Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asa Di Tanah Paman Sam
"Ayah! Kita sampai!" Suara Fitriani Ayu Dewi melengking riang, memecah kesunyian di dalam kabin pesawat Boeing 747 yang baru saja mendarat mulus di George Bush Intercontinental Airport, Houston, Texas. Matanya berbinar, memancarkan kegembiraan murni yang menular. Ia langsung menoleh ke Rohim Wiratama yang duduk di sebelahnya, senyum lebar terukir di bibirnya. Hijab instan berwarna beige yang ia kenakan terlihat sedikit bergeser, tanda saking antusiasnya. Ujung-ujung kerudungnya bahkan sedikit terangkat saat ia menghela napas panjang, seolah ingin menghirup seluruh udara Amerika.
Rohim terkekeh, menggelengkan kepala. Ia menatap istrinya, bibirnya melengkung membentuk senyum hangat. Kerutan halus di sudut matanya terlihat jelas. "Iya, Ibu. Aku dengar. Kamu semangat banget, ya? Sampai semua penumpang di depan dan belakang bisa dengar juga kayaknya," candanya, melirik sekilas ke arah penumpang lain yang beberapa tersenyum simpul mendengar seruan Fitriani. Ada seorang nenek di barisan depan yang bahkan mengacungkan jempol sambil tersenyum geli.
Fitriani tak peduli. Ia terlalu bahagia. Ini Amerika! Langkah pertama menuju Mars! "Habisnya, aku senang banget, Yah! Rasanya kayak mimpi. Dulu cuma bisa lihat di TV, sekarang kita beneran di sini!" Ia menyandarkan kepalanya sejenak di bahu Rohim, napasnya sedikit terengah-engah saking gembiranya. Wangi shampoo Fitriani yang lembut tercium oleh Rohim, menenangkan di tengah euforia istrinya.
Di kursi sebelah, Shalih Wiradipa yang tadinya pulas tertidur, kini menggeliat. Mata bulatnya mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya terang dari jendela pesawat. Ia melihat ibunya yang tersenyum lebar, dan ayahnya yang menatap ibunya penuh sayang. Shalih mengucek matanya dengan punggung tangan mungilnya, mengeluarkan suara "mmmph" kecil.
"Ayah, kita sudah sampai?" tanya Shalih dengan suara serak khas bangun tidur, menguap lebar, memperlihatkan gigi susunya yang rapi. Air liur tipis terlihat di sudut bibirnya.
"Sudah, jagoan Ayah! Kita sudah di Amerika!" Rohim menjawab, mengusap lembut rambut Shalih yang agak berantakan.
Humairah Wulanindri, si bungsu, sudah lebih dulu bangun. Ia duduk manis di pangkuan Fitriani, jarinya menunjuk-nunjuk ke luar jendela pesawat yang memperlihatkan landasan pacu yang luas dan gedung-gedung bandara yang menjulang. "Pesawat! Pesawat!" gumamnya riang, pipinya gembil karena senyum, matanya berbinar seperti dua butir kelereng hitam yang mengkilap. Rambut tipisnya bergoyang-goyang saat ia bergerak-gerak kegirangan.
Petualangan baru mereka resmi dimulai. Dari jendela pesawat, mereka bisa melihat deretan pesawat berbadan lebar, truk bagasi yang lalu-lalang, dan menara kontrol yang menjulang tinggi, semua terasa begitu masif dan asing. Langit Houston terlihat biru cerah, dengan beberapa awan putih tipis yang menggantung malas.
Proses imigrasi dan pengambilan bagasi berjalan cukup lancar, meskipun ada sedikit chaos khas keluarga dengan dua anak kecil. Terminal bandara dipenuhi oleh hiruk pikuk orang dari berbagai belahan dunia, membuat suasana terasa campur aduk. Suara pengumuman bandara dalam bahasa Inggris terdengar di mana-mana, diselingi tawa dan obrolan.
Shalih sibuk menarik-narik tangan Rohim untuk melihat papan iklan besar yang menampilkan mobil-mobil mewah dan makanan cepat saji. Matanya membulat, menunjuk setiap gambar yang menarik perhatiannya. "Ayah, lihat itu! Mobilnya keren! Nanti kita beli ya?" serunya polos.
Rohim hanya tersenyum maklum. "Nanti ya, Nak. Kita cari mobil yang bisa terbang dulu," candanya.
Sementara itu, Humairah beberapa kali mencoba merangkak kabur dari gendongan Fitriani ke arah kerumunan orang asing, tangannya terulur-ulur ingin meraih apapun yang lewat di depannya. Fitriani harus ekstra waspada, memeluk erat tubuh mungil Humairah agar tidak lepas. Kini ia mengenakan hijab instan berwarna abu-abu yang serasi dengan tunic dress-nya yang nyaman, menutupi lekuk tubuhnya dengan anggun. Namun, di tengah keramaian, ia sesekali harus merapikan kembali hijabnya yang sedikit bergeser karena Humairah yang gelisah.
"Ya ampun, Ayah! Ini kopernya kok lama banget sih?" Fitriani mengeluh, sedikit lelah setelah menahan Humairah yang terus meronta. Wajahnya yang tadi berseri-seri kini sedikit merengut, dahinya sedikit berkerut.
Rohim tersenyum sabar, bibirnya membentuk garis tipis. "Sabar, Sayang. Antreannya panjang. Biasa kan kalau di luar negeri. Ini baru permulaan lho, belum nanti di fasilitas pelatihan," candanya, mencoba meringankan suasana. Tangannya sigap meraih tas ransel Shalih yang hampir terjatuh dari troli bagasi yang mereka dorong. Troli itu penuh sesak dengan koper dan beberapa tas tangan, tampak seperti gunung portable.
Tiba-tiba, mata Rohim menangkap sosok tinggi dengan setelan rapi berdiri tak jauh dari carousel bagasi. Pria itu, seorang kulit hitam dengan senyum lebar dan tatapan ramah, memegang papan kecil bertuliskan "Keluarga Wiratama – ISTC". Rohim langsung teringat, mereka akan dijemput oleh perwakilan International Space Travel Consortium (ISTC). Lega rasanya melihat tanda penjemput itu di tengah lautan manusia.
"Nah, itu dia penjemput kita!" Rohim berseru, menunjuk ke arah pria itu. Ia mendorong troli berisi tumpukan koper dan tas, berjalan mendekati pria tersebut dengan langkah mantap.
Pria itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Mr. Anderson, menyambut mereka dengan senyum ramah dan logat Amerika yang kental. Perawakannya tinggi besar, namun gerak-geriknya lembut. "Selamat datang di Houston, Keluarga Wiratama! Saya Anderson, perwakilan ISTC. Perjalanan Anda pasti melelahkan. Mari, mobil sudah menunggu di luar." Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Rohim, lalu menunduk ramah pada Fitriani.
Fitriani mengangguk, lega bukan main. Senyumnya kembali merekah. Setidaknya, satu masalah sudah beres. "Terima kasih banyak, Mr. Anderson. Kami sangat senang bisa sampai di sini." Suaranya terdengar tulus, memancarkan kelegaan yang mendalam.
Perjalanan dari bandara menuju fasilitas pelatihan ISTC terasa seperti tur kota dadakan. Mereka melewati jalanan lebar dengan pohon-pohon rindang di tepi jalan, gedung-gedung perkantoran modern, dan taman-taman kota yang luas. Langit Houston yang cerah membuat pemandangan terasa lapang.
Rohim dan Fitriani sibuk menunjuk berbagai gedung tinggi, mobil-mobil besar yang berlalu lalang, dan bahkan hot dog stand di pinggir jalan kepada Shalih dan Humairah. Shalih sangat antusias, matanya tak berhenti memindai sekeliling, kepalanya bergerak ke kiri dan kanan seperti burung hantu yang penasaran. Setiap kali melihat sesuatu yang baru, ia akan menunjuk dan bertanya dengan nada bersemangat.
"Ayah, lihat itu! Gedung itu tinggi banget!" Shalih berseru, menunjuk sebuah gedung pencakar langit yang mengkilap di kejauhan. Jari telunjuknya teracung ke arah kaca mobil.
"Iya, Nak. Di sini memang banyak gedung tinggi," jawab Rohim, tersenyum melihat antusiasme putranya. Rohim sendiri juga merasa sedikit takjub dengan skala kota ini.
Fitriani, yang tadinya juga ikut menikmati pemandangan, tiba-tiba teringat sesuatu. Matanya memandang Rohim dengan sedikit keraguan. "Ayah... kemarin kamu bilang bakal ketemu keluarga peserta lain, kan? Kira-kira nanti di sana gimana ya? Kita bakal sekamar sama mereka atau gimana?" Ia bertanya, suaranya sedikit cemas namun antusias, membayangkan skenario berbagi tempat tinggal dengan orang asing.
Rohim mengusap bahu Fitriani menenangkan, senyumnya lembut. "Tenang, Ibu. Katanya sih kita akan punya private apartment sendiri di dalam kompleks fasilitas. Jadi tetap privasi kita terjaga. Nanti kita akan kumpul bareng di ruang briefing atau ruang makan umum. Enggak perlu khawatir," ia menjelaskan, memastikan istrinya merasa nyaman.
Mendengar itu, Fitriani menghela napas lega. Bahunya mengendur. Setidaknya mereka tidak harus berbagi kamar mandi dengan orang asing. Bayangan akan chaos yang lebih besar langsung sirna. Humairah yang tadinya sudah kembali pulas di gendongan Fitriani, terlihat menggeser posisi tidurnya, meringkuk nyaman.
Fasilitas pelatihan ISTC benar-benar di luar dugaan mereka. Gerbang masuknya dijaga ketat, dengan keamanan berlapis yang modern. Bangunannya sendiri terlihat futuristik namun tetap ramah lingkungan, didominasi oleh kaca dan struktur baja yang elegan. Di dalamnya, lorong-lorong lebar dan bersih, dengan pencahayaan alami yang melimpah. Ada area hijau yang terawat rapi, dengan jalur pejalan kaki yang berkelok-kelok, dan bahkan sebuah taman bermain kecil untuk anak-anak dengan ayunan dan perosotan berwarna-warni.
"Wah... ini sih kayak hotel bintang tujuh, Yah!" Fitriani berbisik pada Rohim saat mereka melewati lobi utama yang megah. Matanya membulat kagum, mulutnya sedikit terbuka. Lantai marmer yang mengkilap memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang mewah. Aroma pembersih ruangan yang segar dan sedikit wangi bunga memenuhi udara.
"Lebih dari itu, Ibu. Ini markas calon astronot," jawab Rohim, menyeringai bangga. Ia juga tak kalah kagum. Desain interiornya futuristik namun tetap nyaman, dengan sentuhan seni modern di beberapa sudut.
Mereka diantar menuju apartment mereka. Sebuah unit yang nyaman dengan dua kamar tidur yang luas, masing-masing dengan kamar mandi pribadi, ruang keluarga yang dilengkapi sofa empuk dan televisi besar, dapur kecil yang modern, dan yang paling penting, pemandangan ke arah taman bermain dari jendela kamar anak-anak.
Begitu pintu terbuka, Shalih langsung berlari masuk, menjelajahi setiap sudut. Ia meloncat-loncat di atas kasur yang empuk, kemudian membuka lemari, dan akhirnya berlari menuju jendela.
"Ini kamar Shalih, Ayah? Aku bisa lihat teman-teman main di luar!" Shalih berseru riang, menunjuk jendela kamarnya yang menghadap langsung ke taman bermain. Matanya berbinar, sudah membayangkan bermain dengan anak-anak lain.
Fitriani tersenyum, menghela napas lega. "Alhamdulillah, nyaman banget ya, Yah. Aku kira bakal kayak asrama militer gitu yang cuma ada ranjang susun." Ia menurunkan Humairah yang langsung merangkak menuju karpet empuk di ruang keluarga, tangannya menyentuh-nyentuh permukaannya yang lembut.
Rohim memeluk pinggang Fitriani dari belakang. "Kan sudah aku bilang, Sayang. Mereka pasti mikirin kenyamanan para peserta. Apalagi kita bawa anak-anak," bisiknya, mengecup puncak kepala Fitriani yang berbalut hijab. "Aku yakin, semua akan baik-baik saja."
Pandangan mereka bertemu. Senyum tulus terukir di wajah keduanya. Kekhawatiran yang sempat menggelayuti mereka kini terasa sedikit lebih ringan, seperti beban yang terangkat. Kehangatan rumah tangga mereka seolah ikut dibawa serta ke tempat baru ini, menciptakan aura aman dan nyaman di tengah ketidakpastian. Mereka berdiri berpelukan sejenak, membiarkan kelegaan itu meresap dalam diri.
Setelah membereskan barang-barang seadanya dan beristirahat sejenak, mereka diajak untuk makan malam di aula utama. Aula itu dipenuhi oleh keluarga-keluarga lain yang juga menjadi peserta program tur Mars. Suasana begitu ramai, dengan berbagai bahasa dan logat yang bercampur aduk: ada tawa riang anak-anak, obrolan orang dewasa dalam bahasa Jepang, Jerman, Spanyol, dan banyak lagi. Aroma masakan internasional memenuhi udara, menggoda selera.
"Wah, ramai banget, Yah!" bisik Fitriani, memegang erat tangan Rohim. Ia kini mengenakan gamis sederhana berwarna dusty pink dengan hijab senada yang membingkai wajahnya dengan rapi dan syar'i. Shalih berjalan di antara kaki mereka, menatap sekeliling dengan mata penasaran, sementara Humairah digendong Rohim, kepalanya bersandar di bahu ayahnya.
Rohim mengangguk. "Iya, Bu. Ini kesempatan kita buat kenalan."
Mereka mencari meja kosong di sudut aula, tidak terlalu ramai tapi cukup strategis. Shalih yang biasanya sedikit pemalu di tempat baru, kali ini justru antusias. Matanya sibuk memindai anak-anak lain yang berlarian di area bermain kecil di tengah aula. Tiba-tiba, ia melihat seorang anak laki-laki dengan rambut pirang dan mata biru sedang kesulitan membuka kotak jusnya. Anak itu terlihat frustasi, bibirnya mengerucut. Tanpa disuruh, Shalih langsung menghampiri anak itu dengan langkah kecil yang mantap.
"Sini, aku bantu!" kata Shalih, meskipun dengan bahasa Inggris yang terbata-bata dan aksen Indonesianya yang kental. Jemari mungilnya dengan cekatan meraih kotak jus dan membukanya dengan sekali tarik.
Anak laki-laki itu, yang sepertinya dari Jerman, tersenyum lebar, matanya berbinar. "Thank you!" katanya, nadanya penuh rasa terima kasih. Ia langsung menyedot jusnya dengan gembira.
Melihat interaksi itu, Fitriani dan Rohim saling pandang, senyum bangga mengembang di wajah mereka. Jiwa penolong Shalih memang tak kenal batas negara atau bahasa. Beberapa orang tua di meja sebelah juga tersenyum melihat tingkah laku Shalih yang menggemaskan.
"Anak Ayah emang paling baik hati," bisik Rohim pada Fitriani, mencium kening istrinya.
Fitriani tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Rohim. "Anak Ibu juga." Kebanggaan seorang ibu terpancar jelas dari sorot matanya.
Makan malam itu diwarnai dengan obrolan ringan dan senyum ramah. Meskipun perbedaan bahasa menjadi kendala, namun kehangatan antar keluarga terasa jelas. Rasa tegang yang sempat mereka rasakan perlahan mencair, digantikan oleh semangat kebersamaan dan antisipasi akan petualangan yang sama. Mereka adalah orang-orang terpilih, bagian dari sejarah baru umat manusia, dan mereka akan menjalani ini bersama. Beberapa keluarga mencoba berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau aplikasi penerjemah di ponsel, menciptakan momen-momen lucu dan penuh tawa.
Setelah makan malam, saat mereka kembali ke apartment, kelelahan akhirnya melanda. Shalih dan Humairah, yang seharian ini kelelahan karena perjalanan dan kegembiraan, langsung terlelap begitu kepala mereka menyentuh bantal. Napas mereka teratur, tidur nyenyak seperti bayi.
Rohim dan Fitriani duduk di sofa ruang keluarga, menikmati keheningan yang nyaman. Lampu remang-remang dari lampu tidur menciptakan suasana romantis yang hangat. Rohim memeluk Fitriani erat, punggungnya terasa pas di dada bidang suaminya. Ia mencium puncak hijabnya yang masih sedikit hangat.
"Enggak nyangka ya, Yah. Kita beneran ada di sini. Di Amerika. Tinggal selangkah lagi ke Mars," bisik Fitriani, suaranya pelan dan penuh rasa syukur. Ia memejamkan mata, merasakan detak jantung Rohim di telinganya, iramanya menenangkan seperti alunan melodi.
"Iya, Sayang. Aku juga masih kayak mimpi. Tapi ini bukan mimpi. Ini takdir kita," jawab Rohim, mengusap lembut lengan Fitriani. Ia teringat kembali percakapan mereka semalam, tentang firasat dan rencana Allah. Rasa gentar itu masih ada, namun kini dibalut oleh keyakinan yang kuat.
Fitriani mendongak, menatap mata Rohim yang memancarkan ketenangan. Wajahnya yang kelelahan namun bahagia terlihat begitu damai. "Makasih ya, Yah. Kamu selalu bisa menenangkan aku." Ia tersenyum tulus, jemarinya mengusap lembut pipi Rohim. "Aku cinta kamu."
Rohim membalas senyum Fitriani, mencium keningnya dengan lembut, lalu bibirnya. Sebuah ciuman panjang, merefleksikan semua cinta, harapan, dan keberanian yang mereka miliki. Itu adalah janji tanpa kata, ikatan yang tak terpatahkan. Mereka berpegangan tangan, merasakan kehangatan yang mengalir dari telapak tangan ke hati.
Di balik jendela, langit malam Houston tampak begitu luas, dihiasi ribuan bintang yang berkelip. Bintang-bintang itu seolah memanggil mereka, mengisyaratkan petualangan yang tak terbayangkan. Petualangan sesungguhnya baru akan dimulai, dan mereka siap menghadapinya. Mereka adalah keluarga, dan kebersamaan adalah kekuatan terbesar mereka. Sebuah keluarga biasa, yang kini tengah bersiap menghadapi takdir luar biasa di antara bintang-bintang.