NovelToon NovelToon
TERSERET JANJI ATHAR

TERSERET JANJI ATHAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Idola sekolah
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Halwa hanya bisa menatap Athar dengan mata berkaca-kaca.

Ia tidak menyangka suaminya akan bereaksi sejauh ini di depan umum.

Malu dan terharu bercampur aduk, Halwa langsung menggelengkan kepalanya dan berbisik,

"Maafkan aku sudah mengganggu."

Ia menarik diri dari Athar dan berlari secepatnya keluar dari lobi, menembus tatapan keheranan para karyawan yang kini ketakutan.

Athar tidak peduli dengan kekacauan yang ditinggalkannya.

Ia memberikan pandangan membunuh pada semua orang di sana, lalu segera menyusul istrinya.

"Hal! Tunggu!" Athar berhasil mengejar Halwa di pintu putar. Ia menggenggam erat lengan Halwa.

"Ada apa? Kenapa kamu lari?"

Halwa masih menggelengkan kepalanya, air matanya menetes.

"Lepaskan, Athar. Aku mau pulang."

"Ayo, kamu masuk," perintah Athar, membukakan pintu mobilnya yang terparkir di depan.

Halwa masuk ke dalam mobil. Athar mengikutinya, dan dengan wajah tegang ia melajukan mobilnya meninggalkan area perusahaan yang kini dipenuhi bisikan.

Di dalam mobil, Athar mengambil napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.

"Mau ke sekolah, atau libur?" tanya Athar, suaranya kini kembali tenang, namun masih dingin.

Halwa memandang seragamnya yang kusut. "Libur saja, Athar. Sekalian... sudah terlambat masuk."

Athar menganggukkan kepalanya. Ia tahu, setelah drama di kantor tadi, Halwa tidak akan mungkin fokus di sekolah. Ia mengarahkan mobil menuju rumah.

Sesampainya di rumah, Athar mengajaknya masuk ke kamar utama.

"Duduklah, kita bicara," ucap Athar, menunjuk sofa di sudut kamar.

Halwa duduk dengan hati-hati, sementara Athar berdiri, memandang Halwa dengan tatapan sulit diartikan.

"Ada apa, Hal? Kenapa kamu harus datang ke kantorku?" tanya Athar, nadanya terdengar lelah.

"Aku tidak melihat keberadaan kamu. Dan Yunus mengatakan kalau kamu memberiku 'kebebasan'," jawab Halwa, menekankan kata terakhir dengan rasa sakit.

Athar menghela napas panjang. Ia duduk di seberang Halwa.

"Bukankah itu yang kamu inginkan? Kebebasan dari aturan dan laranganku?"

Halwa menggelengkan kepalanya dengan cepat. Air matanya kembali menggenang.

"Tidak! Aku tidak mau bebas seperti ini, Athar. Aku tidak mau kebebasan yang membuatku merasa tidak berharga dan dituduh. Aku ingin kamu marah, bukan mendiamkanku dan pergi."

Athar mengernyitkan keningnya, bingung dengan arah pembicaraan ini.

"Hal, jangan membuat suamimu ini bingung."

Halwa menarik napas dalam-dalam, menguatkan dirinya sambil menatap lurus ke mata Athar.

"Aku ingin kamu seperti semalam," ucap Halwa.

"Semalam?" Athar terkejut.

"Halwa, jangan menggoda ku. Aku baru saja menahan diri dengan susah payah."

Halwa menghapus air matanya, sebuah tekad muncul di matanya.

"Aku tidak menggoda. Aku sudah siap, Athar. Aku siap menjadi istrimu seutuhnya. Aku tidak mau ada lagi wanita yang merendahkan aku karena aku hanya 'anak sekolah'. Aku ingin membuktikan aku pantas menjadi istrimu."

Athar mencondongkan tubuhnya, matanya menyala.

"Kamu yakin, Hal?"

Halwa menganggukkan kepalanya, tatapannya tidak goyah.

"Aku yakin."

Athar tidak lagi bertanya. Senyum tipis yang penuh kemenangan, namun juga kelembutan yang jarang terlihat, muncul di bibirnya. Perlahan, ia mendekatkan bibirnya ke bibir Halwa.

Ciuman yang ia berikan kali ini berbeda; tidak kasar seperti semalam, tetapi mendominasi dan menuntut.

Athar memberikan ciuman khasnya, ciuman yang memabukkan dan mengunci Halwa dalam dunianya.

Halwa membalas ciuman itu dengan rasa pasrah dan keinginan untuk membuktikan dirinya.

Tangannya yang gemetar mulai meraih kancing kemeja suaminya, melepaskannya satu per satu.

Athar menarik napas tajam, terkejut namun senang dengan inisiatif Halwa.

Athar membalasnya dengan membuka seragam sekolah Halwa, meninggalkan sisa-sisa kain seragam yang sudah tidak berbentuk.

Mereka berdua saling pandang, membiarkan keheningan dan janji yang baru saja terucap mengisi ruangan.

Kemudian, Athar membaringkan Halwa di sofa.

Dengan gerakan yang lembut namun penuh hasrat, Athar melakukan hubungan intim pertamanya dengan Halwa.

Halwa mencengkeram erat punggung suaminya, merasakan setiap sentuhan dan gerakan Athar yang penuh gairah dan rasa kepemilikan yang kuat.

Suara desahan yang tertahan terdengar jelas di dalam kamar, menjadi saksi bisu bersatunya dua jiwa dalam ikatan pernikahan yang selama ini dipenuhi keraguan.

Hampir satu jam mereka melakukannya, sampai rasa lelah dan kepuasan menyelimuti keduanya.

Athar menjatuhkan tubuhnya di samping Halwa.

Ia merengkuh tubuh istrinya yang berkeringat, memeluknya erat di dada bidangnya.

Halwa menyandarkan kepalanya di bahu Athar, kehangatan tubuh suaminya membuatnya merasa aman sekaligus takut.

"Athar, kalau aku hamil bagaimana?" tanya Halwa, suaranya pelan dan khawatir.

Athar terdiam sejenak. Ada secercah rasa bersalah karena ia baru saja melakukan ini dengan gadis berusia tujuh belas tahun, yang masih berstatus pelajar.

Namun, ia menutupinya dengan senyuman jahil.

"Kalau kamu hamil, berarti kecebongku berhasil," balas Athar sambil mencium puncak kepala Halwa.

"Isshh! Athar, bukan itu! Aku masih sekolah, dan aku pasti akan dikeluarkan dari sekolah!" Halwa mendorong dada Athar dengan protes.

Athar menghela napas panjang, kini kembali serius. Ia membelai rambut Halwa.

"Dengarkan aku, Hal. Tidak ada yang akan mengeluarkanmu dari sekolah. Dan kalaupun itu terjadi, aku akan membangunkan sekolah terbaik hanya untukmu. Tapi aku tidak akan membiarkanmu malu," janji Athar.

"Aku tidak ingin kamu menyembunyikan ini dari siapa pun. Mulai hari ini, semua orang harus tahu kamu adalah Nyonya Athar Emirhan. Sekolah, Afrain, dan siapa pun yang meragukanmu."

Halwa terdiam, menatap wajah suaminya. Pria ini, yang bisa menjadi iblis yang kejam, juga bisa menjadi pelindung yang paling kuat.

"Aku akan mengurus semuanya, Hal. Kamu fokus saja pada kebahagiaanmu. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi Afrain." Athar mengeratkan pelukannya. "Sekarang, istirahatlah. Kamu lelah."

Halwa menutup mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan pertama Athar yang terasa begitu nyata, begitu mendalam.

Ia tahu, setelah malam ini, hidupnya tidak akan pernah sama. Ia resmi menjadi milik Athar seutuhnya.

"Mikir apa lagi, sayang?" tanya Athar, suaranya terdengar lembut dan hangat di telinga Halwa.

Halwa tersenyum tipis saat mendengar panggilan 'sayang' itu, terasa asing namun menyenangkan.

Ia menyandarkan kepalanya lebih dalam di ceruk leher Athar.

"Ternyata, sangat enak ya, barusan," jawab Halwa dengan polos, wajahnya memerah karena malu.

"Sayang, astaga, istriku ini," Athar tertawa kecil, rasa bersalahnya terbang dibawa angin.

Ia gemas dan melingkarkan lengannya untuk menggelitik pinggang istrinya.

"Ayo kita istirahat dulu, nanti kita main lagi."

Halwa menganggukkan kepalanya, memeluk erat tubuh suaminya, dan tak lama kemudian, mereka berdua tertidur karena kelelahan.

Sementara itu, di tempat lain, Afrain kembali ke kelasnya dengan perasaan cemas.

Ponsel Halwa mati, dan ia tidak bisa menghubunginya sejak Halwa lari dari Hotel Scarlet.

"Apa dia marah sama aku? Kenapa dia langsung pergi begitu saja setelah kita menang?" gumam Afrain, memegang piala perak kemenangan dansa mereka.

Ia merasa hampa dan khawatir, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Halwa.

Afrain mencoba menelepon lagi, namun tidak ada jawaban.

Ia memutuskan akan mendatangi rumah Halwa besok.

Sore harinya, Halwa membuka matanya. Jam dinding menunjukkan pukul lima sore.

Ia merasakan tubuhnya terasa lengket, disaat mencoba bangkit dari tempat tidur.

Ia merasakan rasa sakit menusuk di antara kedua kakinya.

Ia berjalan pelan-pelan, menahan ringisan.

"Sayang, mau ke mana?" tanya Athar, suaranya serak khas bangun tidur.

Ia membuka mata dan melihat Halwa yang berjalan tertatih-tatih.

"Mau ke kamar mandi, tapi sakit buat jalan," jawab Halwa dengan wajah memelas.

Athar bangkit dari tempat tidurnya, tanpa mempedulikan tubuh telanjangnya.

Ia berjalan cepat mendekati Halwa, membopong tubuh istrinya dalam pelukannya.

"Dasar nakal," bisik Athar, mencium kening Halwa.

"Kalau sakit, kenapa tidak bangunkan aku?"

"Aku tidak mau mengganggu kamu," balas Halwa sambil melingkarkan tangannya di leher Athar.

Athar tersenyum tipis, menggendong Halwa ke kamar mandi.

"Mulai sekarang, kamu tidak perlu sungkan denganku. Apapun yang kamu butuhkan, bilang padaku."

Setelah kembali dari kamar mandi, Athar menggendong Halwa kembali ke tempat tidur.

"Aku lapar, Athar," rengek Halwa pelan.

"Bisakah kamu telepon Yunus untuk menyiapkan makan malam? Soto ayam dan perkedel kentang."

Athar tersenyum kecil dan langsung mengambil ponselnya dan menelepon Yunus.

"Yunus, siapkan makan malam. Soto ayam dan perkedel kentang, hidangkan untuk dua orang. Kita makan di kamar utama saja."

Athar mematikan telepon. "Kita makan di sini saja, sayang. Aku tidak mau kamu kesakitan lagi karena berjalan."

Halwa menganggukkan kepalanya, wajahnya berseri-seri.

Ia menarik selimut tebal dan menyelimuti tubuhnya hingga leher. Ia bersandar pada bantal, menunggu.

Tak berselang lama, terdengar ketukan pintu. Yunus dan dua orang pelayan lain masuk dengan membawa rak makan dorong yang mewah, berisi hidangan lengkap soto ayam kesukaan Halwa.

Yunus dan pelayan lain menghindari melihat ke arah tempat tidur, namun mereka terkejut melihat Athar hanya mengenakan celana tidur, sementara Halwa memakai selimut.

Athar duduk di tepi tempat tidur, mengambil mangkuk soto. Ia menyodorkannya ke Halwa.

"Sayang, ayo makan dulu," ucap Athar dengan nada lembut, sesuatu yang sangat jarang, bahkan tidak pernah, mereka dengar.

Yunus dan pelayan membelalakkan mata saat mendengar Athar menggunakan panggilan 'Sayang' di depan mereka.

Pemandangan Tuan Athar yang posesif dan dingin, kini menyuapi istrinya dengan panggilan selembut itu, membuat mereka semua tercengang.

"Kenapa kalian seperti itu?" tanya Athar, menyadari ekspresi terkejut di wajah para pelayannya.

Nada Athar terdengar dominan, seolah tidak suka ada yang meragukan kemesraannya.

Yunus segera menunduk dan menggelengkan kepalanya.

"Ti-tidak ada apa-apa, Tuan. Maafkan kami."

Yunus memberi isyarat kepada kedua pelayan lainnya.

Mereka segera membungkuk dan bergegas keluar dari kamar Athar, menutup pintu di belakang mereka dengan hati-hati.

Di luar pintu, Yunus menghela napas panjang.

"Tuan Athar, benar-benar berubah."

Di dalam kamar, Halwa tersipu malu.

"Kamu malu aku panggil sayang di depan mereka?" goda Athar.

"Sedikit," bisik Halwa sambil menerima suapan soto dari Athar.

"Bagus. Mulai sekarang, semua orang harus tahu kamu istriku dan bagaimana aku memperlakukan istriku."

Athar tersenyum puas, mencium kening Halwa, lalu kembali menyuapinya.

1
November
lanjut
My 78
di tunggu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!