Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Nama Yang Tak Pernah Di Sebut
Dua minggu berlalu sejak pengungkapan besar itu. Jakarta mulai kembali tenang di permukaan, tapi di balik layar, badai masih terus mengintai.
Damian berdiri di depan makam ibunya. Udara pagi masih dingin, embun menempel di ujung rumput. Di tangannya ada surat kecil yang tak pernah sempat ia kirimkan—surat yang ia tulis sejak remaja, ketika rasa kehilangan masih segar dan penuh tanya.
“Ibu,” bisiknya, “aku akhirnya ngerti kenapa semua terasa salah. Kenapa aku nggak pernah merasa utuh.”
Ia menaruh surat itu di atas batu nisan, lalu berdiri perlahan. Dari kejauhan, Arumi memperhatikannya dalam diam. Ia tahu Damian butuh waktu sendiri, tapi dalam hati, ia juga menyimpan keresahan.
Beberapa hari terakhir, Arumi menerima pesan-pesan aneh. Bukan ancaman terang-terangan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri.
Email tanpa pengirim. Foto masa kecil Damian. Dan satu kalimat:
> “Kamu terlalu dekat pada sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.”
---
Malam harinya, mereka kembali ke apartemen Damian. Jakarta diguyur hujan deras lagi. Seolah langit belum rela memberi damai.
Arumi merebahkan tubuh di sofa. Damian duduk di lantai, laptop di pangkuan. Ia membaca ulang semua dokumen dari flashdisk Raka, kali ini dengan mata yang lebih jernih.
“Sesuatu masih janggal,” gumamnya.
Arumi melirik. “Apa maksudmu?”
“Raka bilang dia cuma anak magang. Tapi dia tahu terlalu banyak. Dan semua file itu... kayaknya udah dipersiapkan buat ditemukan.”
Arumi bangkit duduk. “Kamu pikir... dia bukan cuma saksi?”
Damian mengangguk. “Atau dia... sengaja dimunculkan.”
Mereka saling tatap. Hening menggantung seperti kabut.
Dan tepat saat itu, bel apartemen berbunyi.
Damian refleks berdiri. “Jam segini?”
Arumi mengangguk pelan. “Kamu tunggu sini. Biar aku yang buka.”
Ia melangkah pelan ke pintu, melihat lewat lubang intip. Seorang pria berdiri di luar, mengenakan mantel hujan, wajahnya tertutup bayangan topi.
Arumi membuka pintu sedikit. “Ada yang bisa saya bantu?”
Pria itu menyodorkan amplop.
“Untuk Damian Dirgantara,” katanya datar.
“Siapa kamu?” tanya Arumi cepat.
“Anggap saja... teman lama keluarganya.” Lalu ia pergi, menghilang dalam hujan.
Damian menghampiri Arumi yang menatap kosong amplop itu.
“Dia bilang dia teman lama keluargamu.”
Damian mengambil amplop itu dan membukanya perlahan. Di dalamnya: satu foto tua, dan secarik kertas bertuliskan:
> “Cari di folder yang kamu abaikan. File bernama: ELIAZAR. Dia tahu segalanya.”
---
Keesokan harinya, Damian menyisir ulang isi flashdisk. Dan benar—ada satu folder yang terkunci dengan password. Nama filenya: ELIAZAR.
Arumi duduk di sampingnya. “Kamu tahu siapa Eliazar?”
Damian menggeleng. “Tapi... itu nama tengah kakekku dari pihak Ayah. Dan... itu juga nama yang Ayahku pernah larang kusebut.”
Setelah beberapa kali mencoba password, Damian mengetik: ALARC1983.
Folder terbuka.
Di dalamnya, hanya satu video. Mereka menontonnya dengan jantung berdebar.
Seorang lelaki tua muncul di layar. Wajahnya keras, sorot matanya tajam. Ia duduk di depan kamera, mengenakan pakaian serba hitam.
> “Kalau video ini terbuka, berarti keturunan Dirgantara sudah sampai di titik genting. Namaku Eliazar. Aku pendiri yayasan Alaric, dan aku juga... pencipta jaringan ‘Bayangan’.”
> “Dulu kami membangun kekuatan ini untuk menyeimbangkan kekuasaan yang rakus. Tapi lambat laun, kekuasaan itu berubah menjadi candu. Nadine hanya salah satu bidak. Saka... dia tahu, tapi dia terlalu lemah untuk melawan. Yang kalian belum tahu, ada satu nama lagi... yang lebih berbahaya. Ia mengendalikan jaringan baru. Jaringan yang bahkan aku sendiri tak bisa sentuh.”
> “Namanya... Adam.”
Damian mematung.
Arumi tercekat. “Maksudnya... Adam... anak Nadine?”
Damian menggeleng lemah. “Dia... adikku.”
Arumi menatapnya tak percaya. “Tapi dia... cuma anak kecil waktu ibumu meninggal, kan?”
Damian menggeleng lagi. “Itu yang kupikir juga. Tapi kalau ini benar... berarti dia sudah disiapkan sejak lama. Dibentuk. Dilatih.”
Arumi menunduk, merasakan gemetar halus di tangannya. “Kalau Adam masih hidup... dan dia bagian dari jaringan itu... berarti ini belum selesai.”
---
Hari-hari berikutnya mereka gunakan untuk menelusuri jejak Adam.
Data resmi menunjukkan Adam meninggal saat usia 12 tahun akibat kecelakaan laut.
Tapi laporan itu penuh kejanggalan.
Tidak ada catatan forensik. Tidak ada jenazah ditemukan.
Hanya satu saksi: Nadine Adamartha.
“Dia palsuin kematian anaknya sendiri,” kata Arumi perlahan, suara tercekat. “Supaya dia bisa bentuk Adam jadi bagian dari jaringan.”
Damian menatap layar ponselnya. “Dan sekarang, semua jaringan gelap yang sempat terputus... mulai aktif lagi. Tapi dengan nama baru.”
Arumi menelan ludah. “Nama barunya... Elapse.”
---
Malam itu, Arumi kembali menerima email.
Kali ini, berisi rekaman suara.
> “Kalian sudah terlalu jauh. Ini bukan tentang mencari kebenaran. Ini tentang siapa yang berani bertahan paling lama. Elapse tidak bisa dihentikan. Bahkan oleh darahnya sendiri.”
Damian mendengarkan dengan rahang mengeras.
“Aku tahu suara itu,” katanya. “Aku dengar dia... waktu kecil. Suara itu... pernah bisikin aku waktu Ibu meninggal.”
Arumi menatap Damian, tubuhnya gemetar.
“Kamu yakin... kamu mau terusin ini?”
Damian memegang wajah Arumi. “Aku nggak akan biarkan kamu terluka. Tapi aku juga nggak bisa mundur. Kita udah terlalu dalam.”
---
Beberapa hari kemudian, mereka menerima undangan misterius.
Lokasi: Singapura. Pengirim: Tidak diketahui.
Isinya hanya dua kalimat:
> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya Adam, datang sendiri. Jangan bawa siapa pun.”
Arumi langsung memprotes. “Itu jelas jebakan.”
Tapi Damian hanya tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi kalau aku nggak datang... aku akan selalu jadi boneka dari masa lalu.”
---
Babak baru telah dimulai. Satu nama terakhir muncul: Adam.
Tapi siapa dia sebenarnya? Anak? Saudara? Atau dalang sesungguhnya?
Dan Elapse... bukan sekadar jaringan.
Ia adalah hantu dari ambisi masa lalu. Dan kini, Damian dan Arumi harus memilih: mundur dan kehilangan segalanya, atau maju dan kehilangan diri mereka sendiri.
---
8