Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Langit mulai menggelap ketika mobil hitam itu melintasi jalan berbatu yang sunyi, melewati gerbang tua yang tertutup rapat. Begitu kendaraan berhenti, Wallace melangkah turun dengan tenang. Sepatu kulitnya menjejak tanah tanpa suara, namun kehadirannya seketika menarik perhatian seluruh penjaga yang tersembunyi di balik bayangan.
Tanpa aba-aba, puluhan pria berpakaian serba hitam muncul dari balik tembok dan pilar batu, berdiri tegap di sisi kiri dan kanan jalur masuk. Mereka serempak menundukkan kepala, memberikan penghormatan tanpa suara.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda.”
Tak ada senyum, tak ada balasan. Wallace hanya melirik singkat, lalu melanjutkan langkahnya menembus lorong panjang yang dijaga ketat. Hanya suara langkah kakinya yang terdengar menggema—datar, berwibawa, dan menghantarkan rasa dingin yang tak terlihat.
Aura rumah itu bukan sekadar megah… ada sesuatu yang disembunyikan di balik keheningannya. Dan Wallace datang bukan hanya untuk berkunjung—ia datang untuk menemui sumber kekuasaan yang telah membesarkannya.
Di ruangan utama yang sunyi, aroma tinta dan dupa menyatu dalam udara. Cahaya lentera temaram memantul di dinding kayu tua yang penuh lukisan kaligrafi.
Di ujung ruangan, duduk seorang pria tua berambut perak. Mengenakan pakaian tradisional dengan bordiran emas, ia menulis dengan kuas di atas kertas putih—tenang, penuh wibawa. Ia tak menoleh saat langkah kaki mendekat.
Wallace berhenti di tengah ruangan, berdiri tegap. Tak ada sapaan. Hanya diam yang dipenuhi rasa hormat dan kekuatan yang nyaris tak terlihat—antara masa lalu yang menciptakan kekuasaan dan masa depan yang siap mewarisinya.
"Usiaku sudah tujuh puluh delapan tahun. Jika aku menunggu lebih lama, aku takut tak sempat melihatmu menikah dan memiliki anak," ucap pria tua itu tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada kuas yang menari di atas kertas putih. "Kau harus tahu, keluarga Huang tidak boleh berhenti di generasi ini. Generasi ketiga harus meneruskan tanggung jawab terhadap para leluhur."
Wallace berdiri tegap di depannya, diam, hanya menatap punggung sosok yang ia panggil dengan sebutan kehormatan tertinggi dalam keluarga.
"Bukankah dia menikah lagi? Kenapa tidak mencoba memiliki anak laki-laki?" tanya Wallace datar.
"Wallace, ayahmu sudah terlalu tua. Harapan itu tidak realistis," jawab pria itu, suaranya tegas namun tenang. "Keturunan langsung keluarga Huang hanya tersisa kau dan kakak perempuanmu. Mark memang mengunakan marga kita, tapi dia bukan darah Huang."
"Tapi dia dibesarkan di sini. Jika dia menikah dan punya anak, bukankah itu sama saja?"
"Tidak, Wallace." Pria itu meletakkan kuasnya dan menatap Wallace untuk pertama kalinya. Sorot matanya tajam. "Mark adalah putra Forzen Lee. Walau dia bagian dari keluarga, garis utama tetap ada padamu. Aku sudah menyerahkan seluruh kekuasaan padamu. Sisanya, kau harus menikah dan memiliki anak."
Dia diam sejenak, lalu bertanya perlahan, "Apakah kau memiliki seseorang yang kau cintai?"
"Tidak ada!" jawab Wallace cepat. Nadanya dingin. "Semua wanita yang mendekat hanya tergila-gila pada kekuasaan dan hartaku."
Pria itu mengangguk pelan. "Baik. Kalau begitu, aku akan mengenalkanmu pada seseorang. Dia adalah putri dari Zhao, penguasa wilayah utara. Kalian cocok—sama-sama lahir dari kegelapan, dibesarkan dalam kekuasaan. Sifatmu yang dingin dan tajam hanya bisa diimbangi oleh wanita sepertinya."
Keesokan harinya.
Rumah Sakit General.
Di lorong yang tenang dan remang, seorang dokter wanita keluar dari ruang perawatan dengan setumpuk dokumen di tangannya. Ia menghampiri Wallace yang berdiri tegap di dekat jendela, didampingi oleh Nico yang setia berada di sisi kirinya.
"Ini hasil pemeriksaan menyeluruh terbaru," ucap sang dokter, menyerahkan berkas. "Pasien masih dalam tahap pemulihan. Untuk beberapa bulan ke depan, ia tidak disarankan melakukan aktivitas fisik berat, termasuk hubungan intim."
Wallace menatap berkas itu tanpa menyentuhnya. Tatapannya tajam, namun diam.
"Apa maksudnya?" tanyanya pelan, tapi nadanya cukup menekan.
Dokter menarik napas sejenak, lalu menjelaskan dengan hati-hati, "Seorang gadis yang mengalami kekerasan seksual akan menghadapi trauma psikologis yang berat. Tak hanya tubuhnya yang luka... tapi jiwanya juga terkoyak. Banyak dari mereka merasa kotor, rendah diri, kehilangan kepercayaan pada orang lain—terutama pria. Dalam kasus seperti ini, bayangan kejadian itu akan terus menghantuinya. Butuh waktu, bahkan mungkin bertahun-tahun, untuk benar-benar pulih."
"Apakah Mark mengetahui hal ini?"
"Tidak," jawab dokter dengan cepat. "Kami hanya memberi laporan ini kepada Anda. Sesuai permintaan Anda sebelumnya, informasi ini kami rahasiakan."
Wallace mengangguk pelan.
"Jangan beri tahu dia. Mark masih terlalu muda. Jika dia tahu, itu hanya akan membebani pikirannya."
Suaranya tetap dingin.
"Baiklah, akan kami rahasiakan," jawab dokter itu singkat, lalu membungkuk ringan dan melangkah pergi, meninggalkan Wallace dan Nico di lorong rumah sakit yang sunyi.
Beberapa detik setelah kepergian sang dokter, Nico memecah keheningan.
"Tuan, pertemuan Anda dengan Nona Zhao dijadwalkan besok malam pukul tujuh."
Wallace tidak langsung merespons. Ia menatap lurus ke depan, Lalu dengan suara datar ia berkata,
"Suruh dia datang ke kasino. Kita akan bertemu di sana."
Nico tampak ragu.
"Bukankah kita punya urusan di sana? Apakah... tidak masalah kalau Nona Zhao melihatnya?"
Wallace menoleh sekilas, matanya tajam seperti biasa.
"Di saat itu aku akan menentukannya. Apakah dia cukup layak untuk menjadi istriku... atau tidak."
Jawabannya dingin dan tak terbantahkan. Bagi Wallace, pernikahan bukan soal cinta—tapi ketahanan, kesetiaan, dan siapa yang sanggup berdiri di sisinya dalam dunia yang gelap dan penuh darah.