Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tricked
Kopiku sudah habis, Lily si pacarku masih di kantor.
Tak terasa hari sudah sore.
Iya, tahu-tahu sudah sore saja.
Sejak kejadian pembegalan itu aku sering bengong. Tapi istimewanya aku, aku cari tempat dulu, dimana aku bisa menyendiri, dan kapan waktunya, lalu aku bisa saja bengong seharian. Tidak memikirkan hal-hal sulit, nggak ngapa-ngapain hanya ditemani kopi dan kursi untukku duduk.
Memandang ke arah luar, ke arah dunia dengan caraku sendiri.
Kunikmati hidup yang sudah diberikan Tuhan ini dengan hikmat.
Mirip seperti biksu bertapa, hanya mendengarkan alam.
Kuingat-ingat apa dosaku, apa kelakukan brengsekku, apa yang salah, seharusnya bagaimana, lalu setelah itu biasanya akan muncul ide-ide ajaib yang berseliweran.
Seperti sekarang, aku memiliki suatu ide yang mungkin saja bisa membuat masa depanku menjadi lebih cerah dan bermanfaat.
Kuarahkan pandanganku ke samping, ke laptop pacarku.
Aku mencari banyak sekali informasi mengenai tempat kerja Lily, tentunya melalui peralatan teknologi milik Lily karena aku tak berani memakai userku sendiri. Dan ternyata... aku berada di ‘jalan yang benar’.
Mungkin sudah jalan Tuhan saat aku merencanakan untuk mencuri ponsel canggih milik salah satu pria pelangganku, yang mana bukan kebiasaanku mencuri saat pelanggan itu dicafe. Biasanya tim yang kubentuk melancarkan aksinya di luar cafe.
Aku bisa bekerja di cafe itu karena memiliki kebiasaan ‘aneh’ yang perfeksionis. Aku suka meracik kopi. Dari awal, dia berbentuk bubuk, sampai kugiling, kutambahkan rempah, kugiling lagi, kubakar, kupanaskan, dan banyak lagi. Walau pun aku tidak memberikan data diri secara lengkap, tapi aku sudah 9 tahun bekerja di cafe itu. Dari mulai aku belum lulus sekolah, sampai akhirnya ambil kejar paket, lalu berkuliah, dan kini pendidikanku selesai aku tetap bekerja di cafe itu. Dari mulai pemiliknya seorang kakek tua dari Prancis, lalu diturunkan ke anak laki-lakinya karena si kakek meninggal, dan kini ke anak perempuannya karena si kakak bekerja di luar negeri, dan aku masih bekerja di sana.
Anak perempuannya cantik, sering kugoda kalau aku ada maunya, seperti kalau aku banyak urusan dan aku ingin libur lama, atau masalah kenaikan gaji. Aku tahu keuangan cafe itu jadi aku tak minta naik gaji banyak-banyak. Walau pun customernya rata-rata orang kalangan menengah ke atas karena harga pastry dan kopi di sana mahal banget berkaitan dengan kualitas bahan-bahannya. Mendiang kakek Prancis itu tahu pemasok yang tepat dan berkualitas dan sampai sekarang anak-anaknya tetap berusaha mempertahankan kebiasaan si kakek Prancis. Jadi walau mahal, cafe itu memiliki banyak pelanggan tetap.
Jadi aku juga berniat mempertahankan reputasi cafe itu sebisa mungkin. Kuusahakan korban-korbanku tidak menyadari benang merahnya.
Well, hanya ini yang bisa kulakukan dengan identitas palsuku. Tak mungkin aku bisa masuk perusahaan besar dengan keadaanku yang seperti ini, dengan cepat mereka akan mengendus kalau aku adalah Axel Rio si buronan. Mencuri dari orang kaya adalah hal yang menurutku mudah, apalagi kalau si orang kayanya berseliweran di depanku seperti ini.
Jadi biasanya metodeku, dari cafe kuamati, kuhafalkan kebiasaan mereka, dan saat dia keluar cafe anak buah ku berjaga, mengamati pergerakannya. Lalu waktu eksekusi tidak dilakukan pada hari itu juga, tapi beberapa hari kemudian, di tempat berbeda. Seperti, si korban memakai gelang emas di tangannya, kebiasaannya adalah membayar makanan dengan qris, dan membeli jajanan di toko seberang gedung kantornya. Saat dia membayar jajanannya dengan qris, Anak buahku akan mendekatinya dengan membawa Jammer, alat penghalang sinyal, jadi dia akan fokus ke ponselnya karena sinyal terhalang, saat itu anak buahku akan memutuskan gelangnya dengan tang dari belakang. Gelang jatuh, anak buahku lari.
Tim ke 2 akan beraksi saat si korban kebingungan gelangnya hilang, saat dia panik, anak buahku beraksi, biasanya untuk aksi kedua aku menyuruh tim dengan anggota perempuan, untuk mengambil dompet dari tasnya sembari pura-pura membantu si wanita itu. Entah itu untuk mencari ke dalam selokan, atau di jalanan, pokoknya memanfaatkan keadaan si korban. Hani biasanya paling bisa dipercaya oleh si korban karena wajahnya cantik dan polos. Orang tak akan menyangka dia pencuri. Dompet diambil, uang tunai kami ambil, dompet dan kartu-kartu kami buang di jalanan yang biasanya dilalui si korban jadi dia tetap bisa menemukan dompetnya tapi ya isinya sudah kami kuras.
Ya, Hani.
Kuajak dia berpartisipasi karena aku tak ingin membeda-bedakan anak didikku.
Aku tak ingin Hani merasa istimewa, dia harus bisa berbaur. Karena aku mengistimewakan Farid, berkaitan dengan kondisinya, anak lain membencinya. Aku tak ingin Hani bernasib sama seperti Farid. Anak-anak di sini tidak peduli dengan kondisi fisik seseorang yang terbatas. Mereka menilai, mereka semua terbatas. Padahal Farid tidak bisa banyak hal, untuk bicara saja dia tidak bisa.
Ya tentu saja dia kularang mengamen, kularang jadi pemulung, kularang berjualan.
Aku khawatir terhadap keadaannya.
Tapi anak lain ternyata tidak terima kalau Farid kuperlakukan begitu. Dengan Hani mereka masih menoleransi karena aku bilang kalau Hani adalah adikku. Tapi kalau Farid, dia anak yang terbuang. Sama seperti semua anak-anak di sini. Jadi harus disamaratakan. Begitu alasan mereka.
Terus terang saja aku tidak ingin mereka membenci Hani, gadis itu segala-galanya bagiku. Ada kewajibanku yang belum tuntas atas hidup Hani. Jadi Hani kuperlakukan sama dengan anak lain untuk menghindari perlakuan istimewa.
Dan kebetulan, gadis itu bisa belajar dengan cepat.
Dia kuajari berbagai macam hal, apa yang boleh dan tak boleh. Apa yang tak boleh tapi terpaksa harus dilakukan. Saat bagaimana harus menghindari dan saat bagaimana harus mendekat.
Juga kubilang padanya, aku sebenarnya bukan kakak kandungnya.
Aku sering bersikap kasar padanya, seperti perlakuanku ke anak-anak lain. Karena hal fisik seperti itu harus diajarkan. Hidup mereka keras di jalanan. Soal fisik, mereka harus lebih tangguh dari anak normal. Kalau anak lain kutendang, dia juga kan kutendang. Anak lain kutampar, dia juga akan kutampar.
Walau pun setelahnya aku minta maaf saat dia tertidur.
Ada beberapa anak yang kunilai kuat, tugas mereka adalah menjaga garda depan. Seperti Ical, asep dan Anton yang kuajarkan beladiri. Karena saat aku tak ada, mereka harus menjaga kampung. Juga tentunya, menambah pundi-pundi kas kami. Mereka bisa kugunakan untuk tujuan kekerasan seperti perang antar geng atau satpol PP. Mereka adalah penyerang terdepan.
Hani dan Farid kularang dekat-dekat mereka.
Karena aku harus memperlakukan Ical Cs seperti aku memperlakukan seekor anjing liar. Anjing liar bisa saja menggigit tuannya sendiri. Dan tujuan mereka adalah untuk ‘menjaga’ property. Itu saja. Tidak dihujani dengan kasih sayang. Karena saat kita bersikap lemah mereka akan menyerang.
Dan karena mereka juga tertarik pada Hani, Hani kudandani sejelek mungkin.
Kubelikan baju bekas, celana bau pesing, sepatu yang sudah bolong-bolong. Kubiarkan dia memulung karena akan membuat penampilannya jadi tak terurus. Dan kubilang ke orang lain kalau Hani itu calon istriku. Keperawanannya akan kujual ke orang kaya untuk dapat uang banyak, untuk biaya makan warga kampung. Setelah itu dia akan kuperistri. Orang mengira aku inses, aku bodo amat. Yang penting mereka takut dan tidak mendekati Hani.
Hani melakukan semua yang kuinstruksikan tanpa banyak tanya, dia terlihat sungguh-sungguh dan takut padaku.
Tapi mungkin karena rasa shocknya masih tersisa, dia juga tak ingat sama sekali mengenai asal-usulnya, dia sering bengong. Dia mengerti instruksi, dia paham, tapi tubuhnya seakan tidak patuh dengan perintah otaknya. Sering dia buffer sebentar, dan koneknya telat. Setelah kucubit pipinya, baru dia seakan tersentak lalu mengangguk mengerti.
Yang mengejutkannya, saat beraksi dia cekatan. Larinya cepat dan aktingnya bagus juga. Aku curiga dia mengamati tingkahku. Karena caranya berbicara itu walau pun polos tapi logat bicaranya mirip denganku. Jangan-jangan dia menjadikanku role model.
Gawat sih...
Karena kelihaian Hani itulah aku suatu saat memintanya mengalihkan perhatian seorang pria pelanggan Cafe untuk mencuri pastrami di atas mejanya.
Pria sombong berwajah dewa, memiliki dua ponsel mahal, dan suka bergonta ganti pasangan. Biasanya dia duduk di pojok sambil berciuman, dan ceweknya ganti-ganti setiap minggu. Sering juga cewek-cewek saling bertengkar memperebutkannya, dan pria itu hanya menyeringai sambil menatap tingkah ‘pacar-pacar’nya.
Aku sebal lihat tingkahnya.
Harus kukerjai sedikit.
Tapi...
Ternyata dia bukan orang sembarangan.
Mencuri dari seorang pria lebih sulit dari wanita, karena pria biasanya tidak membawa banyak barang. Ponsel yang dibawa pria ini bisa kubongkar dan kujual perbagian.
Tapi kendalanya, pencurian itu harus kulakukan dengan tanganku sendiri, karena dia hanya lengah saat di cafe. Kulihat kalau di luar cafe, saat berjalan-jalan menuju gedung kantornya, dia selalu waspada mengamati sekitar.
Saat dia datang sendirian, kuarahkan dia untuk duduk di luar cafe.
Tentu dengan trik... Pastrami kuhidangkan, kuikat benang tipis ke garpu, dia tak lihat karena sibuk dengan ponselnya.
Saat kutarik garpu dan jatuh ke bawah, dia menunduk untuk ambil garpu, Hani pun mengambil sandwich di atas mejanya.
Dia lari mengejar Hani dan kuambil ponselnya.
Aku kaget...
Di ponselnya ada radar pelacak, ada sensor sidik jari, bahkan ada kamera pengintai. Kucoba buka kode keamanan di sana, gagal. Sekali gagal ada peringatan kalau kamera akan aktif dan wajahku akan terekspose.
Orang macam apa yang punya ponsel secanggih ini?
Tentu saja harus kukembalikan.
Tapi sidik jariku sudah terekam di ponsel ini.
Apa boleh buat, harus improvisasi.
Saat pria itu datang dengan wajah kebingungan, kuserahkan ponsel itu padanya. Kukatakan kalau ponselnya barusan jatuh ke bawah meja saat dia mengejar pencuri.
Nyatanya... tidak berhenti sampai di sana saja kisahku, malah... hal itu adalah awal mula aku bertemu dengan dunia yang baru, yang kuharapkan bisa membebaskanku dari kehidupanku yang ‘tidak jelas’ ini.
Tapi... untuk bisa terbebas, aku harus merelakan Hani lepas dariku.
Ke pelukan pria yang kubenci.
Tapi kunilai, lebih baik dariku.
Nama pria itu Devon, dia biasa dipanggil begitu saat pacar-pacarnya merajuk merayunya membelikan sesuatu.
kau kan liat Hana Sasaki pas ada luka g0r0k di lehernya... himawari keadaan baik baik saja...
jelas beda lah Jakson
mksih sdh rajin update teruuusss...
terima kasih up nya Thor séhat selalu 🙏🏻🙏🏻🥰
yg tadinya mood bacanya berterbangan entah kmn ....eeehh tetiba semangat lagi
nuhun madaaaam