Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keraguan
Hari ini aku bangun pagi-pagi sekali, mencuci muka, menggosok gigi, mengganti pakaian tidurku dengan setelan olahraga, lalu bergegas pergi untuk jogging—menyusuri jalanan sekitar rumah yang masih tampak cukup sepi. Semalam aku tiba di rumah saat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Nina benar-benar mengajakku bersenang-senang seharian.
Harus kuakui, pertemuan keduaku dengan Nick yang terasa hangat dan nyaman terus membayangi pikiranku. Bahkan senyuman hangat yang terukir di wajah tampannya masih jelas tergambar di ingatanku. Nina benar. Nick adalah pria yang sangat baik.
Beberapa menit yang lalu aku sudah menyelesaikan aktivitas joggingku. Aku masuk ke dalam kamar dan mendapati ponselku bergetar di atas nakas, di samping tempat tidur. Aku memeriksanya dan melihat notifikasi dari nomor tak dikenal, yang mengirimiku sebuah pesan.
'Hai, Nora! Ini aku, Nick. Aku mendapat nomormu dari Nina. Maaf, karena aku tidak sempat memintanya langsung padamu semalam'
Ternyata pesan itu dari Nick. Aku tersenyum kecil, entah kenapa. Rasanya senang saja bisa kembali memiliki percakapan dengannya.
Aku melarikan jari-jemariku di atas keyboard ponselku untuk membalas pesan dari Nick.
'Hai, Nick! Kurasa tidak masalah.'
Tidak butuh waktu lama hingga ponselku kembali bergetar.
'Senang mendengarnya. Jika kamu tidak sibuk, bolehkah aku meneleponmu sebentar?'
Aku menatap layar ponselku selama beberapa detik, sebelum akhirnya tersenyum dan mengetik balasan.
'Tentu.'
Tidak lama kemudian ponselku berdering. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, sebelum menjawab panggilan dari Nick tersebut. "Halo!"
"Halo, Nora!", seru Nick dengan suaranya yang terdengar tenang dan hangat. "Apa aku mengganggumu?", tanyanya, terdengar ragu-ragu.
"Ehm, tidak juga. Kebetulan aku sedang bersantai saja."
"Ehm, terimakasih untuk kemarin, Nora! Aku sangat menikmati mengobrol denganmu."
"Ya, Nick. Aku juga menikmatinya. Kamu tidak hanya pintar, tapi juga menyenangkan.", kataku, jujur.
"Benarkah? Banyak orang hanya berhenti di kata 'pintar' dan mengira aku membosankan."
"Kamu tidak membosankan, Nick.", sahutku cepat, lalu menyesal karena terdengar terlalu serius. Namun, Nick tidak menanggapinya dengan kecanggungan, ia malah tertawa kecil.
"Senang mendengar penilaianmu tentangku seperti itu.", katanya. "Oh ya, minggu depan perkuliahan sudah dimulai. Kamu sudah yakin tinggal di asrama kampus?"
"Ya, Nick. Sehari sebelum perkuliahan dimulai, aku akan berkemas dan tinggal disana. Aku akan tinggal satu kamar dengan Nina."
"Mau ikut denganku berjalan-jalan keliling kampus? Kita bisa melalukan tur kampus berdua. Aku akan menjadi pemandu pribadimu dan menunjukkan tempat-tempat yang menarik, yang tidak akan kamu temukan dalam brosur kampus."
"Wah, tentu. Aku akan berterimakasih sekali untuk itu."
"Baiklah, kita bisa kesana sebelum perkuliahan dimulai. Bagaimana kalau lusa?"
"Ide bagus. Jam berapa?"
"Bagaimana kalau sekitar jam sembilan atau sepuluh siang?"
"Ehm, mungkin jam sembilan lebih baik."
"Baiklah, aku akan menjemputmu pagi-pagi kalau begitu."
"Tidak perlu, Nick. Tunggu aku di kampus! Aku akan naik bus saja."
"Tidak, Nora. Biar aku jemput! Jangan menolak, karena aku memaksa."
"Tapi, Nick... Perjalanan dari Gainesville ke Tampa cukup jauh. Kamu pasti akan kelelahan."
"Aku akan baik-baik saja, Nora. Tidak perlu mengkhawatirkanku."
"Hmm, baiklah. Trims, Nick.", kataku.
"Dengan senang hati.", balasnya, mengakhiri percakapan kami.
Setelah panggilan itu berakhir, aku terdiam beberapa saat, masih menatap layar ponselku dengan senyum yang tak juga hilang. Lalu, tanpa berpikir panjang, aku langsung menelepon Nina.
"Halo, Nora!", sambut Nina dengan nada ceria, seperti biasa. "Ada berita baik apa kamu meneleponku pagi-pagi begini?", tanyanya. Jelas ia mengerti apa yang membuatku menghubunginya pagi-pagi begini. Apalagi kalau bukan karena nomor teleponku yang sudah ia bagikan pada Nick, tanpa memberitahuku.
"Kamu membagikan normorku pada Nick?", tanyaku.
Nina tertawa puas. "Hmm, sepertinya Nick sudah meneleponmu. Jadi, ada kabar baik apa, Nora?"
"Nick mengajakku tur kampus berdua dengannya, lusa."
"Wah, sepertinya Nick tertarik padamu, Nora. Jadi, bagaimana denganmu? Apa kamu menyukainya?"
Aku terdiam sejenak. Memastikan lagi bagaimana perasaanku pada Nick. "Entahlah, Nina. Dia baik, hangat, dan aku nyaman saat mengobrol dengannya. Tapi..."
"Tapi apa, Nora?"
"Kurasa Nick terlalu sempurna untukku. Bahkan pertemuan kami rasanya terlalu mudah. Aku takut bahwa ini hanya sementara. Aku takut awal yang sempurna ini malah akan..."
"Nora!", seru Nina, memotong perkataanku lembut. "Aku tahu mungkin kamu merasa ini terlalu cepat untukmu. Tapi, aku bisa meyakinkanmu kalau Nick benar-benar pria yang baik. Tidak apa-apa, Nora. Biarkan waktu yang menjawab semua keraguanmu. Kamu hanya perlu jujur pada hatimu."
Aku mengangguk pelan, meski Nina tidak bisa melihatnya. "Trims, Nina. Oh ya, aku punya sesuatu untuk kamu lihat. Tunggu!"
Aku membuka galeri untuk mencari fotoku dan Nick saat di photobooth kemarin. Semalam aku sudah mengambil gambar lembaran kecil foto kami dan menyimpannya di galeri ponselku. Aku langsung mengirimkannya pada Nina, begitu menemukannya.
"Lihatlah pesan yang baru saja ku kirim padamu, Nina!", seruku.
"Wah, foto yang bagus, Nora. Kalian terlihat serasi. Dan lihatlah foto kalian saat saling menatap dan tersenyum itu! Kalian seperti dua orang yang sedang dimabuk cinta."
"Haha, ya, kupikir memang terlihat seperti itu.", balasku, tertawa.
"Nora! Aku sudah berjanji padamu untuk tidak ikut campur tentang perasaamu pada Nick. Aku hanya ingin mempertemukan kalian, karena Nick adalah pria yang baik, dan aku akan merasa menyesal sekali kalau tidak memperkenalkannya padamu. Sekarang, nikmatilah kedekatan kalian! Agar kamu bisa memastikan bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya pada Nick."
"Trims, Nina."
"Sama-sama, Nora."
Panggilan kami pun berakhir, meninggalkan setitik keraguan di dalam hatiku. Aku duduk di dekat jendela kamar, menatap langit pagi yang tampak begitu jernih, cerah dan terang. Namun, tiba-tiba aku teringat kembali akan kenangan masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam itu. Kenangan masa lalu yang membuatku merasakan setitik keraguan di hatiku saat ini.
Lalu, aku teringat pada Jenny. Di saat seperti ini, Jenny pasti bisa menenangkanku. Aku menghela nafas panjang, menghidupkan kembali layar ponsel yang ada di tanganku, dan menekan kontak bernama Jenny.
"Halo, Nora!", sambutnya riang.
"Halo, Jenn!", balasku, dengan nada suara murung yang tak bisa kusembunyikan.
Jenny sepertinya langsung menyadari apa yang sedang kurasakan. Suaranya pun berubah panik. "Ada apa, Nora? Ceritakan padaku!"
Aku menarik nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya menceritakan semuanya pada Jenny. "Jenn, kamu ingat dengan pria populer di kampus yang pernah kuceritakan padamu?"
"Pria populer yang ingin diperkenalkan oleh teman barumu itu?
"Ya, Jenn. Kemarin aku dan Nina pergi ke pesta musim panas di dekat kampus baru. Dan, disana aku bertemu dengan Nick, pria yang ingin Nina pertemukan denganku."
"Lalu, bagaimana pria itu? Apa dia baik dan sesuai harapanmu?"
"Aku tidak pernah mengharapkan apapun tentangnya, Jenn. Aku pergi ke pesta itu hanya untuk bersenang-senang.", sergahku, mengoreksi pertanyaan Jenny.
"Oh, ya, benar. Maaf, Nora. Lalu, apa yang terjadi?"
"Jenn, pria itu namanya Nick. Dia sangat baik, lembut dan hangat. Dia tampan dan juga pintar. Aku merasa nyaman sekali menghabiskan waktu untuk mengobrol berdua dengannya.", jelasku.
"Hmm, bukankah itu harusnya kabar baik, Nora? Lantas, apa yang membuatmu muram?"
"Entahlah, Jenn. Aku merasa dia terlalu sempurna untukku. Dan aku takut, apa yang terjadi di masa lalu akan kembali terulang nanti."
"Nora!", seru Jenny lembut. "Kamu tidak bisa terus-menerus membiarkan kenangan masa lalu itu menghalangi kebahagiaanmu. Kamu berhak melanjutkan hidup dan merasakan kebahagiaan lagi."
"Ya, Jenn. Aku tahu. Tapi bayangan kenangan masa lalu itu terus menghantuiku. Aku takut..."
"Nora, aku tahu pria itu sudah meninggalkan luka dalam hatimu. Tapi, Nick bukan pria itu. Dan, Nora yang sekarang juga bukan Nora yang sama seperti dulu."
"Tapi bagaimana kalau semua yang berawal terlalu sempurna ini akan berakhir dengan cara yang sama, Jenn? Bagaimana kalau aku terlalu berharap, lagi?"
Jenny menjawab dengan suara tenang. "Nora, bagaimana kalau semua itu hanya ketakutanmu saja? Bagaimana kalau dengan Nick, kamu bukan terluka lagi, tapi malah sembuh? Kamu tidak harus terburu-buru jatuh cinta padanya, Nora. Tapi, kamu juga tidak boleh menghalangi perasaanmu padanya, hanya karena ketakutanmu saja."
Aku terdiam, tak sanggup menjawab perkataan Jenny. Mungkin saja semua yang dikatakan Jenny benar. Namun, tidak menutup kemungkinan semua yang dikatakannya juga salah. Aku bimbang. Dan, aku ketakutan.
"Nora, aku tidak memintamu untuk sepenuhnya membuka hatimu saat ini. Aku tahu, pasti berat. Tapi, setidaknya bukalah celah kecil untuk melihat apa yang mungkin bisa tumbuh. Nick mungkin datang di waktu yang tidak kamu duga, tapi siapa yang tahu jika dialah orang yang justru kamu butuhkan.", Jenny menjeda ucapannya, menghela nafas panjang sebelum kembali melanjutkan. "Aku tahu, Nora. Jatuh cinta memang menakutkan. Tapi jangan pernah lupakan kalau jatuh cinta juga indah. Suatu saat nanti, kamu bisa jujur pada Nick tentang kenangan masa lalumu, saat waktunya tepat. Tapi untuk sekarang, nikmati dulu perasaan itu."
Satu tetes air mata jatuh, mengalir diam-diam, membasahi pipiku. Bukan karena sedih. Tapi karena aku tersadar bahwa apa yang Jenny ucapkan itu benar. Mungkin aku sudah terlalu lelah menyimpan rasa sakit itu sendirian.
"Trims, Jenn."
"Sama-sama, Nora. Aku menyayangimu. Kamu pantas untuk bahagia lagi."
Setelah panggilan itu berakhir, aku duduk di tepi ranjang. Ku letakkan telapak tanganku di atas dada, mencoba merasakan detak jantungku sendiri. Mungkin, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bisa memberi kesempatan lagi pada diriku sendiri. Untuk percaya. Untuk berharap. Untuk merasakan, cinta yang baru.