Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penarikan Penyelidikan Operasi Hitam
Hujan rintik masih turun, jendela kecil di ruang itu tampak berkaca-kaca. Suasana kantor begitu tegang, wajah Alfian berkerut di berbagai sudut. Suara jam yang berdetak bahkan terasa sangat mengganggu.
"Pak.. ", keheningan terpecah, seseorang dari anggota Polri datang mendekati Alfian, menyerahkan surat perintah dalam sebuah amplop cokelat.
Alfian terburu-buru membukanya, wajahnya yang mengkerut semakin kusut, warnanya berubah merah, dan urat-urat menyembul samar dari pelipisnya.
"Apa-apaan ini!" Dia membanting amplop itu, menutup wajahnya dengan telapak tangan lalu, menatap amplop cokelat yang kini terkapar di atas mejanya. Ruang itu awalnya beraroma kopi panas dan kertas, kini baunya berubah menjadi amarah dan rasa dikhianati.
“Baca,” Alfian melanjutkan tanpa emosi, suaranya serak. Ia menunjuk amplop yang baru saja diterimanya dari seorang staf administrasi yang wajahnya memucat.
IPDA Haris maju, membaca lembaran itu, lalu meletakkannya di atas meja. Surat itu berisikan kop dinas tinggi, stempel basah, dan tanda tangan yang tidak mungkin ditawar.
"Perintah penarikan sementara penyelidikan dan penundaan semua tindakan operasional terhadap operasi hitam." Suara Haris menyendat.
Amara yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, mendengarkan Haris dengan sangat terkejut. Jaketnya sedikit basah dari gerimis di pasar ikan. Tangannya mengepal, kuku menekan kulit telapak.
“Peninjauan prosedural atas laporan intelijen serta perlindungan proses hukum yang sedang berjalan di tingkat penuntutan.” Haris melanjutkan inti lembaran kertas itu.
“Peninjauan?” Alfian menyeringai.
“Siapa yang minta peninjauan? Kapolda? Kejaksaan? Tanda tangannya mana?” Dia menggertakkan giginya, geram.
Haris menunduk, “Tapi pak, ini dari Kapolres. Tertanda langsung oleh beliau. Bahkan ada catatan singkat, ‘Hentikan penyelidikan sementara sampai ada arahan lanjutan.’”
Amara bertanya pasrah,“apa alasan sebenarnya?”
Amara merasa kematian Raras adalah hal yang sia-sia dan itu semua hanya karena selembar kertas.
Alfian menghela napas panjang, lalu menempelkan punggungnya ke kursi. “Alasan resmi selalu bisa dibuat-buat. Kau harus tahu satu hal, kita tidak hidup di ruang yang ideal.”
Di pojok ruangan, Haris menyandarkan tubuhnya ke dinding, membuka map berisi bukti yang baru saja mereka kumpulkan. Foto CCTV klub, daftar nama yang masuk VIP, hasil tes awal terhadap bungkusan kristal, catatan pelacakan rekening.
“Kalau kita hentikan, semua bukti ini bisa jadi tidak berlaku di persidangan. Dan yang lebih buruk...para saksi bisa diminta untuk ‘diam’.” Suara Haris terasa berat.
Amara menarik napas, “kalau itu perintah resmi, kita tidak bisa membangkang. Kita harus patuh secara administratif. Tapi kita tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja. Kita harus cari cara lain! Kita harus pastikan chain of custody tetap kuat. Haris.. kirim duplicate bukti ini ke pihak yang independen, kejaksaan, BNN, atau penyidik internal yang bisa kita percaya.”
Alfian menatapnya, menimbang perkataan konyol Amara. "Baiklah! Kita akan ikuti arahan secara administratif. Buat saja berita acara penundaan penyelidikan, tapi kita tetap akan melakukan penyelidikan ini diam-diam.”
Haris memasang wajah tegang. “Kita butuh tempat yang aman. Ruang barang bukti resmi masih bisa diakses oleh mereka yang punya pengaruh.”
Amara langsung memikirkan ruang lain. “Kirim bukti digital ke penyidik eksternal. Fotokopi dokumen, video CCTV, buat checksum untuk tiap file. Kita harus menjaga integritas digitalnya.”
Alfian bangkit, mengetuk meja, memanggil Haris dan dua anggota senior lainnya untuk mengurus hal ini lebih lanjut.
Di luar, kini hujan turun semakin kencang. Suara petir membelah langit, memantul di dinding beton markas. Raditya masuk tergopoh-gopoh, wajahnya terlihat muram. “Komandan, ada berita lain. Wartawan menanyakan tentang pembebasan Bara. Harun Wijaya tadi bahkan sempat menunggu di lobi.”
Alfian memejamkan mata sejenak. "Titik kelemahan mereka kini ada pada kontrol narasi publik. Bila mereka menang di ranah opini publik, judicial process bisa dipengaruhi. Biarkan saja wartawan itu, biar mereka sedikit mendengar fakta yang ada! ” Alfian sedikit menyimpulkan senyuman.
“Dengar semua..." Alfian mengetuk meja. "Mulai dari sekarang, semua yang terlibat hanya boleh memberi pernyataan melalui meja komunikasi resmi. Tidak ada wawancara impulsif. paham?!”
Amara mengambil ponselnya, mengetik cepat pesan terenkripsi ke satu kontak, dokter Rendra dan dua orang anggota BNN yang menurutnya tidak terkontaminasi. “Siapkan jadwal pertemuan malam ini. Jangan bawa dokumen fisik kecuali salinan yang sudah di-hash.”
Alfian menekuk jemarinya, menggerakkannya berulang kali, memberi kode berkumpul kepada Haris , Raditya dan Amara. “Kita buat tim kecil, off-the-record. Dua orang senior, satu analis intel, dan Amara kamu coba lakukan penyadapan tambahan, cek juga beberapa aset administrasi markas.” Matanya menantang. “ Kalian tahu kan, Ini bukan melawan institusi. Ini untuk menegakkan hukum yang institusi harusnya jaga.”
Amara merasakan denyut adrenalin mengalir di tubuhnya. Di benaknya berkecamuk bayangan Raras yang terkulai. “Siap, Pak.”
Di atas meja kerja, amplop cokelat itu masih tetap tergeletak. Tapi bawahnya tersimpan brankas kecil yang menyimpan lebih banyak amplop cokelat. Amplop itu adalah salinan bukti yang mereka kumpulkan.
Bukti asli yang semula ada di meja interogasi kini dipindahkan satu per satu ke koper berselubung plastik anti-air. Foto CCTV diberi label dan kode, file digital dienkripsi dan diupload ke server aman yang hanya bisa diakses lewat dua kunci.
Di parkiran markas, tampak sebuah sedan hitam terparkir. Amara, Haris dan Raditya ditugaskan memuat kotak bukti ke dalamnya. Mereka menutup pintu van dengan hati-hati. Mencoba menyebarkan bukti agar tidak lenyap.
Amara membuat strategi kecil. “Kalau ada upaya menggugurkan bukti karena prosedur, kita tunjukkan bahwa prosedur dilaksanakan semaksimal mungkin mengingat kondisi lapangan. Kalau ada kekurangan administratif, kita catat dan akui, tetapi kita paksa mereka untuk tidak mengabaikan fakta yang terjadi.”
Raditya dan Haris mengangguk setuju.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Mesin mobil bergemuruh pelan, wiper menyapu sisa rintik hujan yang masih menempel di kaca depan. Lampu jalan memantulkan bayangan samar ke dalam kabin.
Amara duduk di kursi penumpang depan, tangannya sibuk memainkan ponsel. Haris menyetir dengan posisi santai, satu tangan di kemudi, satu lagi memegang secangkir kopi. Raditya di kursi belakang, setengah rebahan dengan jaket dijadikannya bantal.
“Ra, kalau ada operasi lagi, tolong jangan lupa bawa payung ya,” kata Haris sambil melirik sekilas. “Baju kamu dari tadi bau apek, bikin mobil kayak jemuran jalan.”
Amara mendengus. “Daripada kamu, tiap operasi baunya selalu kopi. Mobil ini bisa jadi warkop keliling.”
Raditya terkekeh dari belakang. “Aku setuju sama Amara. Mobil kita udah kayak campuran, bau apek sama kopi. Kalau ada yang naik, bisa bingung ini mau patroli atau nongkrong.”
Haris pura-pura tersinggung. “Hei, kopi itu penting buat jaga fokus. Kamu pikir nyetir tengah malam gampang?”
Amara tersenyum miring, lalu menatap jalan. “Yaudah, kalau gitu besok aku bawa diffuser aroma terapi. Biar mobil kita bau lavender. Sekalian kamu nggak gampang marah-marah, Har.”
Raditya menepuk-nepuk sandaran kursi depan. “Bau lavender di mobil dinas polisi? Wah, bagus juga itu ngurangin stress kita. ”
Mereka lantas tertawa bersama.
Mobil dinas yang mereka tumpangi melaju stabil di jalan provinsi yang sepi. Hujan sudah mereda, hanya sisa kabut tipis yang menempel di kaca depan. Musik radio diputar pelan, sekadar mengisi keheningan.
Tiba-tiba Amara mengernyit. “Har, lihat deh... mobil depan kita,” sambil menunjuk sedan tua berwarna putih di jalur yang sama.
Lampu belakang sedan itu berkedip-kedip tak beraturan. Mobilnya melaju oleng ke kanan dan kiri, nyaris menabrak pembatas jalan.
Raditya langsung menegakkan badan. “Itu bahaya. Kalau sampai ada kendaraan dari arah berlawanan, bisa habis.”
Haris menginjak gas sedikit, mendekat. “Kita paksa dia minggir."
Mereka mencoba terus mengklakson mobil itu, tapi tetap saja mobil itu bergerak tidak beraturan.
“Dia nggak merespon,” ujar Raditya waspada.
Haris menggertakkan gigi. “Oke, kita paksa.” Ia memposisikan mobil mereka sedikit menyerong ke sisi kanan sedan, lalu perlahan mendekat, menyikut bodi mobil itu dari samping. Gesekan terdengar, sedan akhirnya melambat, lalu berhenti dengan rem mendadak di bahu jalan.
Kabut tebal membuat suasana makin mencekam. Lampu jalan hanya remang-remang, sinarnya memantul di aspal basah.
Tiba-tiba sebuah mobil Agya merah berhenti mendadak mendekati mobil korban. "Kakak..kakak.." Dia teriak histeris sambil membuka pintu mobil korban.
Mereka bertiga keluar, menunjukkan identitas polisi kepada adik korban. Adiknya mundur selangkah.
Mereka bertiga dengan sigap mendekati korban.“Pak! Bapak baik-baik saja?!”
Tidak ada jawaban.
Tampak di balik kemudi, seorang pria paruh baya bersandar dengan kepala miring. Matanya terbuka setengah, bibirnya pucat.
Raditya memeriksa pergelangan tangannya. Tidak ada lagi denyut nadi. “Dia sudah... mati,” ucapnya pelan.
Haris menoleh cepat, wajahnya menegang. “Mati?!”
Amara mengeluarkan saputangannya, melapisi pegangan untuk menyibak kursi penumpang depan, melihat ada tas kecil terjatuh. Ia membukanya sedikit, terlihat beberapa botol obat dan beberapa lembar dokumen.
“Kita harus segera lapor markas,” katanya serius. “Kasus ini bisa lebih rumit daripada sekadar kecelakaan.”
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....