Ben Wang hidup kembali setelah kematian tragis yang membuka matanya pada kebenaran pahit—kekasihnya adalah pengkhianat, sementara Moon Lee, gadis sederhana yang selalu ia abaikan, ternyata cinta sejati yang tulus mendukungnya.
Diberi kesempatan kedua, Ben bertekad melindungi Moon dari takdir kelam, membalas dendam pada sang pengkhianat, dan kali ini… mencintai Moon dengan sepenuh hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Ben melangkah menuju mobilnya yang sudah ditunggu Justin. Sementara itu, Moon masih berdiri di depan lobi perusahaan, menunduk menatap ponselnya sambil memesan taksi online.
"Kenapa masih berdiri di sana?" suara Ben terdengar, menghentikan langkahnya.
Moon buru-buru menjawab tanpa menoleh, "Aku sedang pesan taksi." Jemarinya terus bergerak di layar ponsel.
Sejenak, ingatan Ben melayang pada ucapan dinginnya di kehidupan sebelumnya— "Naik taksi sendiri, Viona tidak suka ada wanita lain naik mobilku." Kata-kata itu masih membekas di kepalanya. Tapi kali ini, ia tidak ingin mengulanginya.
"Naik mobilku saja," kata Ben tegas.
Moon mengangkat wajah, terkejut. "Direktur, tidak perlu. Taksi sudah dalam perjalanan. Lagi pula… Nona Viona akan pergi bersama Anda."
Ben tidak menjawab. Ia justru meraih ponsel Moon dan dengan cepat menekan tombol cancel pesanan taksi itu.
"Direktur, kenapa dicancel?" Moon refleks menarik napas, bingung sekaligus gugup.
"Mulai hari ini, kalau kau ikut denganku, maka kau hanya naik mobilku," jawab Ben datar, namun sorot matanya menegaskan bahwa ia tidak menerima bantahan.
Seketika, ia menggenggam tangan Moon, menariknya mendekat ke arah mobil. Moon hampir kehilangan keseimbangan, wajahnya memerah menahan degup jantung yang tak terkendali.
Tiba-tiba suara lantang terdengar dari belakang.
"Ben, aku ikut denganmu!" seru Viona yang baru keluar dari pintu perusahaan. Tatapannya langsung menusuk Moon yang sudah berada di samping Ben.
Wajah Viona seketika mengeras. Ia melangkah cepat, menatap Moon dengan penuh kecemburuan. "Moon, kau harus sadar diri. Ini mobil direktur! Kau hanya sekretaris kecil. Tidak seharusnya kau duduk bersama atasanmu." Tangannya kasar mendorong Moon menjauh.
Moon terhuyung sedikit, bibirnya bergetar, tapi ia memilih diam.
Ben langsung menoleh tajam pada Viona. Suaranya berat dan penuh wibawa.
"Apa kau sudah puas menimbulkan keributan? Seorang manajer seharusnya bersikap profesional. Di mana-mana sekretaris akan naik mobil atasannya saat bertugas. Justru kau yang aneh, Viona. Bukankah kau bawa mobil sendiri? Kenapa tidak menyetir saja? Aku dan sekretarisku ada urusan kerja yang harus dibahas."
Kata-kata Ben membuat wajah Viona memucat. Ia tidak menyangka Ben membelanya di depan umum, apalagi melawan dirinya yang berstatus tunangan.
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Ben menuntun Moon masuk ke dalam mobil dan ikut masuk setelahnya.
"Ben!" seru Viona, suaranya bergetar antara marah dan tidak percaya. "Kenapa malah dia yang ikut denganmu? Bukankah dulu kau tidak suka kalau dia di dalam mobilmu?"
Ben menatap lurus ke depan, ekspresinya dingin.
"Jalan," perintahnya singkat kepada Justin.
Justin segera menyalakan mesin, meninggalkan Viona yang berdiri terpaku di sana dengan wajah dipenuhi amarah dan rasa terhina.
Di dalam mobil, Moon duduk dengan canggung di samping Ben. Tatapannya sesekali terarah ke jendela, berusaha menghindari sorot mata sang direktur.
"Direktur, Viona pasti akan marah karena aku naik mobilmu. Bagaimana kalau aku turun saja?" ucap Moon pelan, mencoba mencari jalan keluar.
Ben menoleh sekilas, tatapannya dalam menusuk Moon. "Aku adalah atasanmu, bukan dia. Kau ikut denganku karena tugas, bukan karena alasan lain."
Moon terdiam, tidak berani membantah lagi. Namun hatinya tetap gelisah, takut menghadapi amarah Viona.
"Viona pasti akan mengincarku lagi," batin Moon.
Ben lalu bersandar, matanya masih fokus menatap wajah Moon yang tampak pucat. "Apa kau sudah pernah bertemu dengan Steven Lu dan Joe Ling?" tanyanya tiba-tiba.
Moon mengerjap, sedikit bingung dengan arah pembicaraan. "Hanya sekali… saat di universitas. Mereka datang menjemput Viona waktu itu. Tapi itu sudah lama sekali," jawabnya jujur.
Ben menahan napas, lalu dalam hati bergumam, "Gadis malang… orang tua kandungnya ada di depan mata, tapi dia bahkan tidak menyadarinya. Sementara yang hidup mewah justru anak angkat."
Mobil terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah restoran mewah di pusat kota. Lampu-lampu kristal di lobi berkilauan, menambah kesan megah tempat itu.
Beberapa saat kemudian.
Ruangan VIP restoran terasa tenang, hanya dihiasi suara pelayan yang keluar masuk membawa hidangan. Di meja bundar besar, sudah tersaji berbagai makanan mewah dengan aroma menggoda.
Steven Lu dan Joe Ling duduk bersebelahan, wajah mereka tampak ramah namun penuh wibawa. Viona duduk di sisi lain, sengaja merapat pada Ben dengan senyum manis yang dibuat-buat. Moon, yang agak canggung, duduk di samping Ben namun menjaga jarak sopan.
Pelayan menuangkan anggur ke gelas masing-masing, lalu pergi meninggalkan ruangan.
"Ben, kami senang sekali kau bisa hadir malam ini," kata Steven Lu sambil mengangkat gelasnya. "Kami selalu menganggapmu mitra yang sangat berharga."
"Benar," sambung Joe Ling. "Dan tentu saja, kami berharap kerja sama ini akan semakin mempererat hubungan kita… bukan hanya dalam bisnis, tapi juga dalam keluarga."
Ucapan itu membuat Viona tersenyum puas. Ia menoleh ke arah Ben, mencoba menggenggam tangannya di bawah meja.
Namun, Ben justru sedikit menggeser kursinya, menghindar dengan halus. Tatapannya lalu melirik ke arah Moon yang menunduk sopan, tidak menyadari apa pun.
Ketegangan samar menyelimuti meja bundar itu. Viona ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah pasangan resmi Ben, sementara Ben justru memikirkan kebenaran yang disembunyikan keluarga Lu.
Tidak lama kemudian pelayan restoran mendorong troli perak berisi aneka hidangan khas Tiongkok ke dalam ruang VIP. Aroma harum segera memenuhi ruangan, membuat semua orang menoleh.
“Silakan, ini hidangan spesial malam ini,” ujar pelayan dengan sopan, lalu mulai menyusun piring-piring di atas meja bundar.
Pertama, Mapo Tofu yang pedas dengan taburan cabai merah dan lada Sichuan yang kuat. Lalu, Ayam Kung Pao dengan saus kental manis pedas. Kemudian, Ikan Kukus dengan Saus Jahe dan Kecap Asin, yang harum aromanya menusuk. Disusul Sup Asam Pedas panas mengepul, dan terakhir Xiao Long Bao berisi daging babi dengan kuah gurih di dalamnya.
"Semua menu ini aku yang pesan," kata Viona dengan senyum.
"Wanita sialan, dia tahu Moon tidak bisa menyentuh makanan pedas, tapi masih sengaja dia pesan menu yang pedas," batin Ben.
Ben mengangkat tangannya, memanggil pelayan yang baru saja hendak keluar dari ruangan.
“Sebentar.”
Pelayan itu kembali mendekat dengan sikap sopan.
“Apakah ada yang kurang, Tuan?”
Ben menatap sejenak hidangan di meja, lalu menggeleng pelan. “Bukan kurang, hanya ingin tambah pesanan!"
Ia lalu berkata dengan suara tenang namun penuh wibawa:
“Tolong buatkan Bubur Ayam Polos dengan sedikit irisan jahe, tanpa minyak berlebih. Juga Sup Herbal Ayam Silkie—ringan, tidak terlalu asin. Dan siapkan sayuran rebus, hanya diberi sedikit garam.”
Pelayan itu sempat terkejut, karena berbeda dari pesanan mewah yang biasanya para tamu VIP minta. Namun ia segera mengangguk.
“Baik, Tuan. Akan segera kami siapkan.”
Moon yang duduk di samping hanya bisa menunduk, dalam hatinya ia bergumam penuh tanda tanya.
"Kenapa pesanannya sesuai denganku? Tidak mungkin Ben tahu aku sakit lambung…"
Viona lalu menoleh ke arah Ben dengan nada heran.
“Ben, sejak kapan kau suka makan bubur? Kenapa aku tidak pernah tahu?”
Ben menghela napas pendek, seolah tak ingin membuat suasana canggung. “Bukan untukku. Tapi untuk Moon. Kau juga tahu kalau Moon sakit lambung dan tidak bisa makan pedas. Tapi tadi kau tetap memesan semua menu pedas. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan membantumu di kemudian hari?” ucapnya santai, seakan menegur tanpa benar-benar membela Moon.
Viona sempat terdiam, lalu tersenyum kaku. “Maaf, aku lupa!” katanya pada Ben, tapi matanya langsung melirik tajam pada Moon. Senyum ramahnya hanya topeng.
Joe yang duduk di seberang, mencoba mencairkan suasana. “Moon, ternyata kau sakit lambung. Kalau begitu, makanan harus dijaga. Tidak bisa makan pedas dan minum alkohol, ya.”
Moon menegakkan tubuhnya, membalas dengan sopan. “Iya, Nyonya. Saya akan ingat pesan Anda.”
Steven menambahkan dengan nada iba, “Masih muda sudah kena penyakit ini. Pasti sangat menderita.”
Moon tersenyum tipis, tetap menjaga sikap. “Tidak juga, Tuan. Kondisi saya baik-baik saja.”
Suasana kembali normal ketika Joe meneguk tehnya lalu berkata, “Setelah kita makan, kita akan membahas masalah pernikahan Ben dan Viona. Mungkin saat itu kami butuh bantuan Moon untuk mendekorasi acaranya. Kami lebih percaya pada keahlian anak muda. Viona sudah memberitahu kami kalau Moon cukup pandai dalam dekorasi.”
Moon menunduk, merasa kikuk. “Viona terlalu memuji. Saya tidak sehebat itu.”
Viona tersenyum, tapi di balik senyum itu hatinya penuh bisikan dengki. “Moon, aku tahu kau menyukai Ben. Karena itu aku sengaja meminta orang tuaku untuk menyerahkan dekorasi padamu. Melihat pria yang kau cintai menikahiku… perasaanmu pasti hancur.”
Namun, sebelum Moon sempat merespon, suara Ben terdengar tenang tapi tajam, menghentikan percakapan.
“Mengenai pernikahan… ditunda dulu.”
Kalimat itu membuat semua orang di meja sontak menoleh ke arahnya. Udara di ruangan VIP mendadak terasa berat.