Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Rora tercekat, seolah ada sesuatu yang menahan napasnya di tenggorokan. Kata-kata Deva barusan terlalu menusuk, bahkan membuat dadanya ikut sesak.
"Lo... sadar nggak sih, apa yang baru aja lo omongin?" suara Rora bergetar, matanya tak berkedip menatap sahabatnya itu.
Deva tersenyum miris, senyum yang sama sekali tidak memantulkan kebahagiaan yang terlihat justru kehampaan.
"Gue sadar banget, Ra. Kadang gue ngerasa kalau keberadaan gue cuma bikin orang lain susah. Dianggap salah terus, dijadikan kambing hitam, dan kalau gue berusaha baik pun tetep aja salah di mata mereka. Jadi buat apa gue ada?"
Suasana di antara mereka mendadak berat. Rora ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Deva terlihat rapuh bukan karena luka di lengannya, tapi karena luka yang lebih dalam, luka yang nggak bisa dilihat dengan mata.
"Deva..." Rora akhirnya bersuara, kali ini lirih, hampir berbisik. "Jangan pernah bilang hal kayak gitu lagi, gue mohon."
Tapi Deva justru menunduk, jemarinya meremas kuat ujung bajunya sendiri. Ia terkekeh dan menjawab, "Apa lo nganggap gue juga beban, Ra?"
Air mata Rora otomatis menggenang. Dia melangkah maju, meraih kedua bahu Deva dengan erat seakan ingin menegaskan sesuatu.
"Denger gue, Dev! Lo bukan beban. Lo bukan orang yang salah. Kalo dunia ini buta buat ngeliat kebaikan lo, biar gue aja yang jadi saksi. Gue nggak bakal biarin lo ilang dengan cara kayak gitu."
"Makasih jawabannya, kayaknya gue emang gila sebentar." Ujar Deva tersenyum tipis dan menepuk lengan Rora.
Rora mengangguk. "Kakak lo emang iblis, sama adik sendiri bisa-bisanya main tangan kaya gitu. Jangan dengerin ucapan mereka, anggap aja lo abis bicara sama kentut."
"Kentut bahkan masih lebih baik dari mereka, Ra."
Keyla tertawa mendengar jawaban itu, ia menggeser tubuhnya dan duduk di sebelah Deva. "Iya benar juga, cuma sampai sekarang gue masih nggak habis pikir. Lo adik kandungnya, tapi kelakuan mereka sama lo mirip saudara tiri."
Ucapan Rora ada benarnya. Deva sendiri tak tahu mengapa kedua kakaknya bisa bersikap begitu kasar padanya. Karena dia belum membaca isi buku novel yang kini dia rasuki.
Di dalam ruangan kesehatan yang sunyi, Rora duduk di samping ranjang tempat Deva sedang berbaring. Ia membiarkan sahabatnya beristirahat, lagi pula kelas baru akan dimulai satu jam lagi. Masih ada cukup waktu untuk menenangkan diri.
Wajah Deva tampak pucat dengan luka yang menghiasi pipinya. Dengan hati-hati, Rora mengamati wajah Deva yang memejamkan mata.
"Deva," Rora memulai, suaranya lembut namun penuh perhatian. "Gue nggak bisa menahan diri. Apa yang terjadi antara lo dan Elliot? Kalian keliatan agak... renggang belakangan ini."
Deva menatap langit-langit, terdiam beberapa detik. Suara desinfektan yang menetes dari botol kecil itu seolah menjadi latar ketegangan di ruangan tersebut.
"Gue... gue juga nggak tahu, Ra," jawab Deva jujur.
Rora mengangguk pelan, lalu melanjutkan mengoleskan salep dengan lembut. "Tapi biasanya kalian selalu bareng. Apa dia ngelakuin sesuatu yang bikin lo nggak nyaman?"
Deva menarik napas panjang, matanya menerawang jauh ke arah ingatan yang sebenarnya bukan miliknya.
"Mungkin karena gue cerewet kali, jadi Elliot jaga jarak sama gue." Ucapnya ringan.
Gerakan tangan Rora berhenti sejenak. Ia menatap Deva penuh empati. "Lo harus bicara sama dia, Dev. Komunikasi itu penting."
Deva hanya mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata sahabatnya. "Iya, gue tahu."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, sampai akhirnya waktu memaksa mereka untuk kembali ke kelas.
Pelajaran yang melelahkan akhirnya usai. Deva merapikan buku-bukunya, lalu melirik pesan dari Brian yang masih tersimpan sejak kemarin.
"Ra, gue cabut duluan. Ada perlu, bye," pamit Deva pada Rora.
"Oke, hati-hati, Dev."
Deva mengangguk dan melambaikan tangan ke arah sahabatnya. Tujuannya jelas taman belakang, sesuai lokasi yang Elliot kirim padanya tadi malam.
Langkahnya cepat, namun pikirannya dipenuhi rasa penasaran bercampur gugup. Sejak merasuki tubuh Deva, ia belum pernah benar-benar bertemu dengan tunangannya itu.
Sesampainya di taman, aroma segar rumput dan bunga langsung menyambut. Di tengahnya ada sebuah bangku kayu menghadap kolam kecil.
Deva melihat Elliot sudah duduk di sana, tampak menunggu. Dari samping, wajahnya terlihat begitu tampan.
"El," panggil Deva sambil mendekat.
Pemuda itu menoleh, tersenyum tipis. "Hai, apa kabar, Dev?"
Deva mengangkat sebelah alis, heran dengan respon canggung Elliot.
'Aneh, masa sama tunangannya sendiri sikapnya kaku begini?' batinnya.
"Baik. Jadi, ada hal penting apa yang mau lo omongin sama gue?" tanya Deva to the point.
Dalam ingatannya, pemuda ini nantinya akan membunuhnya karena menganiaya Sera. Tapi sekarang, ia belum melakukan apa pun pada Sera. Jadi... mustahil Elliot berniat membunuhnya sekarang, kan?
"Nggak ada. Gue cuma mau ketemu sama lo. Udah lama kita nggak ngobrol," sahut Elliot sambil tetap menampilkan senyum tipis.
Deva mengangguk, hening beberapa saat. Hanya angin sore yang berhembus menambah suasana canggung itu.
"Apa itu ulah kakak lo lagi, Dev?" tiba-tiba Elliot bertanya, tatapannya tertuju pada wajah Deva yang bengkak.
Refleks, Deva menyentuh pipinya yang masih kebas. Tamparan Gio tadi bukan main-main ia sempat khawatir giginya akan copot.
"Kayaknya gue nggak perlu jelasin lagi deh," sahut Deva acuh.
Elliot menunduk sedikit. "Maaf, gue nggak bisa jagain lo."
Nada penyesalannya terdengar tulus, tapi anehnya Deva tidak merasa terharu. Justru ada sesuatu yang ganjil dari sikap Elliot.
"Lo nggak perlu minta maaf. Lagi pula ini bukan salah lo," balas Deva seadanya.
Elliot mengangguk, lalu tiba-tiba meraih tangan Deva dan mengajaknya berdiri. "Mau pulang sekarang? Gue anterin."
"Nggak usah, gue bawa motor," tolak Deva halus.
"Tapi lo terluka, Dev. Udah, biar gue anter aja," desaknya.
Deva menggeleng. "Yang luka wajah gue, El. Bukan tangan gue."
Elliot hendak membalas, tapi ponselnya berbunyi. Ia merogoh saku, melihat nama di layar, lalu wajahnya mendadak berubah tegang.
"Ini... Mama," gumamnya nyaris tak terdengar.
Deva menatap curiga. "Apa lo mau angkat?"
Elliot kembali mengangguk pelan, lalu menekan tombol jawab. "Halo, Ma."
Suaranya bergetar. Deva bisa merasakan udara sekitar seolah ikut menegang.
"El, apa kamu sudah bicara dengan Deva?" suara wanita dari seberang terdengar tegas.
Elliot melirik Deva, matanya penuh tanya. "Udah, Ma."
Jantung Deva berdegup kencang. Ia memperhatikan tubuh Elliot yang gelisah, seolah panggilan itu menekan sesuatu yang berat.
Terdengar helaan napas lega dari seberang. "Jaga Deva baik-baik. Sekali lagi Mama dengar kamu mengabaikannya... kamu tahu sendiri akibatnya, Elliot."
Elliot menjawab patuh, lalu menutup telepon. Ia menoleh pada Deva, alisnya terangkat melihat wajah gadis itu yang dipenuhi kebingungan.
"Lo kenapa, Dev?" tanyanya, membuat Deva kaget.
"Eh... gue cuma bingung. Sebenarnya apa yang terjadi antara kita berdua sebelumnya dan lo mau bicara apa sama gue?"
Elliot terdiam sejenak, lalu wajahnya berubah syok. "Jangan bilang lo... amnesia?"
Deva mengangguk kecil. "Ya, gue rasa sebagian memori gue hilang."
Sekilas, Deva melihat senyum samar muncul di sudut bibir Elliot. Senyum yang entah kenapa justru membuat hatinya tidak tenang.
"Maaf... gue nggak tahu. Ngomong-ngomong, malam minggu nanti gue jemput, ya. Mama mau ngajak lo makan malam bareng." katanya, mengalihkan pembicaraan.
Deva terdiam, belum sempat menjawab. Namun sebelum ia sempat buka mulut, suara seseorang dari arah atas pohon manggis membuat keduanya sontak menoleh.