Mereka terpaksa menikah meski sudah berjanji tidak akan menikah lagi setelah menjanda dan menduda untuk menghormati pasangan terdahulu yang sudah tiada.
Tetapi video amatir yang tersebar di grup RT mengharuskan mereka berada dalam selimut yang sama meski sudah puluhan tahun hidup di kuali yang sama.
Ialah, Rinjani dan Nanang, pernah menjadi cinta pertama dan hidup saling membutuhkan sebagai saudara ipar. Lantas, bahagia kah mereka setelah menyatu kembali di usia kepala lima?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Macam-macam Diskusi Malam
Osteoporosis, tekanan darah tinggi, kolesterol, diabetes, radang sendi, dan pendengaran berkurang adalah beberapa contoh penyakit yang kerap menyerang usia 50 tahun ke atas. Dan seharusnya kadar lelahnya lebih tinggi dari kadar sakit hati di usia itu. Tetapi bagi Rinjani sensor patah hatinya kembali menyala-nyala seperti waktu muda.
“Aku tidak bisa menjalani pernikahan seperti pada umumnya. Aku minta maaf untuk segala hal yang telah terjadi di masa lalu atau sekarang.” kata Rinjani waktu malam keduanya terjadi di kamar Jalu Aji.
“Kamu tahu makna yang terkandung dari penolakan ini. Aku tidak sanggup menjadi istrimu dalam hal tertentu.”
Nanang sengaja ke kamar itu setelah memastikan anak-anaknya tidur. Bukan untuk meminta jatah malam, bukan... dia hanya ingin menyapanya untuk sekedar berbincang-bincang berdua selagi tidak ada yang mengganggu pembicaraan rumah tangga yang harus dibina perlahan-lahan itu.
“Aku ini juga sadar diri dengan siapa aku menikah sekarang. Aku tidak mungkin menyentuhmu seperti aku menyentuh Sakila. Apa itu cukup membuatmu nyaman di sini, Ri?”
“Ya, lumayan.” Rinjani mengangguk walau sudah menunduk. “Kamu sepenuhnya tahu maksudku karena itu tidak mungkin terjadi. Iya kan? Kamu tidak akan minta hal itu? Kamu tidak menganggap pernikahan ini layak dihiasi dengan urusan ranjang?”
Nanang yang duduk di kursi rias tercenung sementara waktu.
Bercinta dengan Rinjani adalah pengkhianatan terberat dalam hidupnya yang tidak mungkin termaafkan dan akan menjadi penyesalan seumur hidup. Tak mau itu terjadi, barangkali kesempatan untuk berdiskusi dengan Rinjani adalah waktu yang tepat. Sekarang.
“Menurutmu, apa itu bisa membuat hubungan ini tidak tertekan?”
Rinjani mengangguk. “Aku tidak sanggup menyakiti Mas Kaysan dan Sakila. Cuma pernikahan ini saja yang mengkhianati cinta mereka, jangan yang lain.”
“Kalau aku minta peluk apa kamu akan memberinya?”
Rinjani mengangkat tatapannya. Sensor patah hatinya semakin tidak karuan saja.
“Aku berdiri di persimpangan.” katanya, terlalu rumit berkata iya atau tidak dengan sesungguhnya. “Kesempatan itu ada dan tidak. Tergantung.”
“Kalau aku minta kopi atau teh apa kamu akan membuatnya?” kata Nanang.
Rinjani mengangguk. Itu bukan tugas berat. Hitam putih masa lalunya tidak akan ternoda gara-gara secangkir kopi atau teh.
Nanang melanjutkan. “Kalau aku kerja atau pergi apa perlu aku pamitan dan menunggu izinmu?”
“Tidak ada salahnya begitu.” Rinjani menghela napas. “Aku juga sama.”
Nanang beranjak dari kursi rias seraya mengangguk. “Selamat tidur.”
Senyum samar terlihat di wajah Rinjani. “Terima kasih atas pengertianmu.”
Nanang keluar dari kamar Jalu Aji dan menutup pintunya. “Kamu menghidupkan sesuatu yang sudah lama pergi. Cinta lama kita.”
Rinjani meraih buku kecil yang disimpannya di laci meja rias. Dia membuka lembar terakhir yang dia tulis sebelum membuka lembar berikutnya.
“Nanang Yang Rela Berkorban...” Rinjani mengulang isi pesannya seraya membatalkan curahan hatinya tertuang dalam buku itu.
“Trah Adiguna Pangarep memang curang dan cerdik. Buku ini sudah tidak aman.”
Plung... Buku itu masuk ke dalam tempat sampah.
Rinjani berbaring, kamar Jalu Aji temboknya dipakai untuk menempelkan wallpaper galaksi Bima Sakti. Mendadak Rinjani mengingatkan nama-nama planet yang mengelilingi matahari.
Rinjani menunjuk bintang plasma panas yang bercampur medan magnet. “Mas Kaysan, pusat duniaku dan Nanang adalah bulannya. Slalu ada, entah setengah, seperempat atau sedang purnama.”
-
“Selamat pagi.” Nanang menghampiri Rinjani ketika suasana pagi di rumahnya sudah ramai oleh kesibukan dua anaknya yang hendak ke sekolah dan dua anak kecilnya yang akan mandi.
“Selamat pagi Nanang Yang Rela Berkorban.” Rinjani mengaduk teh madu seraya menyerahkannya.
Nanang tersenyum selagi uap manis yang timbul dari teh hangat itu mengharumkan penciumannya.
“Kamu sudah baca pesanku?”
“Itu bukan pesan, itu penyusupan.” Rinjani mengancingkan blazernya. “Hari ini aku sudah mulai kerja, tapi jujur aku tidak sanggup mendengar kabar yang beredar. Kamu cari orang untuk segel video itu.”
“Siap.” Nanang menatap meja makan, “Sarapan dulu biar kuat.”
“Nggak sekalian kamu bilang makan semen biar tambah kuat?”
Nanang terkekeh. Rinjani memang begitu, kalau tidak begitu berarti bukan dia.
“Aku masih cuti untuk mengurus internal keluarga. Kucing-kucingku juga kedinginan semalam, kasian mereka.”
Rinjani memberi tatapan bombastis side eye ketika menarik kursi makan.
“Kamu kasian sama kucing-kucingmu daripada Jalu Aji?” Rinjani berdecak. “Nanti aku jemput dia, tapi tidak perlu bilang-bilang.”
“Napa?” Nanang duduk seraya merasakan teh madu buatan Rinjani, rasanya sama seperti yang sudah-sudah. Yang membedakan hanya status pembuatnya.
“Biar jadi kejutan.”
Nanang mengangguk-angguk. “Tapi jangan di marahi lagi, ya. Kasian, dia sudah memikul beban berat sebagai anak laki satu-satunya di sini. Mana kamarnya juga di jajah lagi. Bisa-bisa minta di pecat jadi anak dia nanti.”
Separuh hati Rinjani menyesal memarahi Jalu Aji, tapi separuh hatinya lagi masih gemas. Masih ingin mendamprat bocah itu karena efeknya sudah ke mana-mana.
“Tidak akan marah-marah aku, janji.”
Rinjani menyiapkan bekal untuk dibawa Arunika dan Swastamita ke sekolah sambil mengangguk. “Aku akan ke tempat produksi batik, dua desain yang di garap Suryawijaya siap naik cetak.”
Nanang memandangi si kembar cilik yang baru keluar dari kamar mandi bersama para pengasuhnya.
“Desain untuk dijual atau di pakai pribadi?”
Nanang mengusap rambut mereka yang basah dengan handuk cilik.
“Pakai baju dulu terus mamam sup ayam sama Bapak.”
Anjana dan Anjani gegas ke kamar. Pakai minyak telon dan bedak sementara itu Rinjani mengawali sarapan pagi bersama Nanang dengan senyuman kecil.
“Untuk di pakai pribadi.”
Nanang mengeluarkan uang dari dompetnya selagi wajah putri-putrinya sudah mirip debt kolektor.
“Untukmu ini.” Nanang menyerahkan atm-nya untuk Rinjani. “Nafkahmu, setuju atau tidak.”
Rinjani menyimpan atm-nya di saku blazer. “Bisa buat beli tas kremes tidak isinya?”
“Ayam kremes baru cukup!” Nanang memperingati Rinjani dengan tatapannya yang tajam. “Jangan sampai tagihannya melebihi gajiku sebagai komisaris utama.”
Rinjani tersenyum menyepelekan. Soalnya kalau tidak begitu, tidak seru.
“Nanti aku mampir ke Pakuwon, beli baju baru. Sudah lama tidak ada yang membelikan. Kamu mau titip sesuatu? Kolor baru gitu?”
Nanang tercenung. Menilik dari kebiasaan Rinjani belanja sewaktu bersama mendiang suaminya, belanjanya slalu tidak wajar. Anak cucu dibelikan, belum antek-anteknya dan pelayannya serta anak-anak sendiri slalu kecipratan.
Nanang menghela napas. “Titip bismillah. Kamu tobat sebelum belanja-belanja tas kremes atau baju baru.”
Rinjani tersenyum seraya menyiapkan sarapan pagi untuknya. Sup ayam, ditambah sambal dan tempe goreng. Mungkin itulah hal-hal yang bisa dia lakukan sebagai istri, melayaninya tanpa bersentuh tubuh.
-