Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Mafianya?
“Terus menurut kalian, siapa mafianya?” Olive menyedekapkan tangan didepan dada, menatap teman-temanya dengan tajam.
“Kalau dilihat dari kematian Rizal, bisa jadi geng nya Hagian” timpal Lisa.
“Bener juga, gengnya Hagian kan suka bully dia, apalagi Wira sama Jihan tuh suka banget pinjem uang” kali ini Ditto bersuara. Membuat semua yang ada diruangan menoleh ke arahnya.
“Tapi gue nggak yakin, bisanya kan mafia cuman bunuh warga” Melanie memainkan rambutnya.
“Kita bisa belajar sesuatu dari pemungutan suara kemarin” Sinta mengangguk pelan. Terlebih dia yang menyulit teman-temannya untuk memilih Bima kemarin, padahal bukan Bima mafianya. Hanya karena dia sering mengelabuhi temannya saat bermain bukan berarti selamanya Bima patut di curigai kan?
“Kenapa kalian ngelihatin gue?”
“Lo minta semua orang milih dia, lagian gue milih dia juga karena lo” sahut Melanie.
Semua mengangguk setuju saat belum mengalihkan pandangan sedikitpun dari Sinta.
“Terus lo pikir gue mafianya? Yang bener aja!” Runtuknya tidak setuju.
"Sin, kenapa lo bisa bilang Bima mafianya?” Kali ini Yuna bersuara, saat seisi ruangan sudah lebih dulu menyumbang suara untuk pembahasan yang padat malam ini.
“Gue bukan mafia! Kalian pikir gue sengaja bunuh Bima?!”
“Gue cuman tanya kenapa lo yakin Bima mafianya, bukan lo mafianya atau bukan? Lagian lo yang mimpin babak itu dan bikin Bima mati”
“Yuna benar” semua yang ada di ruangan mulai menyudutkan Sinta. Tepat saat perkataan Yuna terdengar masuk akal di situasi genting seperti sekarang.
“Yun, terus kenapa lo ngelakuin itu? Gue liat lo sengaja dorong Sadam ke jurang pas di gunung tadi! Untung ada Khalil yang nolongin dia” seru Sinta membicarakan fakta, walau juga bagian dari menyelamatkan diri sendiri.
“Lo gila? Lo pikir gue sengaja?! Itu nggak bener, lagian Sadam terkilir dan gue nggak sengaja dorong karena gue ngga mau mati disana!”
“Gue nggak ada tuh lihat Sadam kepleset atau apalah itu, atau perlu gue tanya Khalil kronologinya kayak apa?!”
“Lo nih kenapa sih?!” Sentak Yuna.
“Udahlah jangan bertengkar” sela Endru. Mendengar pria dan wanita bertengar tidak ada bedanya, tetap saja membuat kepalanya pusing. Apalagi jika pertengkaran itu terjadi oleh Sinta dan mulut rombeng Yuna.
—
Malam saat semua orang sudah memasuki kamar mereka. Khalil memilih memeriksa semua gedung, sekiranya untuk mencari cara atau barang bukti untuk membantu mereka keluar dari tempat ini.
Bersama kebisingan yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Khalil mengintai sebuah ruangan yang menyala terang, sebuah kantin yang entah sejak kapan terbuka.
“Pasti Hagian” decaknya.
Pria itu beranjak memastikan. Menatap Hagian dan kedua temannya sedang menguasai kantin bersama tegegangan yang mereka ciptakan. Apalagi kalau bukan meruntuki Farhan. Pria yang menyediakan punggungnya untuk jadi tempat duduk Jihan. Sementara Jihan justru asik makan mie instan.
“Jangan bergerak atau gue pukul kepala lo” decaknya kesal.
“Kembaliin HP gue” rintih suara Farhan membuat Khalil kesal. Bagaimana bisa dia selemah itu? Dia bisa saja berdiri dengan kasar lantas merebut ponselnya yang dimainkan Hagian. Lagain Hagian juga kenapa seenaknya membuka privasi seseorang?
“Gue belum selesai” runtuk Hagian.
“Lo ngapain?”
“Kalau gue bisa milih lewat ponsel orang lain, itu artinya gue bisa kasih suara ke orang yang pengen gue pilih”
Shit, Hagian ternyata secerdik itu.
Jihan beranjak, lantas menarik tubuh Farhan bersama dengan Wira. Membuat pria itu berlutut dihadapan Hagian, tentu dengan paksaan.
“Lepasin gue, Hagian” rintihnya.
Hagian hanya tersenyum, menunjukkan layar ponsel pemilihan dengan foto murid tersisa, “pilih salah satu, gue bakal pilihin buat lo”
Farhan menggeleng, “tidak”
“Kalau begitu lo?” Saat jemari Hagian hendak menyentuh layar diponsel Farhan. Khalil dengan menyelipkan kedua telapak tangan ke saku celana, masuk dengan tenang.
“Yang bener aja, Hagian”
Keempat pria itu menoleh ke sumber suara. Menatap Khalil tanpa ekspresi, Hagian menyandarkan tubuhnya kembali ke punggung kursin
“Sekali-kali ajak gue juga, jangan tiga lawan satu begini, nggak adil” Khalil memukul leher Jihan dan Wira secara bergantian. Mau tidak mau Farhan terlepas dari paksaan itu sebelum berlindung dibelakang Khalil.
“Kembalikan” ucap Khalil tenang, dia hanya tidak ingin membuat keadaan semakin buruk. Jadi selagi bisa dihadapi dengan baik, Khalil akan bersedia tidak tersulut.
“Ini bukan urusan lo”
Tak…
Hagian meletakkan ponsel Farhan dengan kasar di meja, lantas mendorong kursi yang ada disebalahnya dengan kakinya.
Selangkah lebih selangkah, Farhan memundurkan tubuhnya. Tepat saat Hagian hendak mendekati Khalil dan mulai mendorong tubuh pria itu dengan kasar, “nggak usah ikut campur!”
Khalil menghela napas, “aduh berisik sekali sih”
Hagian menggeram, meremat kerah seragam Khalil yang kancingnya terbuka dua dari atas.
“Bajingan”
Brughhh…
Farhan bisa lihat Hagian melempar tubuh Khalil ke sembarang arah. Pada rak penuh snack yang dia yakini sangat keras jika terbentur dengan pacuan yang hebat.
Tanpa banyak bicara, Khalil beranjak. Meraih ponsel Farhan sebelum melempar kursi yang sempat jadi tempat duduk Wira. Namun sudah lebih dulu dihadang dengan tangan kekar Hagian.
“Lo tuh ya, astaga!”
“Gue bunuh lo!” Hagian berseru. Memicu tubuh ketiga pria yang lainnya menjauh.
Pukulan demi pukulan sama-sama mereka layangkan. Tentu dengan kekuatan seimbang, bukan seperti ketika Hagian bersama si lemah Farhan.
“Lo yang ikut campur, jadi lo yang terima akibatnya, Khal”
Brughhh…
“Hei! Jauhin tangan lo?!” Sentak suara Agil membuat tangan Hagian berhenti di udara. Senyum miring Khalil dapatkan dari Hagian yang sudah lama mengukung tubuhnya.
Tanpa banyak bicara, Khalil mendorong tubuh Hagian. Melayangkan tinjuan yang sama ke wajah Hagian, namun kembali dibalas dengan yang setimpal.
“Khal lepaskan dia?!” Seruan Dion bukan justru membuat situasi mereka. Bahkan Hagian masih bisa melempar kursi dan beberapa benda berat yang terraih dengan tangannya.
“Hagian, kenapa lo selalu cari gara-gara?!”
Hagian berdecak kesal, tak peduli dengan Dion yang berusaha melerai perkelahian mereka, “dia yang mulai!”
“Hentikan” Asrya menyela, mendorong tubuh Khalil saat pria itu hendak melempar meja pada Hagian. Sementara Hagian, dengan deru napas yang tidak stabil memghentikan aksinya dengan melempar kursi di tangannya ke sembarang arah.
“Astaga, gadis ini!” Decak Khalil kesal.
“Jangan pernah membuat situasi semakin tegang!” Kali ini Arsya mendorong tubuh Hagian, menatap pris itu dengan tajam.
“Hagian, tolong turunkan ego mu” lirih Arsya.
Khalil mengusap rambutnya kasar. Bahkan di tengah kekacauan yang ada, hanya Arsya yang bisa membuat semuanya netral. Bahkan seorang raja hutan tunduk dengan seekor semut betina.
“Kita sedang takut, semuanya, dan gue yakin lo juga nggak mau mati kan?”
Dion kali ini menyela Hagian dan Arsya, “sekarang kita ke aula, ada yang mau gue sampein”
“Aish, gue masih harus percaya sama lo?!”
“Nggak usah mulai lagi deh, Gi” decak Khalil.
—
Setelah terlibat pertengkaran. Hagian, Jihan, dan Wira justru terduduk delat Khalil. Menunjukkan pada teman yang lain bahwa mereka tidak sedang terlibat pertengkaran panas, seperti yang baru saja terjadi.
“Aish mereka ini” decak Agil sebal.
“Gue kumpulin kalian bukan untuk mutusin siapa yang bakal dipilih. Tapi buat berhenti memilih”
“Berhenti memilih?”
“Lo yakin?”
“Maksudnya?”
Bahkan Arsya mendongak kebingungan dengan keputusan yang pria itu berikan tanpa perundingan.
“Kalau kita berhenti memilih, semua bakal selamat kan?”
“Gimana kalo kita nggak memilih tapi ada yang tiba-tiba memilih secara diam-diam?” Melanie membuat semua orang mengangguk setuju.
“Dia bener, gimana kita bisa saling percaya?” Timpal Olive.
“Ya makannya kita harus saling percaya, kita semua kumpulin HP ke tengah, jadi kita nggak ada yang milih” Dion mulai meyakinkan teman-temannya. Memberikan keputusan tegas seperti selayaknya ketua kelas yang memimpin.
Semua orang yang ada sempat menolak dengan tanpa sahutan ke Dion. Namun Hagian beranjak membuat tatapan bingung dari Khalil dan kedua temannya sendiri. Pria itu meraih tong sampah kosong yang tak jauh darinya.
“Apa yang ketua kelas bilang masuk akan, kenapa kalian nggak mau kerja sama?” Tambah Hagian, “letakkan ponsel kalian disini dan tidak akan ada yang memilih”
Tanpa banyak bicara, Hagian mengitari semua temannya satu ler satu. Memastikan semua orang termasuk Dion pun memasukkan ponselnya ke dalam tong.
“Masukkan kesini, Khalil Gibran” decak Hagian malas.
Lagian untuk mempercayai Dion saja sangat sulit bagaimana dengan keputusannya. Apakah pembuat game ini tidak memikirkan hal ini juga? Namun tanpa banyak bicara dan juga tidak ingin membuat keributan lagi, Khalil meletakkan benda pipih ke dalam tong itu.
“Bajingan itu!” Decaknya bersahut dengan suara bel yang menggema di dalam aula.
Satu Menit Lagi Untuk Memilih.
“Ketua, lo yakin kita nggak papa?”
Dion, tentu dengan raut ragu walau yakin mengangguk. Meyakini semua teman-temannya bahwa mereka akan selamat.
Deg… deg… deg…
“Ketua! Gue takut!”
Khalil memukul kepala Agil pelan, “jangan teriak! Semuanya jadi makin takut”