Menjadi seorang Guru adalah panggilan hati. Dengan gaji yang tak banyak, tetapi banyak amanah. Itulah pilihan seorang gadis bernama Diajeng Rahayu. Putri dari seorang pedagang batik di pasar Klewer, dan lahir dari rahim seorang ibu yang kala itu berprofesi sebagai sinden, di sebuah komunitas karawitan.
Dari perjalanannya menjadi seorang guru bahasa Jawa, Diajeng dipertemukan dengan seorang murid yang cukup berkesan baginya. Hingga di suatu ketika, Diajeng dipertemukan kembali dengan muridnya, dengan penampilan yang berbeda, dengan suasana hati yang berbeda pula, di acara pernikahan mantan kekasih Diajeng.
Bagaimana perjalanan cinta Diajeng? Mari kita ikuti cerita karya Dede Dewi kali ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dede Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Putusin Pak Kepala Sekolah
Malam kian berlalu, suara Katak saling bersautan, suara burung hantu sayub-sayub terdengar dari kebun kosong di ujung desa. Udara dingin masih setia menyelimuti malam di desa Karangwuni, sebuah desa yang asri, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Rintik hujan sesekali masih terasa, dan genangan air di beberapa titik masih menyisakan cipratan bekas orang lewat.
Malam ini, Seorang gadis tampak duduk termenung di balik jendela kamarnya. Dia menatap langit yang tak berbintang dan tak nampak rembulan. Tatapan sayu jelas tersirat dari kedua matanya. Tak seperti biasanya, gadis itu selalu energik meski malam sudah mencapai puncaknya. Kini dia hanya duduk termangu, tanpa semangat menggebu.
"Maaf, tapi aku harus menuruti keinginan ibu bapakku." kata itu kembali terngiang di telinga, setelah beberapa hari yang lalu dia dengar dari lisan yang biasanya membisikkan kata-kata manis kepadanya.
Kata itu sederhana, tetapi bagai peluru yang menghujam dada kirinya. Nyeri rasanya, tetapi tak ada bekas luka yang bisa diperban di sana. Berdarah-darah rasanya, tapi tak ada setetes darahpun yang keluar dari tubuhnya. Ingin di lupa, tetapi tak kuasa. Kenangan itu terlalu indah untuk dilupakan, tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk menjalani sebuah hubungan. Tertatih-tatih mereka lalui bersama demi satu impian dan cita. Namun justru kandas, berakhir luka.
"Belum tidur, Nduk?" tanya pak Sabari, Orang tua tunggal Diajeng.
"Eh, Belum pak." jawab Diajeng singkat saja.
Pak Sabari menyapu pandang kamar putrinya. Biasanya di meja depan tempat putrinya duduk ini, ada sebuah layar leptop yang menyala, dan beberapa lembar kertas berserakan di seluruh meja, bahkan di ranjangnya. Belum lagi, dengan beberapa tumpukan cangkir yang lupa belum sempat Diajeng kembalikan ke dapur, serta beberapa toples camilan yang terbuka.
Namun tidak dengan malam ini, kamar ini bersih, dan sepi. Semua tertata rapi, hanya ada satu tempat sampah berisi beberapa tisu yang sudah kumal karena bekas dipakai.
"Apakah ada masalah di Sekolahan?" tanya pak Sabari lagi, mencoba meraba permasalahan putrinya yang membuat dirinya berbeda.
"Alhamdulillah, tidak ada pak. Aman." kata Diajeng berusaha menutupi hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Karena sejak kecil, Diajeng sangat jarang bercerita dengan bapaknya. Dia lebih dekat dengan Kakak-kakaknya yang sudah lebih dulu menikah. Dan kini, Diajeng tinggal sendiri bersama bapak, karena ibu pun sudah tiada.
"Ya wis kalau begitu. Hari sudah semakin malam, tidak baik udara malam masuk ke dalam kamarmu. Sebaiknya, jendelanya segera ditutup, dan segera istirahat. Besok kamu mengajar to?" tanya pak Sabari, Yang masih menyimpan tanya tentang anaknya.
"Iya pak. Siap." jawab Diajeng, sambil berdiri dan menarik daun jendela untuk ditutupnya.
"Bapak mau dibuatkan wedang jahe apa kopi?" tanya Diajeng. Itu adalah kebiasaan mendiang ibunya disetiap malam, sebelum bapak hendak tidur.
"Tidak usah nduk, tadi bapak abis dari kumpulan, sudah dapat minum wedang ronde di rumah pak RT." jawab pak Sabari.
"Oh, ya pak. Alhamdulillah."
"Ya wis, bapak keluar yo. Jaga dirimu baik-baik, jangan begadang lagi yo." pesan pak Sabari yang selalu dilanggar Diajeng, terutama di akhir tahun ajaran baru dan di setiap dead line pengerjaan kurikulum dan lainnya.
"Njih pak." jawan Diajeng berusaha tetap tegar, meski tak terlalu tegar.
Sepeninggal bapaknya, Diajeng segera melemparkan tubuhnya di ranjang yang dilapisi kasur busa pemberian bapaknya di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Saat kamar ini resmi dijadikan kamar tidur Diajeng Rahayu, anak putri satu-satunya bapak Sabari.
Diajeng berusaha memejamkan mata, tetapi ucapan bapak kepala sekolahnya masih saja mengusik ketenangan hatinya.
"Aku harus menikahinya, Jeng. Kita harus sudahi hubungan ini." kata kepala sekolah itu lagi, ketika jam makan siang beberapa hari yang lalu.
"Lalu, bagaimana dengan perasaanku mas? Bagaimana dengan mimpi mimpi yang sudah kita bangun bersama selama tujuh tahun ini?" protes Diajeng dengan linangan air matanya.
"Ya... sudah. Kita lupakan saja mimpi mimpi itu." jawab kepala sekolah terasa ringan, meski sebenarnya berat untuk di lontarkan.
Sekilas memori kejadian beberapa hari yang lalu muncul di pelupuk mata Diajeng.
"Astaghfirullah." desis Diajeng sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
Diajeng kemudian beranjak dari ranjang, kemudia berjalan menuju Kamar mandi untuk membasuh muka dan mengambil air wudlu. Setelah itu, Diajeng berbaring kembali ke kamarnya, mendirikan dua rakaat sholat sunnah, kemudian berdoa lalu kembali berbaring di ranjang, dengan berteman guling, karena beberapa boneka pemberian kepala sekolah itu dia buang ke gudang.
❤❤❤
Keesokan harinya, Diajeng duduk di kursi kerjanya yang tidak jauh dari kursi kerja Kepala sekolah bernama Adnan Heriyanto, S.Pd, M.Pd.
Biasanya keduanya akan saling lempar senyum, saling bercanda dan bertukar pikiran untuk program sekolah serta mengerjakan beberapa pekerjaan kedinasan yang harus dikerjakan bersama.
Namun tidak untuk hari ini, sepagi tadi suasana tampak sepi, keduanya tampak dingin dan tidak ada lagi sapaan hangat diantara keduanya. Meski begitu, Diajeng berusaha tetap profesional dalam bekerja, dan tetap fokus dengan tugas-tugasnya selaku wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.
"Maaf bu, ini tolong di edit ya." kata Adnan bersikap kaku dihadapan Diajeng saat menyerahkan beberapa lembar laporan kedinasan.
Tanpa kata, Diajeng hanya menerima lembaran itu dan menganggukan kepala. Rasanya dada Diajeng masih sesak, dan lisannya masih kaku untuk berucap.
Beginikah rasanya sakit hati karena mau ditinggal rabi? Entahlah. Tapi dulu Author pernah ngerasain juga sih, pinginnya emosi aja. kalau Reader gimana? jawab di kolom komentar yes.
❤❤❤
Alhamdulillah, setelah sekian purnama tidak membuat karya, kali ini Dede Dewi memulai kembali dengan mengangkat cerita tentang guru. Yaitu berita yang lagi viral akhir-akhir ini, bahwa guru beban negara. Bagaimana menurut reader, apakah guru itu memang beban negara?