Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Di Boyong
Hanung yang baru saja selesai sholat isya' mendengar percakapan Ibu Jam, karena kebetulan kamarnya bersebelahan dengan ruang tamu. Rumah dengan batu bata merah tanpa plafon tersebut tidak kedap suara, tentu Hanung bisa menebak siapa yang sedang berbicara dengan Ibu Jam. Ia pun mengganti mukena nya dengan hijab dan keluar kamar.
"Umi.." sapa Hanung yang segera menyalami Bu Nyai dan Umi Siti.
"Ini dia yang dicari!" seru Umi Siti.
"Begini, Mbak Hanung. Bu Nyai mau boyong Mbak Hanung sekarang, agar Gus Zam bisa membiasakan diri dengan kehadiran Mbak Hanung. Bagaimana menurut Mbak Hanung?" tanya Ibu Jam.
"Maaf. Apa nanti tidak menimbulkan fitnah, Umi?"
"Tidak, Nung. Kalian tidak tinggal satu rumah. Nanti kamu tinggal di rumahnya Siti." kata Bu Nyai.
"Menurut Ibu bagaimana?" Hanung meminta pertimbangan Ibu Jam.
"Kalau kamu tanya Ibu, jujur Ibu tidak setuju. Tetapi dengan kondisi kalian, Ibu setuju karena keadaan Gus Zam yang tidak bisa beradaptasi dengan orang baru perlu pendekatan."
"Kalau Ibu bilang seperti itu, Hanung ikut Ibu."
"Jadi, Hanung setuju?" Hanung mengangguki pertanyaan Bu Nyai.
"Alhamdulillah.." ucapa ketiga perempuan beda usia tersebut.
"Kamu bawa pakaian ganti secukupnya saja, Nung!" kata Umi Siti semangat.
Hanung pun pamit untuk mengemas pakaian dan beberapa keperluan. Masih tersirat sedikit keraguan dihati Hanung saat ini, tetapi ia memilih untuk meneguhkan hatinya atas apa yang telah ia putuskan. Ia berharap, Allah membimbing nya di jalan yang diridhoi-Nya.
"Mbak Hanung, semua yang Ibu ajarkan tolong diamalkan. Kamu sebentar lagi akan menjadi seorang istri, tugas Ibu sebagai seorang Ibu akan berhenti disini. Tetapi jika Mbak Hanung menginginkan teman berbicara, Ibu lebih dari senang untuk mendengarkan." pesan Ibu Jam sebelum Hanung berangkat.
"Kenapa Ibu mengatakan seolah-olah tidak akan bertemu Hanung lagi?" keluh Hanung.
"Bukan begitu, Ibu hanya merasa berat melepas Mbak Hanung." Ibu Jam menitikkan air mata.
Bu Nyai dan Umi Siti bersamaan memeluk bahu Ibu Jam. Mereka sudah seperti keluarga, mereka bisa merasakan kesedihan satu sama lain.
"Ibu, jaga kesehatan ya? Ibu harus menyaksikan pernikahan Hanung, nanti!" kata Hanung mengalihkan kesedihan sang ibu tiri.
"Iya." Ibu Jam memeluk Hanung.
Hanung pun membalas pelukan Ibu Jam. Ia bersyukur bisa memiliki seorang Ibu seperti Ibu Jam. Sedangkan ibunya sendiri, ia tak tahu. Ia bahkan sudah lupa dengan wajahnya karena semua jejak sang ibu telah dihapus oleh sang ayah.
Setelah kepergian Hanung dan Bu Nyai, Ibu Jam masuk kedalam kamar dan membuka laci meja. Ada ponsel Ayah Hanung disana. Beliau yang selama ini tidak pernah membuka ponsel milik suaminya pun memberanikan diri untuk menyalakannya. Tujuan Ibu Jam adalah kontak, beliau mencari nama Rati disana dan yang terlihat adalah nama Surati.
"Apa nama aslinya Surati?" gumam Ibu Jam.
Ibu Jam hanya bisa bertaruh, bagaimana pun Ibu kandung Hanung harus tahu. Entah bagaimana tanggapannya nanti, Ibu Jam siap dengan keputusannya. Setelah memindahkan nomor ke ponselnya, Ibu Jam keluar kamar dan mencoba menghubungi nomor tersebut.
"Bismillah.." ucap Ibu Jam saat menekan ikon memanggil.
Dering pertama, tidak diangkat. Dering kedua, masih tidak diangkat. Sampai dering ketiga, ada suara perempuan mengucapkan salam disana.
"Wa' alaikumsalam.. Apa benar ini Bu Rati, ibu dari Hanung Rahayu?" tanya Ibu Jam sambil bergetar.
"Ya. Anda siapa?"
"Saya Jamilah, istri dari almarhum Pak Agus Suryanto."
"Almarhum?" Surati terkejut.
"Ya. Beliau berpulang setengah tahun yang lalu."
"Innalillahi wainnailaihi roji'un.. Turut berduka cita ya, Mbak."
"Terima kasih, Bu Rati. Maaf kalau mengganggu, maksud saya menghubungi Ibu adalah untuk mengabarkan kalau Hanung sebentar lagi akan menikah."
"Menikah? Bukankah Hanung seharusnya baru lulus SMA?"
"Ya, sudah lulus setengah tahun yang lalu."
"Kenapa tidak melanjutkan kuliah?"
"Qadarullah, ada yang melamarnya dan Hanung setuju."
"Kapan acaranya?"
"Minggu ini."
Entah apa yang sedang dibicarakan diseberang sana, Ibu Jam tidak mengerti bahasa yang digunakan. Tetapi tak lama kemudian sambungan terputus tanpa ada kejelasan. Ibu jam menghela nafas dalam. Paling tidak beliau sudah mengabarkan, datang tidaknya terserah Surati. Ibu Jam pun meletakkan ponselnya dan masuk kedalam kamar untuk beristirahat.
Di sisi lain.
Surati sedang bertengkar dengan suaminya, Donga Sidabutar. Pertengkaran mereka dipicu panggilan telepon yang dilakukan Ibu Jam, yang mana membawa nama mantan suami Surati.
"Aku tidak berhubugan dengan Agus. Yang menelepon ku itu istrinya, dia mengatakan kalau Agus sudah meninggal setengah tahun yang lalu dan anakku akan menikah minggu depan." Surati melirihkan suaranya agar sang suami tidak semakin emosi.
"Apa hubungannya denganmu?"
"Jelas ada hubungannya, Pah. Hanung anakku, aku yang melahirkannya."
"Sekarang kamu mengatakan dia anakmu! Dulu saat aku memintamu untuk membawanya bersamamu, kamu menolaknya!"
"Dulu kita masih merintis karier, Pah. Tidak mungkin aku membawa Hanung bersamamu sedangkan kamu juga membawa dua anakmu. Bagaimana kita membagi penghasilan jika harus menghidupi 3 anak?" Donga terdiam seketika.
Keduanya pun diam. Surati dengan penyesalannya, jika saja Hanung ikut dengannya sudah pasti akan mengenyam pendidikan lebih baik daripada menikah muda. Sedangkan Donga dengan egonya, tidak mau mengakui jika apa yang dilakukan Surati dulu adalah demi kelangsungan hidup mereka yang pada saat itu sedang kesusahan. Dirinya yang baru saja di PHK nekad merintis usaha catering dengan modal uang pesangon dan tabungan Surati.
Sementara itu, Hanung yang baru saja sampai di pesantren segera disambut oleh Pak Kyai, Ning Alifah, dan Ning Zelfana, si bungsu. Hanung menyalami mereka satu persatu-satu. Ning Zelfana yang seumuran dengannya dan sudah akrab pun langsung mengajak Hanung masuk ke kamarnya.
Bu Nyai dan Pak Kyai hanya bisa menggelengkan kepala mereka karena sikap anak bungsu yang terlalu blak-blakan. Umi Siti yang seharusnya menjadi penanggungjawab Hanung, hanya mengendikkan bahu. Sedangkan Gus Zam, hanya diam di kegelapan teras menyaksikan keakraban Hanung dengan sang adik.
"Kenapa tidak ikut menyambut tadi, Gus?" tanya Umi Siti yang melihat Gus Zam.
"Tidak." jawab Gus Zam.
"Malu?" Gus Zam mengangguk.
"Kenapa malu, Gus? Hanung itu calon istrinya Gus Zam. Awas nanti diambil orang!" goda Umi Siti.
"Tidak."
"Siapa tahu, Hanung lebih tertarik dengan suami yang tidak pemalu, Gus!"
Gus Zam yang mendengarnya pun mengeratkan genggaman tangannya. Apa yang dikatakan Umi Siti membuat pikiran pesimis nya kembali mencuat.
"Kamu ini Siti! Jangan menggoda Adib begitu!" kesal Bu Nyai.
"Kalau tidak digoda nanti Gus Zam tidak ada inisiatif, Umi!" Umi Siti masih pembelaan.
"Adib, jangan dengarkan Umi Siti! Hanung sudah mau kemari itu tandanya dia memilih kamu. Kamu harus percaya diri ya, Nak?" Bu Nyai mencoba menenangkan Gus Zam yang sudah mulai bergetar.
Umi Siti yang bermaksud menggoda tidak sadar, perkataannya bisa memicu malapetaka.
padahal udah bagus lho