Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati tidak mungkin lupa (I)
"Ibu... Ibu tidak apa-apa?" tanya suster Dian yang tengah mengecek tensi dan membawakan obat Kirana.
"Tidak apa-apa Sus," jawab Kirana memaksakan diri tersenyum.
.
"90/110. Tensi Ibu normal," suster Dian memberitahu. Dia lalu merapikan alat tensi.
"Tidak sabar menunggu besok ya Bu?" suster Dian duduk di samping Kirana.
Saat ini, hanya ada mereka berdua. Barra sedang ke bagian administrasi untuk mengurus kepulangannya besok.
"Maaf bu, bukannya saya ingin campur hanya saja, saya sudah merasa ibu seperti adik saya. Sepertinya ada yang mengganggu ibu," suster Dian menarik tangan Kirana.
Kirana terharu mendengar ucapan suster Dian. Mata Kirana berkaca-kaca.
"Aku khawatir, Sus. Bu Wulan dan Mas Barra, aku tidak tahu apakah mereka menginginkanku pulang," Kirana terisak.
"Kenapa bisa begitu? Saya yakin mereka senang ibu bisa pulang."
"Iya, dengan begitu mereka tidak perlu menungguiku lagi di sini," ucap Kirana dengan nada getir.
Suster Dian tertawa kecil. "Saya yakin itu hanya perasaan ibu saja."
Kirana mendekatkan wajahnya pada suster Dian. Ia melihat ke arah pintu sebelum melanjutkan. "Suster tidak tahu ya? Bu Wulan itu tidak menyukaiku. Dia membenciku. Dan suamiku... aku tidak tahu apakah dia betul-betul suamiku atau bukan."
"Kalau bu Wulan tidak menyukai Ibu, kenapa dia mau menjaga dan merawat ibu selama lebih dari 2 bulan ini?" tanya suster Dian dengan wajah serius.
"Karena Mas Barra membayarnya. Makanya, dia seperti anjing yang lehernya tercekik tali. Terpaksa berada di sini," jelas Kirana dengan suara pelan seolah tidak mau bu Wulan mendengarnya. Padahal bu Wulan tidak berada di rumah sakit.
"Lalu, kenapa Pak Barra repot-repot menggaji bu Wulan untuk menjaga ibu kalau dia bukan suami Ibu?" Suster Dian masih memasang wajah serius.
Kirana tidak bisa menjawab. Ia menyandarkan punggungnya pada bantal di belakangnya. Ia menunduk.
"Aku tidak tahu bagaimana perasaan Mas Barra kepadaku, Sus. Aku sama sekali tidak mengingatnya. Aku juga tidak ingat perasaanku sendiri. Apakah betul kami menikah karena cinta," Kirana menghela nafas. Mengandalkan ingatannya selama 2 bulan ini, sepertinya tidak.
Suster Dian menarik tangan dalam genggamannya. Suster Dian bisa merasakan kekhawatiran Kirana. Bukan satu dua kali, ia merawat pasien amnesia yang gelisah ketika akan pulang.
Biasanya, perasaan cemas dan takut akan menghinggapi pasien. Mereka takut tidak bisa beraktivitas normal kembali, takut ingatannya tidak akan kembali, takut merepotkan keluarga. Mereka menjadi sangat mengandalkan keluarga yang bahkan tidak bisa mereka ingat.
"Aku takut membebani seseorang yang tidak menginginkanku," Kirana menatap ke arah luar jendela.
Ia ingin berkata, "Dia sudah berencana meninggalkanku, Sus." Tapi tidak dilanjutkannya.
"Mencintai itu bukan dengan kepala Bu. Tapi dengan hati. Kepala bisa saja lupa. Tapi, hati akan selalu mengingatnya. Cinta akan selalu menemukan jalannya."
Kirana mengangkat wajahnya, memandang wajah suster Dian.
Pintu di buka. Barra kembali.
Suster Dian segera berdiri. "Semangat terus ya, Bu. Saya tahu ibu bisa. Saya pamit dulu."
Kirana mengangguk. "Terima kasih ya, Sus."
Suster Dian tersenyum pada Kirana lalu pada Barra sebelum meninggalkan kamar.
"Aku sudah mengurus semua berkas. Besok jam 9 kita bisa pulang," info Barra pada Kirana.
"Iya," ucap Kirana seraya merebahkan dirinya memunggungi Barra.
"Mau tidur?"
"Iya. Aku sedikit pusing." Kirana memejamkan matanya.
Malam harinya,
Kirana melihat Barra keluar dari kamar mandi. Bau sabun tercium dari tubuhnya. Rambutnya basah. Badannya terlihat segar. Barra mengenakan kaos oblong dan celana tidur. Kirana mengakui kalau tubuh suaminya cukup sempurna untuk seorang pria yang matang.
"Mas... Mas Barra!" panggil Kirana.
"Hmm... Ada sesuatu yang kamu butuhkan?"
"Enggak! Aku hanya ingin... Ngobrol sama Mas," pinta Kirana ragu.
Barra mematung sebentar sebelum akhirnya menarik kursi di samping Kirana.
"Apa?" Barra berkata lembut.
Jantung Kirana berdetak kencang mendengar nada suara Barra.
Kirana meneguhkan hati. Ia sudah memikirkannya bolak-balik. Kirana harus berani melakukannya kalau besok akan pulang bersama Barra.
"Hmm... Nama lengkap Mas siapa? Maaf, aku tidak bi--"
"Albarraka Hutomo," Barra berkata sebelum Kirana menyelesaikan kalimatnya. "Namamu?"
"Kirana Salsabila."
"Nama yang cantik. Cahaya yang menyejukkan," ujar Barra menyebutkan arti nama Kirana.
"Usia Mas Barra berapa?
"Usiaku 35 tahun."
"Aku sekarang 29 tahun, berarti kita beda..." Kirana mengacungkan jarinya.
"Kita beda 6 tahun," Barra tertawa pelan melihat Kirana menghitung dengan jari.
"Hehehe... Iya," Pipi Kirana memerah.
"Bagaimana kita bisa bertemu?" tanya Kirana lagi.
Tawa Barra berhenti. "Kenapa kamu bertanya? Aku tidak mau kamu berusaha mengingat Kira. Kamu tidak ingat yang terjadi sebelumnya," suara Barra tegas.
Kirana menunduk. Ia tidak bermaksud mengingat. Ia hanya ingin mengenal Barra. Toh, dia akan pulang ke rumah Barra. Setidaknya Kirana bisa lebih tahu tentang si pemilik rumah.
"Apa yang ingin kau tahu sebenarnya?" gumam Barra.
Kirana belum mengangkat wajahnya.
"Kita bertemu karena papamu. Aku rekan bisnis papamu saat itu. Kita menikah 2 tahun dari sejak pertemuan pertama kita. Hanya itu yang bisa kuberitahu Kira. Aku tidak mau kepala kecilmu ini bekerja dengan keras," Barra mengusap lembut kepala Kirana.
Kirana membeku merasakan sentuhan Barra di kepalanya. Jantungnya semakin cepat berdetak. Ia mengangkat wajahnya. Barra sedang menatapnya, juga dengan sangat lembut. Ini pertama kalinya Kirana melihat Barra menatapnya seperti itu.
"Besok aku akan pulang, ke rumah yang tidak kuingat. Maaf jika nanti aku akan merepotkan Mas. Tapi, aku janji akan latihan terus supaya bisa jalan lagi, bisa cepat sembuh. Biar tidak terus jadi beban Mas Barra." Akhirnya beban yang mengelayuti hati dan kepala Kirana sejak kemarin keluar juga.
Barra terdiam. Tangannya bergerak di sepanjang rambut Kirana.
"Apa kau tidak yakin aku suamimu?"
Giliran Kirana yang terdiam.
Tidak, aku tidak yakin. Aku tahu kalau Mas ingin meninggalkanku. Aku juga tahu kalau aku hanya tanggung jawab yang harus Mas pikul. Aku tahu ada wanita lain dalam hidupmu.
Ingin rasanya Kirana mengucapkan kata-kata itu. Tapi, tidak bisa. Mulutnya seakan terkunci.
Barra mengeluarkan ponselnya. Membuka sesuatu dari folder gallery photo.
"Ini! Ini foto pernikahan kita," Barra memberikan ponselnya pada Kirana.
Kirana melihat foto dirinya dan Barra. Ia mengenakan kebaya putih dengan garis leher berbentuk V, sederhana namun sakral. Rambutnya disanggul rendah dipadukan dengan veil panjang hingga punggung. Kirana terlihat cantik sekali.
Sementara Barra mengenakan jas hitam yang melekat pas di badannya. Tampan, batin Kirana.
Kirana terus memperhatikan foto itu. Ia fokus pada dirinya. Kirana melihat dirinya tersenyum ke arah kamera. Namun, matanya.
Kirana melihat hanya bibirnya yang tersenyum, tapi sorot matanya tidak memancarkan kebahagiaan. Kosong. Tatapannya kosong.
Apa artinya? Apa aku tidak bahagia di hari pernikahanku dengan Mas Barra? Kenapa?
"Kamu masih ragu?"
Kirana sedikit tersentak mendengar suara Barra.
Barra mengambil ponselnya kembali.
"Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu yakin?"
Kirana menunduk. Barra betul, ia masih belum yakin. Foto itu belum memberikan jawaban. Itu hanya foto dirinya dan Barra mengenakan pakaian pengantin. Ia masih harus memastikan sesuatu. Hatinya dan hati Barra.
Ia teringat kata-kata suster Dian. "Mencintai itu bukan dengan kepala, tapi dengan hati. Kepala bisa lupa, tapi hati akan selalu mengingatnya."
Kirana memejamkan mata. Ia tidak peduli dengan Ibu mertuanya. Ia juga tidak peduli dengan Raisa. Saat ini, Kirana hanya akan memikirkan dirinya dan Barra saja.
"Mas... Bolehkah aku meminta sesuatu?"
"Hmm... Apa?" Barra belum melepaskan tatapannya.
"Hmmm.... Bisakah Mas... Menciumku?" pipi Kirana panas.
Tangan Barra berhenti. "Ulangi! Apa maumu?"
"Aku... Ingin... Mas menciumku," Kirana mengigit bibirnya.
masih penasaran sih backstrory kirana seperti apa? sampe dirinya pun merasa asing..masih ada rahasia yang belum terpecahkan