 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Malam setelah sidang kedua itu, Aisy tidak langsung tidur. Lampu kamar menyala temaram, secangkir teh jahe di meja sudah dingin.Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit malam lewat jendela yang basah oleh gerimis.Masih ada rasa sesak di dada, bukan karena benci, tapi karena kehilangan sesuatu yang dulu ia yakini akan selamanya.
“Aku tidak menyesal mengenalnya… hanya belum bisa berdamai dengan caranya mencinta.”
Ia tahu, Reyhan bukan laki-laki jahat.
Ia baik, lembut, dan dulu adalah tempat paling aman untuk bersandar.Tapi ketika keinginan Reyhan untuk berpoligami muncul, dan dorongan dari keluarga yang begitu kuat dunia Aisy seakan retak dari dalam.
Bukan karena ia menolak ajaran, melainkan karena ia tak sanggup membagi hati yang sudah sepenuhnya ia berikan.Dan bagi Aisy, cinta tanpa keutuhan rasa bukan lagi rumah, melainkan luka yang perlahan menua.
"Aku sudah ikhlas melepasmu Mas, aku harap kau mau mengerti, dan tidak membuat derama ataupun menuduhku yang tidak-tidak," gumam Aisy.
Bahkan disaat Reyhan menuduhnya yang tidak-tidak, hatinya tidak menaruh benci sama sekali, karena di dalam dirinya dia sudah benar-benar berdamai dengan masa lalu.
☘️☘️☘️☘️☘️
Beberapa hari kemudian, pagi yang cerah menyambut hari sidang ketiga.Udara masih lembap setelah hujan malam tadi, langit bersih dengan semburat jingga muda.
Kenny sudah menunggu di halaman pengadilan, mengenakan kemeja abu lembut dan jam tangan perak di pergelangan tangan kirinya. Tatapannya langsung luruh saat melihat Aisy turun dari mobil.
Hari itu Aisy tampil sederhana namun tegas mengenakan tunik biru muda dan hijab putih gading.Wajahnya tenang. Tidak ada gugup, tidak ada air mata.Ia berjalan di samping Kenny tanpa banyak bicara, tapi langkahnya mantap, penuh makna.
“Siap?” tanya Kenny pelan, senyumnya lembut.
Aisy mengangguk. “Siap… tapi kali ini bukan untuk menang, melainkan untuk mengakhiri dengan baik.”
☘️☘️☘️☘️☘️
Ruang sidang terasa lebih tenang dari sebelumnya.Hakim membuka berkas, membaca dengan suara datar namun penuh wibawa. Di depan, Aisy dan Reyhan duduk sejajar tak saling menatap di awal, tapi suasana di antara mereka bukan lagi panas.
Ada keheningan yang justru terasa lebih berat dari pertengkaran.
Hakim akhirnya bertanya, “Apakah kedua pihak masih berkeinginan untuk mempertahankan rumah tangga ini?”
Ruangan seolah menahan napas.Aisy menatap meja di depannya, lalu mendongak pelan.Suaranya lembut tapi mantap.
“Yang Mulia, saya tidak ingin berpisah karena benci. Saya hanya tidak sanggup berbagi kasih yang seharusnya utuh. Bagi saya, cinta dan kesetiaan itu satu napas. Jika salah satunya hilang, saya tidak tahu bagaimana bernapas lagi.”
Beberapa orang di ruang sidang tampak terdiam.Hakim mengangguk perlahan, lalu beralih menatap Reyhan.
Reyhan menarik napas panjang. Suaranya lirih tapi jujur.
“Yang Mulia, saya tidak pernah berniat melukai istri saya. Saya hanya ingin menuruti keyakinan dan keinginan memiliki keturunan. Tapi mungkin, cara saya salah. Saya kira saya bisa berlaku adil, tapi ternyata adil itu bukan hanya soal pembagian waktu… melainkan juga perasaan.”
Ruangan sunyi lagi. Kata-kata Reyhan menggantung di udara seperti beban yang akhirnya dilepaskan. Untuk pertama kalinya, Aisy menatapnya langsung. Di mata itu masih ada kenangan, tapi juga ada ketegasan seperti seseorang yang sudah siap melepaskan dengan tenang.
Hakim menutup berkasnya. “Baik. Sidang akan kami tunda untuk pembacaan putusan akhir minggu depan. Saya harap kedua pihak bisa merenung dan mempersiapkan hati masing-masing.”
Palu diketuk tiga kali.
Sidang ditutup.
☘️☘️☘️☘️☘️
Di luar ruang sidang, Aisy keluar lebih dulu.
Ia menatap halaman pengadilan yang diterpa cahaya matahari, lalu menghela napas panjang.
“Rasanya aneh, Pak Kenny,” katanya pelan. “Dulu setiap kali keluar dari ruang sidang, aku menangis. Sekarang rasanya… tenang. Mungkin karena aku sudah berhenti melawan.”
Kenny menatapnya hangat. “Kamu nggak berhenti melawan, Ais. Kamu cuma berhenti menyakiti dirimu sendiri.”
Aisy tersenyum kecil. “Mungkin benar.”
Dari kejauhan, Reyhan berdiri di dekat mobilnya. Ia tidak mendekat, hanya menatap Aisy lama, seolah berusaha mengingat setiap detail wajah itu. Aisy membalas tatapan itu dengan tenang, lalu menunduk hormat bukan lagi sebagai istri, tapi sebagai seseorang yang menghargai masa lalu.
Ketika mobil Aisy melaju pergi bersama Kenny, Reyhan masih berdiri di tempatnya.
Wajahnya menunduk, tapi kali ini bukan karena marah melainkan karena ia tahu pesan ibunya semalam.
Ya sebelum sidang dimulai semalam Lusi beserta suaminya ikut membahas hal ini, dan memang mereka berdua menginginkan Reyhan bercerai dengan Aisy, Reyhan yang awalnya menolak akhirnya tunduk, karena mereka berdua 'Orang tua Reyhan' akan terus menyalahkan Aisy di dalam masalah ini.
"Sebenarnya aku tidak mau melepasmu Ais, tapi aku tahu keluargaku pasti akan menyakitimu lebih dari ini, dan aku tidak mau itu semua terjadi, mungkin sudah takdirnya kita harus berpisah dengan cara seperti ini, maafkan aku yang sudah menuduh mu yang tidak-tidak," ucap Reyhan lalu dengan segala penyesalannya.
☘️☘️☘️☘️☘️
Di dalam perjalanan, kali ini Aisy menatap arah jalanan dengan tatapan teduh, sudah beberapa Minggu ini ia dihantui oleh kecemasan, namun selesai sidang tadi ada gawa sejuk yang menyeruak di dalam hatinya.
"Ais ...," panggil Kenny lembut.
"Iya Pak," sahut Kenny.
"Gimana kalau sore ini kamu mampir dulu ke rumah, dari kemarin Zea merengek terus, mau kamu katanya," ujar Kenny.
"Boleh, aku sebenarnya juga kangen dengan dia, hanya saja beberapa Minggu ini aku selalu sibuk," ungkap Aisy.
"Jadi Dil ya! Kamu mau ikut aku," sahut Kenny.
"Iya ikut menemui Zea dan Ibu Merry," kata Aisy sambil sedikit melirik ke arah Kenny.
Tanpa sadar mobil sudah berhenti di depan rumah Kenny, Aisy langsung turun. Tanpa memberi kabar lebih dulu, Aisy memilih turun lebih dulu dari mobil, sementara Kenny sengaja menahan diri di belakang. Udara sore terasa lembut, sinar mentari memantul di dedaunan yang bergoyang pelan diterpa angin.
Ia melangkah perlahan menuju halaman rumah itu rumah yang selalu memberi ketenangan dalam tiap kunjungannya. Dari balik jendela, tampak sosok kecil berambut dua kuncir tengah menggambar di meja ruang tamu. Zea.
Aisy tersenyum. Ia membuka pagar dengan hati-hati, langkah kakinya ringan meski hatinya berdebar. Begitu pintu diketuk pelan, Zea menoleh, lalu matanya langsung berbinar.
“Mama Aisy!” seru gadis kecil itu sambil berlari menghampiri dengan kaki kecilnya yang nyaris terpeleset di lantai.
Aisy tertawa, membungkuk dan memeluknya erat. Wangi sabun anak-anak bercampur aroma melati dari rumah membuat pelukan itu terasa lebih hangat dari apa pun.
“Surprise! Mama Aisy datang tanpa kasih tahu dulu,” bisik Aisy di telinganya.
Zea mendongak, matanya berbinar penuh kebahagiaan. “Zea kira Mama Aisy nggak jadi datang! Nenek sampai bilang Zea harus sabar.”
Tawa kecil mereka memenuhi ruangan. Dari arah dapur, Merry muncul sambil mengelap tangannya dengan serbet.
“Aduh, ternyata benar perasaanku. Mama Aisy datang sore ini,” ucapnya lembut. Ia lalu mendekat, menepuk punggung Aisy dengan kasih sayang seorang ibu.
“Alhamdulillah, kamu kelihatan jauh lebih tenang sekarang, Nak.”
Aisy tersenyum. “Iya, Bu… rasanya semua beban di dada perlahan hilang. Terima kasih sudah mau nerima aku seperti keluarga sendiri.”
“Sudah jadi keluarga sejak lama, Sayang,” sahut Merry, lalu meninggalkan mereka berdua bermain di taman kecil di belakang rumah.
Zea mulai bercerita banyak hal tentang sekolah, tentang bunga yang ia tanam bersama neneknya, dan tentang gambar yang baru ia buat dua orang perempuan berpegangan tangan di bawah pelangi.
“Ini Mama Aisy sama Zea,” katanya polos.
Aisy terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca, tapi kali ini bukan karena sedih. Ia mengusap kepala gadis kecil itu lembut. “Cantik sekali, Sayang. Pelangi ini juga mirip perasaan Mama sekarang tenang, setelah hujan panjang.”
Saat itu, Kenny muncul membawa dua gelas jus jeruk dari dapur. “Eh, kalian berdua ternyata sudah bikin pelangi ya?” katanya dengan senyum lebar.
Aisy menatapnya, senyumnya tenang senyum yang tidak lagi menyimpan duka, hanya ketulusan. “Mungkin setelah badai, memang seharusnya ada pelangi,” ucapnya pelan.
Kenny duduk di sebelahnya, menatap Aisy lama, seolah ingin mengabadikan ketenangan di wajahnya yang dulu jarang ia lihat.
“Aku harap kamu tahu, Ais… kamu pantas untuk bahagia, bukan hanya karena kuat, tapi karena kamu tulus.”
Aisy menunduk sedikit, lalu menatap Zea yang kini berlari mengejar kupu-kupu di taman.
“Bahagia itu ternyata sederhana, ya. Kadang cuma butuh tempat untuk pulang dan orang-orang yang nggak menghakimi.”
Mereka terdiam sesaat, menikmati cahaya senja yang jatuh di sela pepohonan.
Dari arah taman, Zea berteriak.
“Ayo, Mama Aisy, ikut main! Kupunya kupu-kupu buat kita bertiga!”
Aisy menatap Kenny sejenak, lalu bangkit dan berjalan ke arah gadis kecil itu. Langkahnya ringan, wajahnya berseri. Kenny hanya tersenyum, menatap punggung wanita itu dengan rasa kagum yang tak lagi ia sembunyikan.
Sore itu, langit berwarna oranye lembut. Dan di antara tawa Zea, hembusan angin, serta tatapan lembut Kenny, yang selalu membuat Ais menundukkan pandangannya.
Bersambung ....
Jangan bosan ya kakak dengan cerita Aisy.
 
                     
                     
                    