Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang berbeda. Bahkan status kita pun berubah..
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. KEHAMILAN NAYA
Pagi itu...
Cuaca begitu mendung. Awan hitam seolah bertengger di atas permukaan rumahku. Hamparan langit yang biasanya berwarna biru seperti lautan, kini mendadak kelabu seolah menyembunyikan matahari. Rintik hujan yang mulai turun seolah menambah enggannya matahari untuk menyapa bumi.
Aku yang masih bergelung dibawah selimut merasa enggan untuk membuka mata. Rasanya kepalaku berdenyut dengan begitu hebat. Sakit apa? Entahlah.. Aku sendiri juga tidak tahu. Yang aku tahu, aku hanya bisa terbaring di atas ranjangku dengan kondisi tubuhku yang semakin lemas.
"Nay... Bangun dulu nak sarapan." ucap ibuku seraya membawa seporsi bubur ayam untuk mengganjal perutku yang masih kosong sejak kemarin.
"Ibu.... Kenapa ibu kemari? Bukankah seharusnya ibu beristirahat? Aku baik - baik saja bu. Ibu tidak usah mencemaskanku." ucapku dengan suara yang lemah.
"Kalau kamu baik - baik saja, kamu tidak akan terbaring di kamar selama 1 minggu di atas ranjang. Dan lihat wajahmu sekarang tampak begitu pucat." ucap ibuku dengan menohok langsung kepadaku.
"Pagi ini ibu akan kontrol ke dokter. Sebaiknya kamu ikut ibu untuk diperiksa. Oh ya, rencananya kakek akan memindahkan Embun untuk bersekolah di Paris. Karena menurut kakek, Embun mempunyai potensi yang besar di dunia mode." ucap ibuku dengan wajahnya yang teduh.
"Deg.. Paris? Apakah Devan juga masih berada di Paris? Atau dia sudah kembali dari sana dan mencariku? Aku sangat merindukanmu Dev, apakah salah jika aku merindukan seseorang tanpa status yang jelas?" ucapku dari dalam hati.
"Naya... Kamu baik - baik saja? Kenapa kamu malah termenung seperti itu? Apa ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan kepada ibu?" tanya ibuku dengan wajah penasaran.
"Aku baik - baik saja bu. Aku hanya memikirkan pekerjaanku. Banyak pekerjaan yang mesti aku selesaikan. Rencananya aku akan berangkat ke kantor hari ini. Kasihan kakek menghandle semuanya sendirian." ucapku mengalihkan pembicaraan dari ibuku. Keadaanku sudah seperti ini dan aku tidak ingin membebani ibuku dengan kisahku yang lain.
"Maafkan ibu ya Nay.. Sudah memberimu beban seberat ini di usiamu yang masih muda. Seharusnya kamu bisa menikmati masa mudamu. Namun nyatanya kamu harus banting tulang membantu kakek memulihkan keadaan perusahaan." ucap ibuku dengan tatapan matanya yang sendu.
"Semua ini salah ibu yang terlalu mempercayai ayahmu. Seandainya ibu mendengarkan ucapan kakek dan nenekmu dahulu, pasti semua ini tidak akan pernah kita alami." Ibuku hanya bisa menangis terisak pilu.
"Ibu jangan menyesali apapun. Kita lupakan semua tentang ayah. Kita fokus selesaikan permasalahan yang ada." ucapku sembari menggenggam lembut jemari ibuku.
Aku pun mencoba bangun dari tidurku. Mencoba terlihat kuat di depan ibuku. Perlahan menyandarkan kepalaku pada bantal. Ku ambil mangkok yang berisi bubur ayam yang dibawa oleh ibuku. Namun baru mencium aromanya perutku sudah mual dengan begitu hebatnya. Tak kuasa menahan aromanya, aku pun segera berlari menuju kamar mandi yang berada di ujung kamarku.
Huek... huek...
Perutku terasa mual sekali. Kepalaku mendadak pening. Sayup - sayup aku mendengar teriakan panik ibuku dari arah belakang. Seketika aku terjatuh dilantai dan tidak sadarkan diri.
"Nay... Naya.. Bangun nak...." teriak ibuku dengan nada penuh kepanikan.
Embun yang berasa di kamar sebelah mendengar ibuku yang berteriak pun bergegas lari menuju ke kamarku. "Ibu apa yang terjadi. Ada apa dengan kak Naya?" ucapnya dengan panik.
"Bantu ibu memindahkan kakakmu ke ranjang nak. Cepat!"
Akhirnya Ibu dan Embun membawaku ke ranjang dan segera menelepon dokter saat itu juga. Bersamaan itu kakekku masuk ke dalam kamar. "Apa yang terjadi Dewi?" ucapnya dengan panik.
"Tidak tau yah. Tadi belum sempat makan bubur ayam, dia mual dan muntah setelah itu tak sadarkan diri." ucap ibuku seraya memeluk kakekku.
Aku pun tersadar setelah mencium aroma minyak hangat di ujung hidungku. Semua pandanganku rasanya berputar dan perutku bergejolak dengan begitu hebatnya.
"Apanya yang sakit nak? Dokter sedang perjalanan menuju kemari. Apa kamu butuh sesuatu Nay?" tanya ibuku dengan berlinang air mata.
Aku hanya bisa menggeleng lemah. Tak ada daya untukku menjawab semua rentetan pertanyaan dari ibuku.
Selang 30 menit kemudian, seorang wanita dengan mengenakan jubahnya yang berwarna putih tampak memasuki kamarku. Di tangannya sudah ada sebuah kotak alat kesehatan guna memeriksa keadaanku.
"Dokter tolong putri saya. Dia tadi mual dan sempat muntah kemudian pingsan." ucap Ibuku dengan penuh kekhawatiran.
Dokter pun bergegas mengecek kondisiku yang terlihat pucat dan lemah. "Kapan terakhir datang bulan?" ucap sang dokter dengan penuh kelembutan.
Sebuah pertanyaan yang mampu membuatku bungkam. Bahkan mengedipkan mata saja aku tak sanggup. Dan sialnya lagi, aku lupa kapan terakhir aku datang bulan. Ku coba mengingat kembali ke beberapa waktu yang lalu.. Dan aku baru ingat bahwa aku selesai datang bulan bersamaan dengan kepergianku bersama Devan di Perkebunan.
Aku pun menjawab tanpa menatap keluargaku. Aku hanya menatap jendela samping kamarku yang seolah pemandangan disana lebih menarik daripada yang ada di seluruh kamarku.
"Hampir enam minggu ini dok." ucapku dengan nada lirih.
Sebuah senyuman kecil terbit di sudut bibirnya. Perlahan sang dokter pun menyodorkan tangannya kepada ibuku.
"SELAMAT PUTRI IBU SEDANG MENGANDUNG." ucap sang dokter dengan tersenyum ramah.
Semua orang di kamarku membulatkan mata. Menatap tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh dokter tersebut.
"Anakku yang tidak pernah punya teman pria ataupun pacar, mendadak dikatakan hamil. Cobaan macam apa ini, Tuhan? Apa kesalahanku di masa lalu hingga kau menghukumku seberat ini?" jerit tangis ibuku dalam hati.
"Apa dokter yakin dengan diagnosanya? Karena sejujurnya putri kami belum pernah pacaran. Apalagi mempunyai suami." ucap ibuku dengan sudut matanya yang berair.
Dokter hanya menjawabnya dengan senyuman. Sebuah senyuman yang sudah dapat dipastikan kebenaran dari ucapannya.
"Sebaiknya putri ibu dibawa ke dokter kandungan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Ini saya resepkan beberapa vitamin untuk putri ibu. Kalau begitu saya permisi." Dokter pun meninggalkan kamarku dengan diantar oleh Embun.
"Ibu..." panggilku dengan nada yang lemah.
Ibuku hanya terdiam tanpa kata. Hanya isak tangis yang semakin pilu terdengar dari ibuku. Sedangkan kakekku? Jangan ditanya.. Kakekku hanya menatap keluar jendela kamarku seolah sedang menikmati hujan deras dan petir yang bergemuruh. Sedangkan Embun sendiri hanya bisa menatapku dengan berlinang air mata.
"Ibu .. Maafkan aku. Aku khilaf bu.. Ampuni aku."ucapku dengan terisak tangis.
Akhirnya setelah sekian lama aku memendamnya kini aku curahkan semuanya. Mungkin saat ini adalah waktu yang salah untukku menyesalinya. Namun aku masih berharap secuil kebaikan dari keluargaku untuk bisa menerimaku yang telah kotor ini.
Tapi..... Aku tidak tahu harus berbuat seperti apalagi untukku bisa mendapatkan maaf kepada keluargaku.
Suasana begitu hening. Hanya isak tangisku yang terdengar di dalam kamarku. Hingga akhirnya satu pertanyaan dilontarkan oleh kakekku.
"SIAPA PRIA ITU?" ucap kakekku dengan nada dinginnya.
Satu pertanyaan yang tak lagi mampu untuk aku jawab. Aku sendiri bahkan tidak tau siapa Devan sebenarnya. Dari keluarga mana dan dimana dirinya berada saat ini. Satu hal yang aku ketahui... Aku terbuai oleh kelembutannya dalam memperlakukan seorang wanita.
Entah itu perasaan kagum atau suka. Aku sendiri juga belum bisa menyadari perasaanku sendiri kepadanya itu seperti apa.
Aku hanya mampu menunduk. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Hingga teriakan kakekku menyadarkanku kemudian...
"SIAPA PRIA ITU NAYA? JAWAB!!!"
Suara kakek menggelegar memenuhi kamarku. Aku pun terlonjak ketakutan melihat kemarahan kakekku.
"Aku tidak tahu kek.... Aku baru mengenalnya dan baru bertemu dengannya dua kali ini." ucapku suara yang bergetar menahan tangis.