~Pernikahan tanpa cinta, tak selamanya berakhir dengan bahagia~
Zahra terpaksa harus menikah dengan Alzam, pria asing pilihan ibunya. Pernikahan tanpa cinta membuat Zahra harus menerima perihnya kenyataan. Terlebih saat dia mengetahui jika Alzam telah memiliki seorang tunangan.
Selama pernikahan Alzam tak pernah sedikitpun menganggap Zahra sebagai seorang istri meskipun mereka berada dalam satu ranjang yang sama. Bahkan Zahra harus berlapang dada ketika Alzam memutuskan untuk menikahi Aira. Mampukah Zahra mempertahankan rumah tangganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teh ijo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09 | Mas Alzam Pulang
..."Pernikahan bukanlah hiburan, melainkan tindakan yang serius, dan umumnya menyedihkan." - Ratu Victoria....
***
Seperti keinginan mbak Aira, malam ini aku sengaja memasak untuk menyambut kepulangan mas Alzam. Aku tidak tahu apakah malam ini dia akan pulang cepat atau pulang lambat seperti biasanya. Dan yang lebih mendebarkan lagi bagaimana jika malam ini mbak Aira mengetahui rahasia kami yang ternyata sudah menikah.
"Mbok Inah." Mbak Aira memanggil mbok Inah yang masih berkutat di dapur.
"Iya Neng, ada apa?" sahut mbok Inah yang sudah malas bergerak, karena saat ini mbok Inah sedang duduk sambil menunggu masakannya.
"Zahra mana?" tanya Mbak Aira yang sedari tadi mencari ku.
"Dia lagi sholat," jawab mbok Inah santai.
Mbak Aira hanya menganggukkan kepalanya pelan. "Oh iya, Mbok Inah tahu kunci kamarnya mas Al gak? Aku udah tanya dari tadi pagi tapi gak ada jawabannya, Mbok. Kali aja mbok Inah tahu."
"Waduh, Mbok gak tahu kalau masalah kunci-mengunci, Neng. Den Al sudah biasa mengunci kamarnya," jelas mbok Inah pada Mbak Aira yang merasa sangat kesal dengan sikapnya mas Al. Bagaimana bisa seorang istri tidak diberikan izin untuk masuk kedalam kamar suaminya. Pasti saat ini mbak Aira semakin mencurigai mas Alzam Terlebih hingga sampai saat ini belum ada tanda-tanda mas Alzam pulang.
Baru saja ku lipat sajadah yang baru saja terbentang untuk sujud ku, kini mbak Aira sudah berada disamping kananku.
"Ra, bantuin bukain kamarnya mas Al, dong!" pinta Mbak Aira padaku.
"Tapi aku harus bagaimana, mbak? Aku tidak tahu bagaimana caranya."
"Cari kunci cadangan gitu kek!"
"Untuk masalah itu, aku tidak tahu, Mbak."
Mbak Aira yang putus asa segera merogoh ponselnya untuk menghubungi mas Alzam. Namun, sepertinya tak ada jawaban, karena wajah mbak Aira ku lihat sangat uring-uringan
Tak berapa lama saat sedang ku mainkan ponselku, tiba-tiba mengambang sebuah nama mas Alzam sedang memanggil. Tanganku bergemetar, aku gugup untuk menjawabnya karena mbak Aira sedang ada di sampingku. Ku abaikan begitu saja panggilan itu hingga mati.
Belum juga satu menit, kini giliran ponselnya mbak Aira yang berbunyi. Wajahnya berubah berbinar saat melihat nama yang sedang memanggilnya.
"Halo Mas ... akhirnya kamu menelepon juga. Aku sudah lelah menunggumu, apakah masih lama pulangnya?"
Detik berikutnya, aku tidak tahu apa yang dikatakan oleh mas Alzam sehingga wajah mbak Aira berubah murung seperti sedang mendengar berita tak sedap. Setelah mematikan ponselnya, mbak Aira terdiam untuk beberapa saat, matanya pun juga sudah berkaca-kaca.
Pura-pura saja kutanyakan ada apa dan mbak Aira hanya menggeleng pelan kepalanya.
"Ra, aku pulang," ucapannya membuat aku terkejut. Bukankah mbak Aira sudah menunggu kedatangan mas Alzam untuk makan malam bersama, lalu mengapa tiba-tiba mbak Aira ingin pulang begitu saja setelah mendapatkan telepon dari mas Alzam. Sepertinya ada ucapan dari mas Alzam yang membuatnya kecewa.
"Mbok aku pamit pulang," pamitnya pada mbok Inah.
Mbok Inah yang masih berkutat di dapur merasa sangat bingung. "Lho, kok pulang Neng? Kan den Al belum pulang."
"Mas Al gak bakalan pulang. Percuma saja aku menunggunya disini," sahut mbak Aira dengan lesu.
Aku pun langsung mendapatkan titik terang dari kekecewaan mbak Aira, ternyata mas Alzam tidak akan pulang malam ini. Lalu dia kemana?
Ku antarkan mbak Aira sampai teras karena aku merasa iba kepada dirinya. Mungkin aku terlalu naif, lebih mengasihi orang lain ketimbang diriku sendiri. Disitulah kelemahanku, aku tidak bisa melihat orang lain bersedih.
"Ra, ingat pesanku ya! Tolong kamu awas terus gerak-gerik mas Al selagi aku tidak ada disini. Sebenarnya aku bingung dengan sikap mas Al yang tak mengizinkan aku untuk tinggal disini. Tapi apapun keputusan mas Al, aku akan ikuti. Mungkin saat ini dia belum siap saja."
Ku ukir senyum dibibir ku saat mbak Aira melambaikan tangannya padaku. Jangan dia, aku sendiri saja tidak tahu dengan sikap mas Alzam yang tidak bisa tegas.
Setelah tahu jika mas Alzam tidak akan pulang, aku segera mengunci gerbang terlebih dahulu, sebelum mengunci semua pintu dan jendela.
"Mbok Inah makan duluan aja, aku masih kenyang," ucapku pada mbok Inah yang menatapku dengan penuh arti.
Hampir satu hari tak ada kata yang terucap dari bibirnya saat melihatku bersama dengan mbak Aira. Aku saja sudah sesak, apalagi mbok Inah yang mengetahui semuanya.
"Non, makan dulu. Mbok perhatian sejak tadi pagi belum ada nasi yang masuk kedalam perut non Ara. Mbok gak mau kalau non Ara jatuh sakit."
"Tapi aku masih kenyang, Mbok," elak ku.
"Jangan bohong! Mbok ini sudah lebih dahulu mencicipi asam garam dilautan ketimbang non Ara," bujuk mbok Inah.
Ku hembuskan napas berat. Wanita yang tak ku kenal secara mendalam itu sangat baik dan peduli padaku yang baru kenal dalam hitungan hari. Seharusnya mbok Inah membenciku karena aku telah menjadi orang ketiga dalam hubungan mas Alzam dengan mbak Aira. Namun, nyatanya malah sebaliknya. Mbok Inah sama sekali tidak peduli dengan kehadiran mbak Aira yang jelas adalah orang yang paling disayangi oleh mas Alzam.
Saat sedang ku sendokkan nasi, telingaku mendengar sebuah klakson yang terus-menerus berbunyi. Sepertinya itu berasal dari depan gerbang. Mbok Inah dengan dahi yang mengernyit mengintipnya dari balik jendela.
"Siapa Mbok," tanyaku yang juga penasaran. .
"Sepertinya itu den Al, Non," ucap mbok Inah yang kemudian keluar untuk memastikan lebih jelas.
"Mas Alzam?" gumam ku. Tidak mungkin dia pulang, karena mbak Aira memilih pulang karena mas Alzam tidak akan pulang malam ini.
Namun, derap langkah sepatu membuat bulu kudukku merinding. Tidak mungkin itu derap langkah kakinya mas Alzam, pikirku.
"Ra, mana kunci kamar." Suara dingin itu menembus indra pendengaranku.
Aku hanya bisa menelan kasar sudah ku saat melihat sosok mas Alzam yang sudah berdiri di sampingku.
"Malah bengong lagi. Mana kunci kamar!" tangan mas Alzam telah menengadah meminta kunci kamarnya.
"Oh iya. Sebentar aku ambilkan dulu." Aku berdiri lalu berjalan menuju sebuah laci kecil di mana aku menyimpan kunci kamar yang diberikan oleh masalah yang tadi pagi.
"Ini Mas," ucapku sambil memberikan sebuah kunci kamar. Kadang aku merasa heran, mengapa kamar mas Alzam masih menggunakan kunci seperti itu sedangkan salah satu kamar yang ada di rumah ini sudah menggunakan sistem lock password.
"Mas Alzam kok pulang? Kata mbak Aira ... " Belum sempat ku teruskan ucapanku mas Alzam segera memotongnya. "Ini rumahku. terserah aku mau pulang atau tidak."
Aku hanya terdiam melihat wajah lelah mas Alzam. Matanya juga kulihat sayu, sepertinya dia kurang tidur. Aku pun segera mengikuti langkah mas Alzam untuk menyiapkan perlengkapannya.
"Aku siapkan air untuk mandi dulu ya," kataku yang kemudian menuju ke kamar mandi.
"Hmm."
Ku gelangkan kepalaku saat kulihat mas Alzam yang sudah menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Entah sampai kapan aku akan bertahan dalam pernikahan ini. Aku hanya perempuan biasa, hatiku mudah rapuh. Aku butuh penopang dalam hidupku, butuh sandaran untuk mencurahkan semua keluh kesah ku. Aku sudah kehilangan jejak ibuku, lalu aku terjebak dalam pernikahan ini. Sampai kapan aku akan bertahan? Tak akan selamanya aku sanggup untuk bertahan dengan keadaan seperti ini, jika mas Alzam tidak bisa tegas dalam mengambil keputusan."
.
.
.
.
.
.
.
.
~BERSAMBUNG~
/Heart/
Jika boleh ijin promosi untuk karyaku yang berjudul Sungguh Mencintainya. Mohon dukungannya 🙏☺️