⚠️Warning⚠️
Cerita mengandung beberapa adegan kekerasan
Viona Hazella Algara mendapatkan sebuah keajaiban yang tidak semua orang bisa dapatkan setelah kematiannya.
Dalam sisa waktu antara hidup dan mati Viona Hazella Algara berharap dia bisa di beri kesempatan untuk menembus semua kesalahan yang telah di perbuatnya.
Keluarga yang dicintainya hancur karena ulahnya sendiri. Viona bak di jadikan pion oleh seseorang yang ingin merebut harta kekayaan keluarganya. Dan baru menyadari saat semuanya sudah terjadi.
Tepat saat dia berada di ambang kematian, sebuah keajaiban terjadi dan dia terbawa kembali ke empat tahun yang lalu.
Kali ini, Viona tidak bisa dipermainkan lagi seperti di kehidupan sebelumnya dan dia akan membalas dendam dengan caranya sendiri.
Meskipun Viona memiliki cukup kelembutan dan kebaikan untuk keluarga dan teman-temannya, dia tidak memiliki belas kasihan untuk musuh-musuhnya. Siapa pun yang telah menyakitinya atau menipunya di kehidupa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Gloretha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Di dalam kamar, Viona sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika melihat nama yang familiar di ponselnya, dia merasa sedikit jengkel. Dia menjawab dengan dingin. "Halo?"
Mendengar nada bicara yang berbeda, Leo hampir mengira bahwa dirinya telah menghubungi nomor yang salah. Dulu, Viona akan menempel padanya seperti lintah setiap kali mereka bertemu hingga Leo tidak akan bisa menjauhkan darinya. Jika bukan karena Ziya yang memintanya untuk menghubungi Viona, Leo tidak akan melakukan hal ini.
Leo dengan malas buka suara. "Viona, ini aku Leo."
"Gue tahu itu lo, trus kenapa?."
Leo terkejut dengan pernyataan yang tiba-tiba itu, mengira bahwa dirinya sudah salah mendengar. "Viona, ada apa sama nada bicara kamu? Lo-gue?." Tanyanya dengan heran.
"Lo kenapa sih cuma hal sepele aja mesti harus di tanyain? Gue repot-repot jawaban panggilan dari lo dan pertanyaan lo udah bikin gue terganggu."
Setelah beberapa saat terkejut, Leo mulai merasakan kemarahan yang membara. Sebagai sosok yang populer di kampus, ia tidak pernah di bentak oleh gadis manapun. Terutama Viona yang selama ini selalu dipandang rendah olehnya.
"Viona, kalau kamu bersikap ngga sopan kayak gini, aku tutup teleponnya!."
"Lo pikir gue sedih? Dasar cowok ga jelas!." Viona segera menutup panggilan tersebut sebelum Leo sempat mengatakan apa pun lagi.
Leo terkejut ketika Viona tiba-tiba memutuskan sambungan telepon mereka dan tidak dapat tersadar dari keterkejutannya selama beberapa saat. Ia masih bingung dengan apa yang terjadi pada Viona.
***
Di tempat lain, Varell tengah duduk di ruangan dengan pencahayaan yang remang-remang. Wajahnya yang tampan penuh dengan emosi yang tak terduga, dari kemarahan di awal, keheranan, lalu kebingungan, dan akhirnya, ketenangan.
Aldy berdiri di sana, tidak yakin dengan apa yang sedang berada di dalam pikiran bosnya. Namun berdasarkan pengalamannya selama bekerja bersama Varell, itu pasti tidak baik.
Aldy mulai khawatir dengan keselamatannya sendiri. Dan mengapa harus dirinya yang bertugas di dekat Bosnya? Ia sangat tidak beruntung, apa lagi ia memahami bagaimana sikap bosnya.
Aldy mengumpulkan keberaniannya dan ia pun berbisik. " Tuan muda, jangan marah... Nona Viona--"
"Aldy!." Varell tiba-tiba menyela, menukas perkataan Aldy.
"Ya, Tuan." Aldy menciutkan lehernya. Apakah bosnya begitu marah hingga dia kehilangan kesabarannya? Mengapa bosnya terdengar begitu tenang? Apakah ini ketenangan sebelum badai?."
Saat Aldy terhanyut dalam pikirannya, ia tiba-tiba mendengar Varell memberikan perintah. "Periksa jadwal penerbangan besok pagi, kita akan ke New York."
"B-baik, tuan muda."
Aldy mendongak kaget, bingung saat menatap Varell. Apakah dirinya baru saja berhalusinasi? Bosnya setuju untuk pergi ke New York? Bukankah bos seharusnya marah dan kemudian pergi menemui Viona, seperti biasanya?.
"Lo bisa denger perintah gue?." Tanya Varell sekali lagi.
Kali ini, Aldy yakin bahwa dirinya tidak salah dengar. Meskipun ia terkejut, itu adalah kabar yang baik bahwa bosnya akan pergi ke New York untuk pengobatan.
"Baik, Tuan muda." Jawab Aldy, bersiap untuk pergi. Tetapi beberapa langkah kemudian ia berhenti ketika mendengar suara Varell. "Kirim salinan lengkapnya ke Viona setelah penerbangan di konfirmasi."
"Ya, baik, Tuan muda." Kata Aldy sembari menutup pintu dan mendesah dalam hati. Apakah bosnya benar-benar mengira bahwa Viona akan datang menemuinya? Bukankah Viona sudah cukup menipunya? Apa gunanya semua ini? Meskipun merasa khawatir, Aldy tetap menjalankan tugasnya memesan tiket pesawat dan mengirimkan informasinya kepada Viona. Seperti yang diharapkan, Viona tidak memberikan tanggapan. Tampaknya sang bos akan kecewa besok
***
Keesokan paginya, di luar bandara internasional Soekarno-Hatta, Jakarta. Sebuah Rolls-Royce panjang diparkir di pinggir jalan, menarik perhatian semua orang yang lewat di sekitarnya.
Varell keluar di bantu oleh dua asistennya dan masuk ke dalam pintu jalur VIP, di belakangnya ada Ethan dan Aldy, lalu beberapa bodyguard-nya. Varell mengenakan setelan jas hitam, dengan kedua tangan terlipat di lutut, ia belum memasuki pintu keberangkatan. Ia tampak sedang menunggu seseorang, memperhatikan kerumunan yang datang dan pergi.
Seiring berjalannya waktu, hawa dingin perlahan menyelimuti wajah tampan Varell. Pengumuman keberangkatan pesawat telah mengingatkan para penumpang untuk segera naik ke pesawat. Ethan dan Aldy saling berbagi pandangan, lalu secara bersamaan mengacungkan jari-jari mereka dalam permainan batu-gunting-kertas. Ethan kalah telak. Kelopak matanya berkedut, dan dia dengan kaku menarik kembali jari-jarinya.
Aldy menatap dengan tatapan mata jahat saat Ethan dengan enggan membungkuk dan berbisik ditelinga Varell. "Tuan muda, kita tidak punya waktu banyak lagi. Kalau kita tidak segera naik pesawat, kita mungkin tidak akan sampai tepat waktu."
Varell tetap diam, matanya yang cekung menatap pintu masuk. Ia tidak banyak berharap, tetapi terakhir kali Viona mengatakan akan datang. Jujur Varell tidak bisa menahan perasaan sedikit berharapnya.
Ethan mendorong kursi roda Varell ke arah pintu keberangkatan dan saat mereka hendak memasuki lorong, sebuah suara yang familiar tiba-tiba memanggil dari belakang mereka. "VARELLINO!" Suara gadis itu jelas dan mendesak.
Mata Phoenix Varell tiba-tiba melotot ke atas. "Berbalik!." Perintahnya.
Ethan segera memutar kursi rodanya dan kembali menuju pintu keluar. Viona terlihat cantik saat mengenakan gaun bermotif bunga dengan rambut disanggul biasa, tengah melihat ke arah mereka. Begitu melihat Varell, Viona berlari ke arahnya dengan penuh semangat. Dia tampak tergesa-gesa untuk sampai di sana, terengah-engah dan berkeringat deras.
"Gimana kamu bisa nyampe ke sini?." Varell terkejut dengan kejutan yang tiba-tiba ini dan tidak dapat menahan diri untuk melontarkan pertanyaan itu.
Viona tersenyum padanya dengan mata melengkung. "Aku ke sini karena pengen ketemu kamu." Melihat wajah gadis muda itu, kesuraman Varell langsung sirna.
Viona mengangkat sebelah alisnya yang indah dan berkata perlahan. "Aku nunggu kamu ngabarin aku, tapi aku ngga dapet kabar dari kamu. Jadi--"
Saat Viona buka suara, ia memperhatikan ekspresi di wajah Varell. Menghadapi pernyataannya, Varell menatapnya dalam-dalam dan kemudian berkata. "Karena kamu udah blokir semua akses kontak ku."
"Eh... emang ya? Masa iya sih aku blokir kamu?." Viona membelalakkan matanya karena panik dan berpikir sejenak. Sepertinya memang begitu. Dia menepuk dahinya dan menunjukkan senyum konyol, "Haha, ini cuma kesalahpahaman. Nanti kalau aku udah sampe rumah aku cek lagi."
Setelah berbicara, Viona mengulurkan tangan dan menyerahkan sebuah kotak dari tangannya. "Ini, sebagai permintaan maaf. Aku membuatnya sendiri dan butuh waktu yang lama."
Varell mengulurkan tangannya dan mengambil kotak itu dari Viona, menatap wajah polosnya. Semua terasa seperti mimpi, membuat Varell sangat terkejut dan syok, bahkan gerakan tangannya terlihat kaku.
Melihat Varell yang tidak bersemangat, Viona merasa sangat kecewa. Apakah karena dirinya terlambat datang untuk menemui Varell, membuat lelaki itu merasa kesal?
Pada saat yang bersamaan, pengumuman keberangkatan kembali terdengar. Viona menarik napasnya dalam-dalam dan menyembunyikan kekecewaannya. "Hm... kamu lebih baik cepet-cepet naik ke pesawat, waktu kamu hampir abis!." Ia tersenyum dan melambaikan tangannya pada Varell.
Tiba-tiba, Varell mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Viona yang lembut. Viona terkejut dan secara naluriah bersiap menarik tangannya, tetapi ketika tatapan mata Varell bertemu dengan tatapannya, Viona tiba-tiba terdiam.
"Tunggu aku pulang, Sayang." Bisik Varell, suaranya terdengar penuh dengan kasih sayang yang dalam.
Viona merasakan sensasi yang aneh di dadanya, bukan ketakutan biasa, tetapi sesuatu yang sulit untuk di gambarkan.
Viona tersadar dan segera tersenyum. "Oke, aku pasti selalu nungguin kamu!."
Melihat senyuman Viona, membuat jantung Varell berdebar kencang. Ia ingin berdiri dan memeluk gadisnya dengan erat, tetapi akal sehatnya menang.
Varell perlahan melepaskan genggamannya, matanya yang dalam menatap tajam ke mata Viona yang jernih, seolah ingin melihat ke dalam hati gadis itu.
Aldy yang menyaksikan adegan mesra ini dan bertukar pandang dengan Ethan. Batu-kertas-gunting! Kali ini, Aldy kalah.
Aldy dengan kikuk menarik jarinya dan menelan salivanya. Apakah dirinya benar-benar harus menjadi orang yang merusak momen romantis ini? Aldy menundukkan kepalanya dan berbisik di telinga Varell. "Tuan muda, kita harus pergi sekarang. Kalau tidak--"
Perkataan Aldy terpotong saat ia merasakan hawa dingin di lehernya. Tepat saat itu Varell meliriknya dengan tidak senang dan kilatan dingin muncul di matanya.
Membuat Aldy terdiam membeku, jika di pikir-pikir ia juga tidak ingin merusak momen romantis ini, tetapi hal lain yang mendesaknya untuk melakukan ini!
"Kamu harus cepatan pergi, Varellino Jonathanial Bramasta!." Desak Viona..
Varell menatapnya dengan enggan sebelum akhirnya menjawab. "Oke, aku berangkat."
Ethan dan Aldy akhirnya dapat menghela napas lega dan mendorong kursi roda Varell agar berjalan cepat ke lorong. Setelah mereka berjalan agak jauh, Varell akhirnya membuka jari-jarinya yang terkepal erat dan mendekatkannya ke hidungnya, mengendus pelan. Telapak tangannya sepertinya masih menyimpan aroma harum gadis itu.
Ethan yang di perintahkan untuk memegangi kotak pemberian dari Viona, terlihat membuka kotak itu dengan sangat berhati-hati. Di dalamnya terdapat kue cokelat buatan tangan. Kue coklat itu tampak tidak menarik, semuanya bengkok dan beberapa bahkan meleleh. Ethan mengerutkan kening saat melihatnya. Ia tahu bahwa bosnya tidak menyukai makanan manis, terutama yang tidak tampak menggugah selera.
Dia membungkuk dan berbisik. "Tuan muda, biar saya yang mengurus sampah ini."
"Ngga perlu, mana!." Kata Varell, meminta kotak itu dari Ethan dan yang paling mengejutkan bagi kedua asisten kocak itu adalah, mereka melihat Varell mengeluarkan sebatang kue dan perlahan-lahan memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasanya tidak begitu enak, tetapi membuatnya merasa bahwa itu adalah makanan terenak yang pernah dimakannya seumur hidupnya. Makanan itu dibuat oleh tangan Viona sendiri dan meskipun itu racun, Varell akan tetap memakannya dengan senang hati, asalkan itu buatan Viona.