Tanggal pernikahan sudah ditentukan, namun naas, Narendra menyaksikan calon istrinya meninggal terbunuh oleh seseorang.
Tepat disampingnya duduk seorang gadis bernama Naqeela, karena merasa gadis itu yang sudah menyebabkan calon istrinya meninggal, Narendra memberikan hukuman yang tidak seharusnya Naqeela terima.
"Jeruji besi tidak akan menjadi tempat hukumanmu, tapi hukuman yang akan kamu terima adalah MENIKAH DENGANKU!" Narendra Alexander.
"Kita akhiri hubungan ini!" Naqeela Aurora
Dengan terpaksa Naqeela harus mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih demi melindungi keluarganya.
Sayangnya pernikahan mereka tidak bertahan lama, Narendra harus menjadi duda akibat suatu kejadian bahkan sampai mengganti nama depannya.
Kejadian apa yang bisa membuat Narendra mengganti nama? Apa penyebab Narendra menjadi duda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arion Alfattah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 - Hari-Hari Naqeela
Hari-hari terus berlalu, 2 Minggu tinggal bersama Narendra dalam keadaan tertekan dan terus mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan Naqeela rasakan. Sering dibentak, dimarahi, kadang perlakuan wulan suka main tangan. Demi semua kehidupan, Naqeela mencoba bertahan meski ia sendiri tidak tahu sampai kapan penderitaannya usai.
Selama itu pula dia tidur di belakang, lebih tepatnya di gudang, bahkan selama 2 Minggu ini pun ia tidak bertatap muka dengan Narendra, suaminya.
"Naqeela!!"
Lengkingan suara Narendra dari dalam kamar sangat keras sampai terdengar ke luar karena pintunya di buka, dan ini kali pertama Narendra menyebut namanya lagi setelah 2 Minggu tidak ada di rumah.
"Naqeela! Kemari kamu!" Namun tidak ada sahutan dan pergerakan dari Naqeela.
"Kemana wanita itu? Pagi-pagi sudah buat kesal saja." Lalu Narendra menggerakkan kursi rodanya mencari keberadaan Naqeela.
"Naqeela, mana makanan saya? Cepetan! Saya sudah lapar dari tadi." Dan Wulan juga tidak mau kalah dari Narendra, ia juga berteriak memanggil Naqeela.
Bagaimana mau menyahut jika Naqeela sedang sibuk dengan kegiatannya di dapur, melayani Wulan yang ingin menyusahkan Naqeela dan membuatnya tidak betah di sana.
"Tunggu sebentar nyonya, aku sedang membuatkan makanannya dulu," balas Naqeela sedang menyiapkan makanan buat mereka.
Selama tinggal disana, Wulan meminta Naqeela menyebutnya Nyonya.
Dari awal bangun pagi, kegiatan Naqeela sudah disibukkan dengan kegiatan mengurus rumah dan segala isinya termasuk menyiapkan makanan buat para penghuni rumah.
"Sebentar dari mana, hah? Kamu sudah sangat lama sekali masak, tapi masakan kamu belum selesai juga. Kamu mau buat saya mati kelaparan, hah? Kerja itu yang becus!" sentak Wulan kesal. Setiap hari ia dibuat emosi oleh Naqeela, padahal gadis itu tidak melakukan apapun dan sedang berusaha menjalani hukuman yang tidak dia lakukan.
"Aku sedang berusaha nyonya, mohon menunggu sebentar." Padahal dirinya baru saja masak dan juga butuh waktu untuk melakukan pekerjaan itu sekitar satu jam saja. Namun Wulan tidak sabaran banget, baru beberapa menit saja sudah berteriak cepetan.
"Menunggu lagi, menunggu lagi, kamu itu bikin saya kesal dan buat saya marah. Kamu itu becus tidak sih, hah? Sudah sukur anak saya tidak melenyapkan kamu, eh malah buat kita kesal saja. Kalau saya jadi Narendra akan saya habisi kamu." Kesabaran Wulan tidak bisa di tahan lagi, wanita itu berdiri dari duduknya dan hendak pergi. Namun ...
"Maafkan aku nyonya," balas Naqeela mencoba sabar melawan dan memberikan kesabaran pada dirinya sendiri. Selain dia yang memberikan sabar, tidak akan ada yang lain lagi yang bisa menjabarkan dia. Semua orang yang ada di sana tidak menginginkan dia.
"Naqeela!" Narendra berada dekat pintu dapur, ia mendengarkan semua perseteruan dua wanita beda usia.
"Tuh, orang yang kamu tampung disini, sedang membuat makanan yang tidak kunjung selesai. Ini yang kamu maksud hukuman? Kamu biarkan pembunuh ini tetap disini sedangkan orang yang kamu sayangi tiada karenanya, bikin mama kesal saja."
Wulan menatap kesal Narendra.
"Tidak usah ikut campur dalam urusan ku, tolong biarkan dia mengerjakan pekerjaannya dulu dan aku ingin mama terima keputusan dariku," jawaban Narendra membuat Wulan melongo tak percaya.
Baru pulang dari luar kota langsung bicara seperti itu.
"Keputusan yang membuat kamu bodoh, Narendra. Bodoh karena sudah membiarkan dia berada di rumah kita. Anak miskin si pelenyap orang ini sangat membuat mama marah dan ingin segera melenyapkannya juga."
"Aku bilang jangan ikut campur! Mama urus saja urusan Mama sendiri!" kata Narendra meninggikan suaranya. Ia tidak ingin mamanya terlalu ikut campur urusan dia dan Narendra ingin sekali membungkam mulut Wulan.
Wulan terdiam, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti semua keinginan Narendra. Jika Narendra sudah berkeinginan, itu artinya dia bisa terancam.
"Tidak tahu terima kasih, sudah mama urus dari kecil masih saja ngelunjak," balas Wulan sambil melengos pergi.
Tatapannya Narendra terlihat dingin, tidak mencegah ataupun tidak meminta maaf, hanya kebisuan yang dia tunjukan ketika Wulan marah-marah.
"Tu-tuan, apa kamu mau makan?" Naqeela memberanikan diri untuk menawari Narendra makanan. Dia sadar betul kalau suami yang tidak ingin dipanggil suami itu belum makan apapun sejak pagi, begitu kata Wulan. Jadi dia memutuskan memanggil tuan saja.
Tatapan Narendra pun beralih pada Naqeela, Wanita muda yang sedang berdiri seraya menundukkan kepalanya. "Siapa suruh kamu mengerjakan semua pekerjaan rumah?"
Naqeela menghembuskan nafas kasar. "Kemarin kamu bilang, aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah yang ada di sini dan salah satunya masak. Kalau saya masak tapi makanannya tidak dimakan, siapa yang akan memakannya selain Anda sendiri? Jika tahu begini mendingan aku tidak masak saja," balas Naqeela mencoba sabar menghadapi perlakuan Narendra diluar prediksi BMKG.
Ya, saat hari pernikahan ia juga ditugaskan membersihkan rumah dan memasak, namun Narendra langsung pergi ke luar kota dengan alasan kerja.
"Kamu sudah berani melawan saya? Mau saya tambah lagi hukuman kamu?"
"Eh, bu-bukan begitu, tapi ..."
"Kalau begitu, kamu bereskan seluruh isi kamar saya sekarang juga!"
"Tapi masakan ini ..."
"Terserah kamu mau lanjutkan atau tidaknya. Pokoknya saya minta kamu bereskan kamar saya sekarang juga! Tidak ada tapi-tapian, tidak ada komentar apapun apalagi lelet!"
Ingin rasanya Naqeela bicara lagi, tapi melihat keseriusan Narendra dalam berucap membuat ia enggan berkata.
*******
Rumah Mulyana.
"Ukhuk.. Ukhuk.." Tubuh tua renta semakin lemah tak berdaya. Bertambah usianya membuat keadaan tubuh pun kian melemah.
"Pak, tidak apa-apa? Dari tadi bapak batuk terus, kita ke puskesmas ya." Sebagai anak laki-laki yang kini tinggal bersama bapaknya setelah Naqeela menikah, Zae harus mengurusi Mulyana yang kian hari makin tidak sehat.
"Tidak usah Zae, bapak minum obat dari warung saja. Ini mah hanya batuk biasa kok, kamu tidak usah mengkhawatirkan keadaan bapak, bapak hanya sakit biasa."
"Tapi dari dua hari yang lalu bapak terus batuk-batuk, Zae khawatir sama keadaan bapak. Sekarang kita juga tidak bisa berkomunikasi dengan Kak Naqeela sejak dia menikah."
Mulyana tersenyum dikala wajahnya terlihat pucat. "Bapak tidak kenapa-kenapa, bapak hanya sedang rindu sama kakak kamu saja. Nanti kita pergi ke rumah suaminya Naqeela ya?"
"Zae tahu Bapak sedang berbohong, tapi jika pertemuan Bapak dengan Kak Naqeela membuat Bapak sehat lagi, Zae akan datang ke rumah pria arogan itu."
"Jangan terlalu marah sama kakak ipar kamu, dia hanya sedang menguji kita, Bapak yakin kakak kamu akan bahagia," kata Mulyana selalu berpikir positif tentang anak pertamanya. Sebagai seorang ayah, Mulyana ingin yang terbaik putrinya, namun takdir malah membawa Naqeela dalam situasi yang sulit seperti ini.
"Bapak terlalu baik sampai tidak bisa membedakan mana yang jahat dan mana yang tidak, tapi kita ke puskesmas yuk pak." Zae tetap memaksa, ia ingin sekali memeriksa keadaan bapaknya dan ingin bapaknya sembuh, namun Mulyana selalu menolak dengan alasan kangen putrinya.
"Daripada ke puskesmas mendingan kita datang ke rumah Narendra." Mulyana begitu kekeh ingin bertemu Naqeela meski ia tidaklah tahu akan mudah menemuinya atau tidak.
"Tapi ..."