kehampaan dan kesempurnaan, ada seorang siswa SMP yang hidup dengan perlahan menuju masa depan yang tidak diketahui,"hm, dunia lain?hahaha , Hmm bagaimana kalau membangun sebuah organisasi sendiri, sepertinya menarik, namanya... TCG?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mult Azham, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANTAN WAKIL 2
Yorde dan Raisya duduk di sofa yang sama, dengan sedikit jarak di antara mereka. Sementara itu, Dea berdiri di belakang sofa, memperhatikan percakapan mereka.
Yorde menjelaskan tentang penyakit yang diderita Azam, sejak kapan penyakit itu muncul, dan bagaimana kondisinya sekarang. Raisya terkejut. Informasi sepenting ini tidak pernah sampai padanya. Ada rasa gagal yang tiba-tiba muncul dalam hatinya.
Melihat ekspresi Raisya yang berubah, Yorde berusaha menghiburnya. Namun, sebelum sempat mengatakan sesuatu, Dea yang sedari tadi diam menatapnya lama.
Tiba-tiba, tuk!—Dea menyentuh pipi Yorde.
“Waa!” Yorde tersentak kaget, bersamaan dengan Dea yang tampak bingung dengan apa yang baru saja dilakukannya.
"M-maaf!!" Dea buru-buru menunduk, wajahnya memerah.
Yorde hanya bisa diam, masih tidak mengerti situasi yang terjadi. Sementara itu, Raisya yang duduk di sampingnya memasang ekspresi jahil.
“Dea, apa kamu suka Yorde?” tanyanya dengan nada menggoda.
Dea dan Yorde langsung tersentak.
"Apa!?" Mereka berdua saling menatap, lalu buru-buru menundukkan kepala, sama-sama malu.
Raisya membiarkan mereka dalam situasi canggung itu sejenak sebelum menepuk tangannya. Plak!
Yorde menoleh.
Raisya mengubah nada suaranya menjadi lebih serius. "Ehem, bolehkah aku masuk ke kamar Abah?"
Yorde langsung menolak. “Jangan!”
“Hm? Kenapa?”
“Soalnya… itu bisa saja mengganggu Abah. Lagipula, Abah tidak memberi izin. Takutnya…”
Raisya memotong, "Tidak apa-apa. Biar aku yang urus. Aku akan bertanggung jawab."
“Tapi…” Yorde masih ragu.
"Tenang saja. Apa kamu tidak menghargai perkataan Mom ini?" Raisya berbicara santai, tetapi tetap menunjukkan otoritasnya.
Meskipun Raisya sudah menjadi mantan Wakil, Yorde tetap menghormatinya seperti halnya Wakil yang masih menjabat saat ini.
Yorde tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan wajah pasrah, dia akhirnya mengangguk. “Baiklah…”
Dia bangkit dari sofa, melangkah menuju pintu kamar Azam, lalu membukanya.
Di dalam, Azam terbaring di atas kasur. Wajahnya tampak tenang, seolah sedang tenggelam dalam mimpi indah.
Yorde terkikik. “Sepertinya Abah mimpi indah.”
Dea berusaha mengintip, tapi tubuh mereka berdua menghalangi pandangannya.
Raisya menoleh ke arah Yorde. “Bisa tinggalkan kami berdua?”
Yorde dan Dea saling berpandangan, merasa aneh dengan permintaan itu.
“Bukankah tidak sopan jika terlalu banyak orang masuk ke kamar yang mulia?” Raisya berkata dengan senyum kecil.
Yorde berpikir sejenak. ‘Apa maksudnya yang mulia? Idiom?’ Namun, dia merasa ada benarnya juga. Akhirnya, dia menutup pintu dan meninggalkan Raisya bersama Azam yang tertidur.
Di luar kamar, Yorde dan Dea hanya bisa mengobrol dengan canggung.
...----------------...
Di Dalam Kamar Azam
Raisya duduk di samping kasur Azam, lututnya menyentuh lantai. Ia menatap wajah Azam yang terbaring, merasakan kerinduan yang begitu dalam.
“Baah… kangen…” bisiknya lirih.
Tangannya terangkat, hendak menyentuh wajahnya. Namun, tiba-tiba, mata Azam terbuka.
Raisya tersentak. “A-Abah!?”
Azam terengah-engah, keringat membasahi dahinya. Wajahnya terlihat gelisah, sesuatu yang belum pernah Raisya lihat sebelumnya.
Raisya langsung cemas. “Abah nggak apa-apa? Aku kira Abah sedang mengalami penyakit tidur…”
Azam menarik napas dalam-dalam. Pandangannya masih kosong.
“Apa Abah memimpikan sesuatu yang buruk?” Raisya bertanya hati-hati.
Azam mengangguk pelan. “Iya… Dunia ini tiba-tiba bersih dari korupsi. Kedamaian ada di mana-mana. Tak ada perang, tak ada perselisihan… Dunia yang begitu damai....”
Raisya membeku. Alisnya naik, matanya membulat. Bukankah itu seharusnya mimpi indah? Bukankah itu yang diinginkan semua orang? pikirnya.
Azam akhirnya sadar akan kehadiran Raisya. Ia bangkit dari tidurnya, duduk di tepi kasur dengan kaki menapak lantai.
“Raisya? Kenapa kamu di sini?” tanyanya.
Raisya tersenyum malu. “Oh… itu… karena Raisya kangen, hehe…”
Dia memainkan jari telunjuknya, menyentuh jari telunjuk yang lain dengan malu-malu.
Azam menghela napas. “Hanya itu? Ya sudah, tak masalah. Abah juga punya hal penting yang ingin dibahas.”
Ia menoleh ke arah jam, lalu melirik jendela. “Hm, apakah sudah siang? Sepertinya Abah melewatkan salat Subuh.”
Azam berdiri dan berjalan ke arah lemari baju. Ia mulai membuka kancing bajunya, tetapi tiba-tiba menyadari sesuatu.
Dia menoleh ke belakang dan melihat Raisya menatapnya dengan mata menyipit.
“Caa.” Azam mengingatkannya dengan nada lembut tapi tegas.
“Hehe.” Raisya tertawa kecil, lalu segera bangkit dan keluar kamar.
Setelah itu, mereka makan bersama sebelum membahas hal yang penting.