Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 - Memborong Biji Jarak (1)
Mereka hampir tiba di perbatasan desa pertama di pagi buta itu.
Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, dan embun menempel di ujung daun-daun padi muda.
Suraghana yang menunggang di depan mengangkat tangannya.
“Berhenti di sini,” ucapnya pelan namun tegas.
Para prajurit segera menarik tali kekang, dan derap kuda berhenti serentak.
Seorang prajurit mendekat, memberi hormat dengan menundukkan kepala.
“Hormat, Pangeran.”
Suraghana menatap sekeliling, jalan tanah yang membelah ladang tampak sepi, hanya terlihat beberapa gubuk di kejauhan.
“Wilayah ini luas,” ujarnya kemudian, suaranya berat tapi teratur.
“Kita harus berpencar agar lebih cepat selesai dan berpindah ke wilayah lain.”
Ia menatap kedua adiknya bergantian.
“Sebagian prajurit ikut denganku, meninjau balai lurah.
Sebagian lagi ikut Sempakwaja memeriksa perkebunan dan pengairan.
Dan sisanya ikut Wirabuana, temui para saudagar dan bangsawan di sisi timur.”
Sempakwaja langsung berseru, “Baik, Kakang! Aku akan memastikan ladang-ladang di sini makmur.”
Wirabuana tersenyum tipis, lalu menunduk hormat.
“Aku mengerti. Aku akan memastikan kabar rakyat tidak tersaring oleh kata-kata manis para saudagar.”
Suraghana mengangguk puas.
“Bagus. Kita berkumpul lagi di di sini ketika matahari seujung tombak."
Namun baru beberapa langkah, Suraghana tiba-tiba menarik tali kekangnya.
“Berhenti!” serunya tajam.
Sempakwaja menoleh. “Ada apa, Kakang?”
Suraghana turun dari kudanya, matanya menyipit ke arah jalan di depan.
Tanah di sana tampak lembek, penuh bekas tapak kuda, tapi bukan dari arah mereka datang.
“Jejak ini baru,” gumam Sempakwaja. Ia berjongkok, menyentuh tanah lembab itu. “Masih basah... mungkin belum satu jam.”
Wirabuana mendekat, wajahnya menegang. “Prajurit lain?”
Suraghana menggeleng pelan. “Tidak. Lihat, bentuk tapaknya lebih dalam, beratnya tidak seimbang. Kuda yang mungkin membawa satu orang dengan beban berat.”
Sempakwaja mengamati sekeliling.
Suraghana berdiri tegak.
“Wira, kita harus tahu siapa yang lewat sini…dan apa yang mereka lakukan. "
“Baik, Kakang...” Wirabuana menunduk hormat, lalu naik kembali ke kudanya.
Suraghana memberi anggukan singkat sebagai tanda.
Tanpa banyak bicara lagi, ketiganya segera berpencar, memacu kuda ke arah masing-masing.
Suraghana ke arah balai lurah,
Sempakwaja ke arah perkebunan di utara,
dan Wirabuana menuruni jalan timur menuju pemukiman para saudagar.
...Kebun Jarak di Antara Palawija...
Sempakwaja bersama tiga prajuritnya menelusuri jalan kecil di tepi sungai.
Di seberang, tampak seorang petani tua tengah mencangkul di antara barisan tanaman palawija.
Begitu melihat rombongan berkuda itu, lelaki tua itu terperanjat.
Cangkul di tangannya terlepas, jatuh ke tanah berdebu. Ia segera berlutut, lalu bersujud dalam-dalam.
“Di akhir hayat hamba... masih diberi kesempatan bertemu pemimpin Galuh,” suaranya bergetar, nyaris tertelan oleh desir angin.
Sempakwaja segera turun dari kudanya dan melangkah mendekat. Ia menunduk, lalu menepuk lembut bahu si petani.
“Bangunlah, Ki. Aku juga rakyat Galuh, sama seperti dirimu.”
Petani tua itu menatapnya dengan mata basah.
“Pangeran terlalu rendah hati... Terima kasih, Pangeran. Penduduk di sini bersyukur. Berkat Ayahanda Pangeran, Raja Wretikandayun, kami hidup lebih tertata. Hasil panen kami dibeli dengan harga layak.”
Sempakwaja menarik napas lega dan tersenyum kecil.
“Benarkah? Syukurlah jika begitu.”
Namun pandangannya segera beralih ke hamparan ladang di belakang si petani.
Daun-daun hijau palawija tampak subur, tapi di antara barisannya, tumbuh banyak pohon jarak yang menjulang, bahkan tampak lebih banyak daripada kunjungan terakhirnya ke wilayah ini.
Alis Sempakwaja berkerut.
“Aku tahu, hanya tiga wilayah Galuh yang menjadI pemasok minyak jarak untuk lentera-lentera di seluruh negeri. Tapi... baru kali ini aku melihat jumlah jarak sebanyak ini di sini.”
Petani tua itu menunduk, suaranya pelan namun jujur.
“Ampun, Pangeran. Palawija kami memang cukup terkenal... Tapi dengan menanam jarak, kami mendapat penghasilan tambahan.”
Sempakwaja menatapnya tajam, namun nada suaranya tetap tenang.
“Apakah saudagar di sini yang mengambil dan menjualnya?”
“Biasanya begitu, Pangeran,” jawab petani itu cepat. “Namun... sudah satu purnama ini, jarak kami dibeli langsung oleh pedagang dari desa lain, sepertinya.”
“Pedagang dari desa lain?” Sempakwaja mengulang dengan nada heran. “Apakah kalian mengenal mereka?”
Petani itu menggeleng.
“Tidak, Pangeran. Mereka hanya datang, membawa gerobak... dan mereka membeli banyak biji jarak.”
Sempakwaja menajamkan pandangan.
“Biji?” ujarnya perlahan. “Bukan minyaknya?”
“Benar, Pangeran... hanya bijinya yang belum kami olah.”
Sempakwaja mengerutkan dahi.
“Kenapa mereka hanya membeli bijinya? Bukankah mengolah biji jarak tidak mudah?”
Petani itu mengangguk setuju. “Bahkan di wilayah ini tak banyak yang mampu mengolahnya. Karena itu, minyak jarak jauh lebih mahal nilainya. Tapi... setahu kami, mereka membeli biji-biji mentah itu karena harganya lebih murah.”
Sempakwaja mengangguk perlahan, matanya tetap mengamati ladang di sekeliling mereka.
“Begitu ya...” gumamnya, seolah berbicara pada diri sendiri.
Lalu ia kembali menatap si petani.
“Jika Aki tak keberatan... bisakah tunjukkan padaku, mana kebun milik para warga, dan mana milik para bangsawan?”
Petani tua itu sumringah lalu mengangguk patuh.
“Tentu, Pangeran. Silakan ikut hamba... akan hamba tunjukkan batasnya.”
Mereka pun berjalan menyusuri pematang.
Petani itu menunjuk satu per satu kebun di sisi kiri dan kanan jalan tanah, sementara Sempakwaja memperhatikan dengan saksama.
Ia mengangguk perlahan, puas melihat semuanya tampak sama suburnya seperti terakhir kali ia berkeliling wilayah ini.
Tanaman-tanaman tumbuh hijau merata, tak ada yang tampak lebih dimanjakan dari yang lain.
Sistem irigasi di wilayah itu tertata baik, air mengalir adil hingga ke lahan paling ujung.
Sempakwaja menarik napas lega.
Ia senang melihat kehidupan para petani berjalan baik.
Saat musim panen tiba, mereka menjual palawija hasil kerja keras sendiri.
Dan ketika kemarau datang, mereka masih dapat menggantungkan harapan pada biji jarak, sumber penghasilan tambahan yang kini semakin banyak tumbuh di ladang-ladang mereka.
Semakin jauh berjalan, semakin banyak petani yang mereka temui.
Orang-orang itu berhenti dari pekerjaannya, menunduk hormat, bahkan ada yang menitikkan air mata haru.
Beberapa dari mereka menawari makanan sederhana, nasi jagung, sayur rebus, dan air kendi yang masih dingin.
Sempakwaja menerima dengan senyum kecil, sementara tiga prajurit di belakangnya menuntun kuda, menjaga jarak dengan penuh hormat.
Selesai menyantap hidangan bersama para petani, Sempakwaja berdiri dan memberi isyarat halus kepada salah satu prajuritnya.
“Turunkan karung itu,” ucapnya pelan.
Prajurit itu menunduk dan menurunkan karung berisi biji-bijian dari pelana kuda.
Sempakwaja tersenyum kecil kepada para petani yang kini menatap dengan penuh harap.
“Kali ini aku hanya membawa sedikit biji-bijian dengan kualitas terbaik,” katanya lembut.
“Bagilah dengan adil, dan tanamlah untuk bibit. Jangan tergesa menjualnya, biarkan tumbuh di tanahmu sendiri.”
Para petani mengangguk bersamaan, wajah mereka berbinar.
Namun Sempakwaja belum beranjak.
Pandangan matanya berkeliling ke ladang luas itu,
"Tanamlah dengan seimbang,” lanjutnya pelan, hampir seperti nasihat seorang ayah.
“Padi dan singkong menghidupi perutmu,
palawija menopang hidupmu, karena hasilnya bisa dijual, disimpan, atau ditukar ketika masa sulit datang.”
Ia lalu menatap jauh ke arah hamparan jarak yang menjulang.
“Tapi jika terlalu banyak jarak...” suaranya merendah, penuh makna,
“lumbungmu akan kosong dan tanahmu pun perlahan kehilangan napasnya.”