Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 20.
Ketika kabar itu sampai ke telinga Adrian di kantor, ia hanya bisa terdiam di depan meja kerjanya. Ia menutup laptop, menatap kosong pada jendela yang memperlihatkan langit mendung Jakarta. Rasanya dada seperti dipukul dari dalam.
“Tidak mungkin…” gumamnya.
Namun suara sumbang di telinganya tak mau berhenti.
“Adrian, Mama cuma mau kamu hati-hati. Perempuan seperti itu biasanya pintar menutupi masa lalu.”
Kalimat ibunya dari telepon tadi terngiang-ngiang. Adrian mengusap wajahnya. Ia tidak tahu harus marah pada siapa, pada ibunya yang mudah menelan kabar atau pada dirinya sendiri yang tiba-tiba ragu.
Sore hari saat ia pulang, rumah tampak sunyi. Alana sedang menidurkan Alima di kamar. Wajahnya tenang, meski sedikit pucat.
“Mas, udah pulang?”
Suara Alana terdengar lembut dari balik pintu kamar anak itu.
“Iya,” jawab Adrian pendek.
Ia berdiri di ambang pintu, memperhatikan bagaimana Alana menyelimuti Alima, lalu menepuk pelan kepala anak itu sebelum mematikan lampu. Setelah pintu ditutup, Alana berbalik dan tersenyum kecil. “Mau saya siapkan makan malam?”
Adrian tidak menjawab. Pandangannya tajam, tapi penuh kebingungan.
“Ada yang mau Mas bicarakan?” tanya Alana hati-hati.
“Alana…” suara Adrian berat. “Aku dapat kabar… tentang kamu.”
Wajah Alana menegang. “Kabar apa?”
“Katanya, dulu kamu—”
Adrian berhenti, menatap mata perempuan itu seolah berperang dengan kata-katanya sendiri. “Kamu dijual ayah tirimu?”
Keheningan turun begitu cepat, suara hujan di luar seolah ikut menahan napas.
Alana menunduk. “Iya, Mas. Itu benar.”
Adrian terdiam, namun nafasnya terdengar lebih berat. “Kenapa kamu nggak pernah cerita?”
“Karena itu aibku. Karena aku nggak mau kamu memandangku seperti orang lain memandangku waktu itu.” Suara Alana mulai bergetar. “Aku nggak pernah minta hidup dari keluarga yang rusak, Mas. Aku cuma mau hidup tenang. Aku pikir kalau aku kerja keras, dan kalau aku jujur, orang nggak akan lagi mengungkit masa lalu itu.”
Air mata mengalir di pipinya tanpa suara. “Tapi ternyata salah. Sekalipun aku diam, masa laluku tetap mengejarku. Tapi aku bersumpah, aku tak pernah kehilangan kesucianku. Waktu aku dijual... aku memberanikan diri meminjam uang pada temanku agar aku bisa bebas. Karena itu lah, aku bekerja keras mencari uang, karena selain untuk berobat ibu... aku juga harus membayar hutang pada temanku."
Adrian membuka matanya lagi, langkahnya perlahan mendekat. “Siapa yang kasih tahu orang lain tentang masa lalu kamu?”
Alana menggeleng lemah. “Aku nggak tahu. Tapi tadi sore ada Mira datang… mungkin dari dia.”
Adrian mengangguk, rahangnya mengeras.
Alana buru-buru menyeka air matanya. “Mas, kalau Mas malu punya istri seperti saya, saya bisa pergi. Saya nggak akan bikin malu keluarga Mas.”
Adrian menatapnya tajam, lalu menggeleng. “Jangan ngomong bodoh, Alana. Jujur aku tadi sempat ragu padamu, itu hal wajar. Tapi... aku cuma marah, karena kamu harus mengalami semua itu.”
Adrian mendekat, lalu menggenggam tangan Alana. “Masa lalu kamu bukan kesalahanmu, Lana. Dan siapa pun yang nyebarin gosip itu… akan aku hadapi.”
Alana menatap suaminya lama, lalu tersenyum samar. “Terima kasih, Mas.”
Keesokan harinya, Adrian mendatangi rumah besar keluarganya. Ia berjalan langsung ke ruang tamu tempat Karina sedang duduk, sibuk dengan ponselnya.
“Senang kamu datang, Mas Adrian,” sapa Karina dengan senyum manis yang dibuat-buat. “Aku cuma mau—”
“Jangan berpura-pura.” Suara Adrian rendah, tapi dingin.
Karina menegakkan tubuh. “Aku nggak ngerti maksudmu.”
Adrian meletakkan amplop di meja. “Aku tahu kamu yang suruh Mira datang ke rumah, dan aku tahu kamu yang nyebarin gosip soal Alana.”
Wajah Karina memucat. “Mas, aku cuma... aku cuma kasihan sama kamu. Aku pikir kamu belum tahu siapa dia sebenarnya—”
“Diam!”
Suara Adrian meninggi, membuat Karina terkejut. “Aku memang baru tahu masa lalunya! Tapi setidaknya... dia bicara jujur dan nggak pernah pakai kebohongan untuk menjatuhkan orang lain!”
Tatapan Adrian tajam menusuk. “Kamu datang ke rumahku pura-pura minta maaf, tapi ternyata kamu masih main kotor. Mulai sekarang... jauhi keluargaku, jauhi anakku, dan jangan pernah datang lagi! Ohya, kamu tidak perlu lagi bekerja di cabang perusahaan milikku! Kamu dipecat!”
Karina tercekat, wajahnya memerah karena malu dan marah sekaligus. “Kamu berubah, Mas Adrian. Kamu pikir dia bisa gantiin kak Aruna? Aku lebih pantas!”
Adrian menatap wanita itu lama. “Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan Aruna. Tapi aku juga nggak akan membiarkan siapa pun menodai apa yang Aruna percayai... termasuk tentang Alana.”
Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Karina dengan mata berair dan bibir yang menggigit amarahnya.
Di luar, angin kecil berhembus. Adrian menatap langit yang mendung, lalu menghembuskan nafas panjang.