Ini adalah kisah antara Andrean Pratama putra dan Angel Luiana Crystalia.
kisah romance yang dipadukan dengan perwujudan impian Andrean yang selama ini ia inginkan,
bagaimana kelanjutan kisahnya apakah impian Andrean dan apakah akan ada benis benih cinta yang lahir dari keduanya?
Mari simak ceritanya, dan gas baca, jangan lupa like dan vote ya biar tambah semangat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9: Di Balik Langit Paris
Suara roda koper beradu dengan lantai bandara Charles de Gaulle menyambut Andrean saat ia melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional. Paris menyambutnya dengan suhu dingin yang menusuk, kontras dengan panas Banyuwangi dan hiruk-pikuk Jakarta yang baru saja ia tinggalkan.
Di balik pintu kaca, Angel sudah menunggu. Senyumannya hangat, meskipun matanya tampak lelah. Ia melambaikan tangan begitu melihat Andrean keluar.
"Andrean!" panggilnya. Suara itu, meski tak terlalu keras, langsung membuat dada Andrean menghangat.
Ia melangkah cepat, dan ketika akhirnya berdiri di depan Angel, mereka hanya saling tatap dalam diam selama beberapa detik yang terasa panjang.
Angel akhirnya bicara, "Kamu datang juga."
Andrean tersenyum tipis. "Aku nggak pernah janji, tapi aku selalu niat datang."
Mereka tertawa kecil. Canggung, tapi nyaman.
---
Malam pertama di Paris, Angel mengajak Andrean makan malam di sebuah kafe kecil dekat Montmartre. Tempat itu jauh dari hiruk-pikuk turis, hanya ada suara obrolan lembut dari para pelanggan, dentingan gelas, dan lagu jazz pelan yang dimainkan oleh pemuda lokal.
Angel memesan dua cangkir kopi hitam dan sepiring kecil croissant.
“Gimana rasanya jadi headline writer di Jakarta?” tanya Angel, sambil menatap Andrean dari balik cangkir kopinya.
Andrean menghela napas. “Kayak menang lomba lari, tapi pas finish malah ngerasa kosong.”
Angel tersenyum. “Aku ngerti.”
Mereka diam sejenak, sebelum Angel melanjutkan. “Andrean, aku nggak cuma manggil kamu ke sini buat nulis bareng. Ada yang pengen aku tunjukin.”
Mata Andrean memicing curiga. “Apa tuh?”
Angel berdiri, meraih tasnya, lalu mengeluarkan sebuah map cokelat lusuh. Ia dorong map itu ke depan Andrean.
“Ini draft novel pertama aku,” ucap Angel. “Yang belum pernah aku tunjukkin ke siapa pun. Aku pengen kita kerjain ini bareng.”
Andrean membukanya perlahan. Tulisan tangan Angel memenuhi tiap halaman. Isinya... kasar, mentah, tapi jujur. Ada rasa yang kuat di sana, rasa yang tak pernah ia lihat dari Angel sebelumnya.
“Kita tulis bareng,” ulang Angel. “Bukan buat pasar, bukan buat penerbit besar, cuma buat kita.”
Andrean mengangguk. Untuk pertama kalinya dalam enam bulan, ia merasa bebas dari beban komersial, bebas dari tuntutan dunia sastra yang keras. Ini murni soal tulisan, soal cerita, soal rasa.
---
Hari-hari Andrean di Paris diisi dengan menulis bersama Angel di apartemen kecil di kawasan Latin Quarter. Tempat itu sempit, tapi hangat. Di dinding, penuh dengan sticky notes, coretan ide, dan foto-foto mereka berdua selama menulis.
Terkadang mereka berdebat soal alur cerita. Kadang Andrean bersikeras soal ending tragis, sementara Angel ngotot pengen ending yang penuh harapan. Tapi itu bagian dari proses mereka, dan setiap perbedaan itu malah bikin cerita mereka makin hidup.
Suatu malam, saat hujan turun deras di luar, Angel duduk bersandar di sofa, matanya menerawang.
“Andrean, kamu pernah nyesel nggak?” tanyanya pelan.
Andrean meletakkan laptopnya, menatap Angel. “Nyesel soal apa?”
“Soal semua ini. Ngejar mimpi, ninggalin rumah, ninggalin keluarga.”
Andrean berpikir sejenak. “Kadang iya. Waktu papa masuk rumah sakit, waktu mama sendirian, gue mikir, apa gue terlalu egois buat ninggalin mereka demi nulis? Tapi... kalo nggak gini, gue bakal nyesel seumur hidup.”
Angel mengangguk. “Aku juga.”
Mereka saling tatap, lalu Angel mendekat. Tak ada kata, tak ada janji. Hanya keheningan yang dalam, dan genggaman tangan yang erat. Malam itu, mereka tahu, mereka nggak sendirian lagi.
---
Dua bulan berlalu. Draft novel mereka hampir selesai. Mereka beri judul “Titik Temu”—cerita tentang dua jiwa yang saling mencari di dunia yang terasa asing, tentang kehilangan, pengampunan, dan menemukan rumah dalam diri satu sama lain.
Tapi hidup nggak pernah semulus yang mereka kira.
Suatu pagi, Angel mendapat kabar dari ibunya di Indonesia. Kakeknya yang selama ini membiayai kehidupannya di Paris sakit keras, dan keluarganya minta Angel segera pulang. Angel bingung, takut. Ia merasa baru saja menemukan tempatnya di dunia ini, bersama Andrean, bersama cerita mereka.
“Pergi, Angel,” kata Andrean suatu malam saat mereka duduk di jembatan Pont des Arts. “Keluarga lo butuh lo.”
Angel menunduk, menahan air mata. “Terus kita gimana?”
Andrean menatap jauh ke Sungai Seine, di mana lampu-lampu kota Paris memantul di permukaannya. “Kita nggak ke mana-mana. Cerita kita tetap ada. Gue bakal nunggu lo.”
---
Minggu berikutnya, Angel kembali ke Indonesia, meninggalkan Andrean di Paris dengan draft novel yang hampir selesai. Andrean merasa kosong lagi, tapi kali ini berbeda. Ada harapan. Ada keyakinan.
Ia terus menulis, menyempurnakan novel mereka, sambil mengisi hari-harinya dengan membaca, berjalan di taman, dan sesekali tampil di acara komunitas sastra Indonesia di Paris.
Sampai suatu hari, ia menerima email dari editor besar di Prancis. Mereka tertarik dengan draft “Titik Temu” yang Andrean kirim diam-diam.
Email itu berakhir dengan kalimat:
"This story needs to be heard by the world."
---
Andrean memandang langit Paris dari jendela apartemennya. Ia tersenyum kecil, menutup laptopnya, lalu menulis email singkat ke Angel.
"Kita berhasil, Angel. Ini baru permulaan."
---
BERSAMBUNG…