannya, ATM Rani tampak sudah hampir ringsek karena digenggam terlalu kuat.

Rani menatapnya tanpa gentar, menutup pintu perlahan lalu menaruh tas kerjanya di meja.

“Baru pulang kerja, Mas. Ada apa? Kok marah-marah lagi?”

Andi menghampiri dengan langkah berat.

“Jangan pura-pura bego! ATM kamu kosong! Aku udah cek ke mesin, saldonya nol! Gajimu ke mana, hah?!”

Rani tersenyum miring, senyum yang dulu tak pernah muncul di wajahnya.

“ATM aku kosong? Loh, bukannya kamu yang ambil? Harusnya kamu tahu uangnya masuk ke situ.”

Andi menggeram, matanya liar menatap Rani.

“Jangan main-main, Rani! Aku tahu gajimu udah cair! Aku sampai malu di mall tadi gara-gara saldo kosong, aku nggak bisa beliin barang Maya!”

Begitu nama Maya keluar dari mulutnya, suasana langsung membeku. Andi tersentak, sadar kalau dirinya baru saja keceplosan. Rani menatapnya dengan tajam, sorot matanya berubah dingin.

“Maya?” suaranya datar tapi menusuk.

“Kamu bilang… siapa?”

Andi mencoba memperbaiki ucapannya, tergagap.

“Bukan, maksud aku—temen—temen kerja, cuma—”

Tapi Rani sudah melangkah mendekat dengan tatapan tajam.

“Masih mau ngeles, Andi? Kamu pikir aku nggak tahu? Sekarang aku tanya, siapa yang bohong? Kamu bilang uangku belum masuk, tapi buktinya ada.”

Rani mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layar berisi bukti transfer palsu yang sudah diedit oleh Nadia.

“Nih, lihat! Uang gajiku masuk penuh ke rekening aku sendiri! Jadi kalau ATM itu kosong, artinya kamu yang pakai buat perempuan lain!”

Andi menatap layar itu, wajahnya berubah pucat. Ia tahu bukti itu bisa membuatnya tampak bersalah di mata siapa pun.

“Aku… aku nggak…”

Tapi belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, plak!

Tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya menggema di ruangan sempit itu.

“Dasar lelaki mokondo!” teriak Rani dengan napas terengah. “Udah miskin, banyak ulah! Uang istri dipakai buat selingkuh?! Kamu pikir aku bakal terus diem?!”

Andi mundur selangkah, tapi Rani tak berhenti. Ia menyeret kerah baju Andi, mencakarnya di dada, lalu menjambak rambutnya hingga lelaki itu terhuyung ke belakang.

“Selama ini aku sabar, Andi! Aku kerja siang malam buat kamu dan keluargamu, tapi kamu malah ngebales dengan main perempuan?!”

Andi mencoba menangkis, tapi Rani sudah kehilangan kendali.

“Kamu tuh laki-laki nggak tahu diri! Laki-laki gagal! Mokondo yang cuma bisa nyusahin orang!”

Napas Rani memburu, air matanya mengalir deras di sela amarah.

“Mulai hari ini, jangan pernah sentuh barang-barangku lagi! Dan jangan berani ngatur uang hasil kerja aku! Kamu udah nggak pantas disebut suami!”

Andi terdiam, wajahnya memerah bukan hanya karena tamparan tapi juga karena rasa malu dan takut. Untuk pertama kalinya, ia melihat Rani yang benar-benar berbeda—perempuan yang selama ini ia anggap lemah kini berdiri tegak, menatapnya dengan keberanian yang menusuk.

Rani menatapnya tajam satu kali lagi sebelum berbalik menuju kamarnya.

“Kamu pikir kamu bisa ngontrol aku lagi, Andi? Salah besar.”

Malam itu udara terasa tegang di rumah kecil itu. Lampu ruang tamu berkelip samar, menyoroti sisa keributan sebelumnya. Rani duduk di kursi dengan wajah dingin, rambutnya masih acak-acakan setelah pertengkaran hebat. Sementara dari luar, suara langkah kaki tergesa terdengar—dan tak lama kemudian, Bu Marni muncul dengan wajah penuh amarah.

“Rani! Apa-apaan ini?! Kamu berani-beraninya bikin anakku sampai babak belur begini?!” teriaknya begitu masuk.

Andi berdiri di sudut ruangan, pipinya masih merah, rambutnya berantakan, tak berani menatap langsung ke arah Rani.

Rani mendongak perlahan, pandangannya menusuk tajam.

“Pas banget, Bu. Saya juga pengin ngomong sama Ibu.”

Bu Marni melipat tangan di dada, nada suaranya penuh ejekan.

“Kamu tuh perempuan nggak tahu diri, Rani. Udah dikasih tempat tinggal, dikasih suami, malah ngelawan! Lupa diri! Kalau bukan karena Andi, kamu mungkin masih nguli di kampung!”

Rani tertawa kecil, getir tapi juga penuh ejekan.

“Oh begitu? Jadi selama ini saya yang dikasih makan? Lucu ya, Bu. Seingat saya, saya yang kerja pagi sampai malam buat biayain rumah ini, buat kasih uang bulanan ke Ibu, buat kuliahin adik Andi, bahkan buat nutupin utang keluarga kalian.”

Ia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya tegas dan bergetar karena emosi.

“Kalau dibilang nggak tahu diri, kayaknya yang pantas dibilang begitu justru keluarga kalian.”

“Apa kamu bilang?!” seru Bu Marni dengan wajah memerah.

“Iya, Bu,” Rani membalas lantang.

“Keluarga kalian itu benalu! Numpang hidup dari keringat orang lain, tapi masih bisa nyalahin orang yang bantu. Saya capek jadi sapi perah buat kalian.”

Bu Marni menggebrak meja.

“Kurang ajar kamu, Rani! Dasar perempuan murahan! Kalau bukan karena Andi, kamu nggak bakal bisa seenaknya ngomong kayak gini!”

Tapi Rani bangkit berdiri, matanya menyala.

“Ibu pikir saya takut?! Sekarang saya minta semuanya dikembalikan!”

Bu Marni terperangah.

“Apa maksudmu?!”

Rani mengambil buku kecil dari tasnya, menaruhnya di atas meja, lalu membuka halaman demi halaman.

“Ini, semua catatan uang yang pernah saya kasih ke kalian: untuk biaya kuliah adik Andi, untuk obat Bapak, untuk belanja bulanan, bahkan untuk bayar listrik rumah ini. Totalnya…” ia menatap keduanya dingin, “…dua ratus tujuh puluh juta empat ratus lima puluh ribu rupiah.”

Andi dan Bu Marni membeku.

Rani melipat buku itu pelan.

“Saya minta semuanya dikembalikan. Sekarang.”

“Kamu gila?! Dari mana kami bisa balikin uang segitu?!” bentak Bu Marni panik.

Rani menatapnya dengan senyum tajam.

“Itu urusan kalian. Tapi satu hal yang pasti—kalau saya dan Andi berpisah, yang rugi bukan saya. Saya masih bisa kerja, masih punya penghasilan. Tapi kalian?”

Ia menatap keduanya dari atas ke bawah.

“Kalian cuma bisa hidup dari uang saya. Jadi kalau saya pergi, kalian bakal balik jadi apa? Pengemis?”

Suasana jadi senyap. Hanya terdengar suara kipas angin tua yang berdengung pelan.

Rani menatap Andi tajam, lalu melanjutkan dengan nada lebih keras,

“Dan Ibu tahu? Uang yang seharusnya buat Ibu itu ternyata malah dipakai Andi buat perempuan lain!”

“Apa?!” teriak Bu Marni refleks menatap anaknya.

“Bu, nggak, nggak begitu maksudnya—”

“Diam!” potong Bu Marni dengan mata membelalak.

“Jadi selama ini uang dari Rani kamu kasih ke perempuan lain?! Bukan ke Ibu?!”

Andi terdiam, wajahnya pucat.

Rani menatap mereka berdua dengan puas—untuk pertama kalinya, posisi mereka berbalik total.

“Sekarang kalian tahu rasanya dibohongi dan dipermainkan. Sama kayak yang kalian lakuin ke saya selama ini.”

Bu Marni menatap Andi penuh amarah, sementara Andi tak bisa berkata apa-apa selain menunduk dalam diam.

Rani merapikan tasnya, lalu melangkah menuju kamar sambil berkata tanpa menoleh,

“Mulai malam ini, saya bukan lagi perempuan yang bisa kalian perintah. Kalian udah kalah.”

Pintu kamar menutup pelan, meninggalkan Bu Marni dan Andi terpaku di ruang tamu—terbungkam dalam kekalahan dan rasa malu yang menyesakkan.

---

1
AlikaSyahrani
semoga memdapatkan jodo sang bisa menerima kamu apa adanya
bukan ada apanya🤲🤲🤲
Wanita Aries
Semangat membuka lembaran baru rani
AlikaSyahrani
semangat rani 🦾🦾🦾🦾🦾
AlikaSyahrani
dasar keras kepala kamu ran
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
AlikaSyahrani
sadar rani sadar kamu itu cuma dimanfaatkat oleh kelurga suamimu
AlikaSyahrani
rani rani tinggalkan keluarga toxsis begitu
AlikaSyahrani
rani kamu emong boda
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Sulfia Nuriawati
nodoh keras kepala lg, g bs dengar pendpt y udah jd aja hamba cinta kamprett km Rani bego🐯🐯🐯🐯
Sulfia Nuriawati
jd cwek kok bodoh nya minta ampun, g nyadar cm jd ATM bkn cinta oon🐯🐯🐯
Sulfia Nuriawati
pny kerja ngapain bertahan dg suami yg kyk gt, mn mertua merongrong lg toxic bnget ni kluarga, cm org bodoh yg mw bertahan, cinta nlh bidoh jgn y dek
penulis_pena: jangan salah kak 🥹banyak banget di dunia nyata kayak Rani 🥹apalagi kakakku beh bodohnya ngalah ngalahin Rani udah dibilang juga masih ngeyel😭dan terbitlah kisah Rani dari kisah nyata kakakku😭
total 1 replies
Ma Em
Rani saja sdh tau kelakuan Andi dan bu Marni msh saja mau pulang kerumah Andi segitu cinta kah Rani pada Andi walau sdh dijual dan hampir dilecehkan bahkan sampai celaka msh saja mau pulang ke rumah Andi , Rani cuma omong doang yg besar tapi tetap saja msh mengharapkan pada Andi si laki mokondo .
Wanita Aries
Haha iya maya km menang tp siap2 aj menderita tinggal sama benalu
Ma Em
Apa hukuman yg akan diterima Surya, Andi dan Bu Marni jgn sampai bebas dari hukuman mereka bertiga apalagi keluarga benalu dan lelaki mokondo berikan dia hukuman yg berat yg akan Andi dan Bu Marni menyesal seumur hidupnya begitu juga dgn si Melati .
Wanita Aries
Rasakan nohh suryo
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
Wanita Aries
Siap2 tdr di hotel prodeo si suryo marni sama andi
Wanita Aries
Mampuslah itu mereka masuk penjara
penulis_pena: 😭iya ih suka kesel bngt sama keluarga Bu marni
total 1 replies
Wanita Aries
Cerita bagus dan gak membosankan, bikin greget
Wanita Aries
Wah wahh menang lgi si marni tp blm tau jg itu bner hamil ank juragan atau bkn
Wanita Aries
Rasakan noh marni
Ma Em
Biar si Andi dan Bu Marni dapat hukuman yg berat bila perlu hukum seumur hidup , juga pak Surya didakwa dgn pelecehan dan dihukum seberat beratnya biar si Andi dan Bu Marni merasakan hidupnya seperti
di neraka .
penulis_pena: 😭orang licik pasti ada aja akalnya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!