Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 : Apa yang dikatakan Wei Jie benar?
Ya Ting membeku. Matanya menatap putranya lekat-lekat, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. “Wei Jie… jangan berbohong pada Ibu hanya supaya Ibu tenang,” ucapnya dengan suara yang bergetar.
Namun Wei Jie menggeleng pelan. “Aku tidak berbohong.”
Kening Ya Ting berkerut, pikirannya penuh tanda tanya. “Bagaimana mungkin? Luka itu hanya bisa reda dengan ramuan Yanshou Gao. Tabib bahkan tidak memberikannya… lalu kenapa rasa sakitmu hilang?”
Wei Jie menggenggam tangan ibunya. Tatapannya lembut, tapi tegas. “Karena kakak Chen tidak menyakitiku.”
Nama itu membuat raut Ya Ting seketika mengeras. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan amarah. “Jangan membelanya. Dia mendapatkan hukuman yang pantas.”
Tetapi Wei Jie kembali menggeleng. “Ibu salah… sangat salah.” Suaranya nyaris seperti bisikan, namun setiap kata terdengar mantap. “Dia tidak menyakitiku. Dia menolongku. Bahkan… dia memelukku ketika aku menangis di bawah pohon menunggu Ibu.”
Ya Ting terdiam, bibirnya sedikit terbuka, tak percaya.
“Aku memang takut padanya di awal,” lanjut Wei Jie. “Tapi pelukannya… hangat. Dia juga yang mengoleskan ini.” Ia menunjuk kelopak matanya, tepat di tempat daun coca menempel. “Dia bilang daun ini bisa meringankan sakitnya, dan aku tidak boleh membilasnya.”
Pikiran Ya Ting berputar. Kata-kata putranya terasa asing, bahkan mustahil. Seorang Lian Hua… wanita itu… memeluk Wei Jie? Mengobatinya?
Ia menggeleng kuat, seolah ingin menghapus gambaran itu dari pikirannya. “Jangan mudah percaya padanya, Wei Jie. Setelah semua yang dia lakukan pada orang-orang di sini…”
Tapi Wei Jie menatap ibunya dengan mata yang jernih dan penuh keyakinan. “Kakak Chen berbeda, Ibu… dia sangat berbeda.”
Ya Ting menggenggam pipi putranya, suaranya tegas namun sarat emosi. “Wei Jie… Lian Hua tidak mungkin berubah. Dia tetap wanita licik yang hanya menginginkan segalanya untuk dirinya sendiri.”
Tangan kecil Wei Jie justru meraih jemarinya, menahannya agar tidak melepaskan. Matanya yang bening menatap penuh keyakinan. “Ibu… aku tidak berbohong, dia tidak menyakitiku. Dia membantuku… bahkan tanpa aku memintanya.”
Ya Ting terdiam. Anak sekecil itu, di usia yang belum mengenal kebohongan… kata-katanya terdengar terlalu tulus untuk dibuat-buat. Namun di benaknya, tetap saja terasa mustahil. Seakan dunia harus runtuh dulu sebelum Lian Hua benar-benar melakukan kebaikan.
Ia mengangguk perlahan, mengusap lembut kepala Wei Jie. Bibirnya mendekat ke telinga sang anak, membisikkan, “Baiklah, ibu percaya padamu.” Entah ucapan itu lahir dari hatinya, atau hanya demi menenangkan sang putra… bahkan dirinya sendiri pun tak yakin.
“Sekarang istirahatlah.” Ya Ting menarik selimut hingga menutupi dada Wei Jie.
Anak itu mengangguk, matanya terpejam setelah meyakinkan ibunya sekali lagi untuk mempercayai kata-katanya. Dalam hitungan napas, Wei Jie sudah tertidur, sesuatu yang tidak pernah terjadi sejak luka itu menghantuinya.
Ya Ting hanya duduk terpaku di kursi, memandang wajah damai putranya. Tangannya terangkat, menutupi wajah yang dipenuhi kegelisahan. Tarikan napasnya panjang dan berat. ‘Apa mungkin yang dia katakan benar?’
“Lian Hua… mengobatinya?”
--//--
Lian Hua terbangun lagi, seolah malam ini memang bersekongkol untuk tidak memberinya tidur yang layak. Matanya terbuka perlahan, napasnya berat. Balutan kain di tangannya telah lepas, memperlihatkan luka yang kembali terbuka, bekas cambukan yang belum sempat pulih kini robek lagi.
“Dunia macam apa ini…?” bisiknya lirih. “Mengapa bisa ada tempat yang begitu kejam?”
Dadanya terasa semakin sesak. Ia tahu, jika terlalu lama terbaring di lantai dingin tanpa alas, tubuhnya akan semakin melemah. Dengan napas panjang, ia mencoba mengangkat tubuhnya sedikit.
Namun baru saja terangkat, luka di punggungnya seperti disayat dari dalam. Jeritan tertahan lolos dari bibirnya, tubuhnya kembali jatuh menghantam lantai. Nafasnya memburu, keringat dingin membasahi kening.
Ia menggeleng kuat-kuat, menolak menyerah. “Aku sudah menyelamatkan banyak orang… kenapa aku tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri?”
Tekadnya kembali menguat. Ia menarik napas panjang, menahannya, lalu dengan sisa tenaga yang terkumpul, ia mengangkat tubuhnya dalam satu gerakan. Rasa perih menyeruak di setiap helai sarafnya, tapi kali ini ia berhasil.
Lian Hua duduk, sedikit membungkuk agar punggungnya tak terlalu menegang. Pandangannya terarah pada dinding tak jauh dari tempatnya terjatuh tadi. Ia menyeret tubuhnya pelan, mengandalkan kekuatan lengannya, hingga akhirnya bisa menyandarkan sisi tubuhnya pada dinding tanpa menyentuh luka di punggung.
Di antara helaan napas yang masih berat, ia berbisik pelan pada dirinya sendiri, “Terima kasih… karena masih mau bekerja sama denganku.”
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂