Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Merajuk
Setelah diusir oleh Dave, Lusi dan Lisa meninggalkan rumah hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh mereka dan beberapa barang berharga yang sempat mereka ambil. Dengan penuh amarah dan rasa tak percaya, mereka langsung menuju apartemen Joni, pria yang selama ini menjadi kekasih Lusi.
Saat pintu apartemen terbuka, Joni menatap mereka dengan heran. “Kenapa kalian tiba-tiba datang seperti ini?" tanyanya dalam kebingungan karena Lusi dan Lisa membawa koper.
Begitu memasuki apartemen, Lisa langsung membanting tasnya ke sofa. “Dave! Dia mengusir kami dari rumah!”
Joni terkejut. “Apa?”
Lusi menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu menatap Joni dengan tatapan penuh kemarahan. “Semua ini ulah Dave! Dia membekukan kartu kredit kami, mengambil semua aset, dan sekarang dia bahkan mengusir kami dari rumah!”
Joni yang semula hanya terkejut, kini berubah marah. Ia berjalan mondar-mandir, menyadari bahwa rencana mereka untuk menguasai kekayaan keluarga Hertawan sedang berada di ambang kehancuran.
“Ini buruk,” gumam Joni. “Sangat buruk.”
Lisa mendengus kesal. “Buruk? Ini lebih dari buruk! Aku bahkan tidak punya tempat tinggal sekarang! Bagaimana kita bisa bertahan tanpa uang dan fasilitas yang biasa kita nikmati?”
Lusi duduk di sofa dengan wajah penuh kebencian. “Dave semakin menjadi-jadi sejak kecelakaannya. Aku sudah menahan diri selama ini, tapi sekarang… aku tidak bisa membiarkan dia berkuasa lebih lama.”
Joni menatap Lusi tajam. “Kau benar. Kalau kita tidak segera bertindak, kita akan kehilangan segalanya.”
Lisa menoleh dengan penuh semangat. “Apa kau punya rencana, Joni?”
Joni menyeringai licik. “Tentu saja. Kita hanya perlu satu langkah besar untuk menyingkirkan Dave dari jalur warisan.”
Lusi menyipitkan mata, seolah mulai memahami maksud Joni. “Maksudmu…?”
Joni mencondongkan tubuhnya ke depan. “Selama ini Dave adalah penghalang terbesar kita. Jika dia tidak ada, kekayaan keluarga Hertawan akan jatuh ke tanganmu, Lusi. Kau adalah ibunya, dan satu-satunya yang berhak mengelola warisan itu.”
Lisa tersenyum licik. “Kau ingin menyingkirkannya?”
Joni mengangguk. “Bukan hanya menyingkirkan. Kita harus membuatnya tidak bisa kembali.”
Lusi masih ragu sejenak. “Dave tidak mudah dijatuhkan. Dia mungkin lumpuh, tapi pengaruhnya masih sangat kuat.”
Joni tersenyum dingin. “Kita tidak perlu terburu-buru. Kita bisa memulai dengan melemahkan kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Jika reputasi Dave hancur, dia tidak akan punya kekuatan untuk melawan.”
Lisa terkekeh. “Dan setelah itu… kita buat dia benar-benar tak berdaya.”
Malam itu, di apartemen mewah Joni, tiga orang dengan hati penuh kebencian mulai menyusun rencana busuk mereka. Mereka akan memastikan bahwa Dave tidak akan pernah lagi menguasai kekayaan keluarga Hertawan.
___
Malam itu, Dave membawa Ana ke sebuah restoran mewah. Ana awalnya mengira bahwa ini adalah ajakan makan malam yang normal—mungkin untuk memperbaiki hubungan mereka yang sejak awal sudah terasa dingin dan penuh ketegangan.
Namun, begitu mereka duduk di meja, hanya Dave yang mendapat hidangan. Pelayan datang menyajikan steak premium, lengkap dengan anggur merah yang mahal, sementara Ana hanya duduk tanpa sepiring pun makanan di depannya.
Ana menelan ludah, menahan rasa lapar yang sejak tadi sudah menyiksanya. Sejak pagi, ia belum sempat makan dengan benar, dan ia berpikir malam ini setidaknya ia bisa menikmati hidangan yang layak.
Tapi tidak.
"Dave," panggil Ana pelan. "Kau tidak memesankan makanan untukku?"
Dave tidak langsung menjawab. Ia dengan santai memotong steak di hadapannya, mengunyah dengan tenang, lalu menyesap anggurnya sebelum akhirnya menatap Ana.
"Kenapa aku harus memesankan makanan untukmu?" tanyanya dingin.
Ana terkejut. "Apa maksudmu?"
Dave meletakkan garpunya, menyandarkan tubuh ke kursinya dengan ekspresi datar. "Kau bisa memesan sendiri jika ingin makan. Tapi... aku tidak pernah bilang bahwa makan malam ini untuk kita berdua. Jika kau ingin memesan, bayar sendiri!"
Ana merasa jantungnya mencelos.
"Jadi... aku hanya duduk di sini dan melihatmu makan?" tanyanya dengan nada terluka.
Dave mengangkat bahu. "Kalau kau ingin melihat, silakan. Kalau tidak, aku juga tidak peduli."
Ana mengepalkan tangannya di bawah meja. Ini keterlaluan. Sejak awal pernikahan mereka, Dave selalu memperlakukannya dengan sikap dingin, tapi malam ini benar-benar keterlaluan.
Ana menarik napas dalam, mencoba menenangkan emosinya. "Aku tidak mengerti, Dave. Kenapa kau selalu bersikap seperti ini padaku?"
Dave tersenyum kecil, tapi senyuman itu lebih terasa seperti ejekan. "Karena aku bisa."
Ana terdiam. Matanya mulai terasa panas, tapi ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan pria ini.
Akhirnya, dengan penuh amarah dan kekecewaan, Ana bangkit dari kursinya. "Aku tidak akan duduk di sini dan membiarkan diriku dihina seperti ini," ucapnya dengan suara bergetar.
Tanpa menunggu jawaban dari Dave, Ana langsung berjalan keluar restoran, meninggalkan pria itu sendirian.
Ia berdiri di luar, menyembunyikan rasa sakitnya di balik hembusan angin malam.
Dave bisa memperlakukannya sesuka hati, tapi Ana tidak akan membiarkan dirinya terus dipermainkan.
"Lumpuh saja angkuh, apalagi sehat. Pasti semua orang miskin seperti aku selalu dihina," ucap Ana dengan perasaan kesal.
Ingin sekali marah, tapi Ana tidak bisa, pernah tanpa sengaja Ana meminta cerai, tapi Dave meminta semua uangnya kembali. Ingin melarikan diri, tapi Dave sudah menegaskan kalau ia memiliki anak buah yang selalu mengawasi rumah 24 jam, itu artinya kalau Ana kabur, sudah pasti akan ketahuan.
Ana berdiri di luar restoran, menyilangkan tangan di dadanya sambil menahan rasa kesal dan sakit hati. Angin malam berhembus, menusuk kulitnya yang hanya berlapis gaun tipis.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi kata-kata Dave terus terngiang di kepalanya.
"Karena aku bisa."
Betapa dinginnya pria itu. Betapa kejamnya.
Selama ini, Ana sudah banyak mengalah, sudah terlalu sering menelan kata-kata kasar dan perlakuan dingin Dave. Tapi malam ini… sesuatu dalam dirinya mulai berubah.
Ia tidak ingin terus menjadi perempuan yang selalu menerima tanpa melawan.
Setelah beberapa menit berdiri di luar, Ana melihat Dave keluar dari restoran, ekspresinya tetap datar seperti biasa. Bukan pelayan tapi supir pribadinya yang mendorong kursi roda.
"Apa kau sudah selesai merajuk?" tanyanya santai.
Ana menatapnya dengan tajam. "Aku tidak merajuk, Dave. Aku hanya tidak mau dipermalukan di depan umum."
Dave menyeringai tipis. "Jadi kau memilih berdiri di luar seperti ini? Apa itu lebih baik?"
Ana mengepalkan tangannya. "Setidaknya di luar aku tidak perlu melihat seseorang yang sengaja mempermalukan istrinya sendiri."
Dave terkekeh pelan, lalu melirik ke arah jalan. "Baiklah. Kalau kau sudah puas berdiri di luar, ayo pulang."
Ana tetap diam, tidak segera bergerak.
"Apa kau tidak dengar?" suara Dave terdengar lebih rendah.
Ana menatapnya dalam-dalam. "Aku bisa pulang sendiri."
Dave menyipitkan mata, ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Apa maksudmu?"
Ana menghela napas. "Aku tidak ingin pulang bersamamu, Dave. Aku akan berjalan kaki."
Dave melipat tangannya di depan dada. "Jangan bertindak bodoh, Ana. Aku tidak akan membiarkan istriku pulang sendirian malam-malam seperti ini."
Ana tersenyum sinis. "Oh, sekarang kau peduli? Setelah membuatku duduk di depanmu tanpa makanan, setelah sengaja menghina dan mengabaikanku, sekarang tiba-tiba kau ingin bersikap seperti suami yang baik?"
Dave terdiam.
Untuk pertama kalinya, Ana melihat ekspresi yang berbeda di wajah pria itu—seperti seseorang yang tidak menyangka akan mendapat perlawanan.
Melihat itu, Ana merasa ada sedikit kepuasan dalam hatinya.
Ia tidak menunggu lebih lama. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ana berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Dave yang masih berada di depan restoran bersama supir pribadinya yang jarang sekali bicara.
Ana tidak akan lagi membiarkan dirinya menjadi seseorang yang terus disakiti tanpa melawan.
eh.... ada lagi kak othor, dave kan lumpuh kenapa tiba² jalan😭
kalo aku jadi ana, pasti aku akan minta uang bulanan. taat boleh tapi kesejahteraan diri harus prioritas🤭🤣